Calvin menghela nafas. "Aku ingin merawat Abi Assegaf di sisa hidupku."
"Mengapa kau berkata begitu, My Dear? Masa depanmu masih panjang. Kau juga punya kehidupan yang lain."
Tidak, tidak ada masa depan yang lebih panjang untuk penyintas kanker.
** Â Â
-Semesta Dokter Tian-
Andai megaserver Lauhul Mahfuzh milik Allah bisa di-hack, Dokter Tian ingin sekali menjadi hacker lalu membongkar datanya. Dengan begitu, ia bisa menulis ulang nasibnya sendiri. Di dunia ini, Dokter Tian menyesal jadi dokter.
Saat paling berat ketika ia menyayangi pasien-pasiennya dan harus menyampaikan vonis. Ah, benci sekali ia pada kata itu. Serasa seperti hakim jahat, kepanjangan tangan Tuhan yang naif. Di sore berhujan lebat ini, ia kembali dihadapkan pada momen terberat.
"Bagaimana hasilnya, Dokter?" tanya Calvin.
Dokter Tian membalik-balik medical record. Tak tega, sungguh tak tega harus menyampaikannya. Dia mulai menebak-nebak, bagaimana perubahan raut wajah tampan itu bila vonis tersampaikan? Demi Nabi Muhammad yang tak pernah menduakan Khadijah, Dokter Tian tak sanggup bila harus melihat pemuda berwajah santun menyenangkan itu bersedih.
"Calvinku, sel kanker masih bertahan di tulang punggungmu. Sepertinya ia sudah kebal dengan kemoterapi. Kamu perlu coba radiasi. Mulai sekarang, pakai korset."
"Saya mengerti, Dokter. Kapan kita bisa mulai terapi radiasi?"