Nada suara Adica begitu tegas. Lantang ia membela sang ayah.
"Apa hakmu mengutamakan Zaki? Jelas-jelas dia tak mampu. Lihat saja saat siaran tadi."
"Saya penulis naskah dan pemilik cerita. Hak prerogatif saya untuk memperjuangkan Abi Assegaf sebagai pemeran utama. Abi pasti bisa. Abi orang yang tepat untuk memerankannya."
Kesunyian terpecah. Para peserta rapat berbisik-bisik. Berani sekali Adica melawan Jadd Hamid.
"Adica Wirawan! Sekali lagi kau membantahku, naskah yang kautulis tidak akan kupakai!"
Bukan ultimatum biasa. Jika kita berdiri untuk seseorang, kita harus siap dengan segala risiko. Adica khawatir, tapi ia menikmati perannya bisa berdiri untuk Abi Assegaf.
"Saya tidak takut. Bisa saya alihkan ke tempat lain, bukan ke tangan kakekku yang terhormat. Toh tanpa Refrain, saya sudah kaya. Di sinisaya berdiri untuk Abi Assegaf."
Satu, dua, tiga kali Adica membela sang ayah. Abi Assegaf, yang menjadi objek pembelaan, merengkuh penyiar tampan itu erat. Biar saja orang meragukan kemampuannya. Biar saja orang meragu karena faktor kesehatan. Mereka tidak benar-benar tahu.
Calvin dan Revan yang memperhatikan jalannya rapat, menyimpan seberkas kekaguman. Kagum pada Abi Assegaf. Kagum pada sosok broadcaster berbakat nan rupawan yang berdiri sepenuh hati membela yang lemah. Membela yang lemah, butuh kekuatan dan ketulusan hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H