Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Langit Seputih Mutiara] Seksualitas Bidadari, "Body Shaming", Selibat, dan Tubuh yang Terhukum

14 Januari 2019   06:00 Diperbarui: 14 Januari 2019   06:21 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Laporan prakiraan cuaca dari Badan Meteorologi ternyata benar. Hujan deras, gelegar petir memecah langit, dan deru angin mengacaukan aktivitas. Para pejalan kaki berlarian di trotoar. Motor-motor menepi, tak berani melanjutkan perjalanan di tengah derasnya hujan. Sejumlah kendaraan roda empat melaju cepat. Tak peduli teriakan mereka yang terkena cipratan air.

Calvin menatap masygul pada dua ibu paruh baya di tepi jalan. Mereka terkena air cipratan mobilnya, lalu mengusap-usap baju yang basah. Dalam hati menggumamkan permintaan maaf. Ingin rasanya menghampiri mereka, tetapi sore ini ia sedang terburu-buru.

Demi membunuh rasa bersalah, dinyalakannya radio mobil. Tepat di frekuensi 97.6 FM. Sebuah suara barithon yang sangat familiar menyapa lembut.

"Pendengar, apa kabarnya hari ini? Mudah-mudahan Anda selalu dalam keadaan sehat. Saya, Zaki Assegaf, akan menemani Anda hingga jelang malam hari nanti."

Aliran darahnya bagai terisap. Ya, Allah, ayah keduanya itu nekat sekali bersiaran. Otomatis Calvin membesarkan volume radio. Ia memantau Abi Assegaf dari jauh.

"...Saat ini, cuaca di sekitar studio kami cukup mendung, pendengar. Hujannya...wow, begitu deras. Hati-hati bagi Anda yang berkendara atau beraktivitas di luar. Tetap jaga kesehatan dan jaga semangat pastinya."

Suara Abi Assegaf begitu lembut. Calvin tersenyum tipis. Bersyukur bila ayah keduanya masih bisa menghibur orang lain dengan siarannya. Tapi...

Tetiba suara Abi Assegaf melemah. Cengkeraman Calvin pada kemudi mobil bertambah erat. Abi Assegaf menghela nafas berat. Dapat didengarnya suami Arlita itu terbatuk.

"Ya, Allah, semoga Abi Assegaf baik-baik saja." Calvin lirih mendaraskan doa.

Semenit kemudian, terputar sebuah lagu. Musik mengalun lembut. Cerminan jiwa penyiar terlihat dari lagu-lagu yang diputarkan. Bila Abi Assegaf bersiaran, akan dihadirkan lagu-lagu ballada bertempo slow.


Kupejamkan mata ini

Mencoba tuk melupakan

Segala kenangan indah

Tentang diriku

Tentang mimpiku

Semakin aku mencoba

Bayangmu semakin nyata

Merasuk hingga ke jiwa

Tuhan tolonglah diriku

Entah dimana dirimu berada

Hampa terasa hidupku tanpa dirimu

Apakah di sana

Kaurindukan aku

Seperti diriku yang selalu merindukanmu

Selalu merindukanmu (Marcell-Hampa).

**    

Koper kecil hitam-keperakan itu terlempar. Pemiliknya tak peduli. Pria tinggi, berambut pirang, dan bermata biru itu memeluk Calvin erat. Dua pria tampan berjas rapi itu berpelukan. Calvin tersenyum.

"Aku jadi ingat Abi Assegaf." bisiknya.

Abi Assegaf bersandar sejenak di kursi siaran. Ia memejamkan mata. Satu tangannya mencengkeram dada. Tak sengaja ia memutarkan lagu yang sama dua kali. Ah, ini kesalahan. Semoga para pendengar mengerti.

"Aku tak mengerti," desah produser acara di ruang sebelah.

"Abi Assegaf sakit begitu, masih nekat siaran. Kualitas siarannya jelek sekali."

Sekali lagi, Revan menatap Calvin lekat-lekat. Diamatinya perubahan sahabat orientalnya itu.

"Masya Allah, banyak sekali yang telah kulewatkan ya. Kamu menyamar jadi Gabriel, itu yang paling sensasional."

Calvin tertawa. "Hanya ingin lebih dekat dengan adikku. Oh ya, kau sendiri bagaimana? Kenapa baru pulang sekarang?"

Sekarang mereka tersenyum melecehkan sambil menunjuk-nunjuk pintu studio. Siluet Abi Assegaf terlihat jelas di balik kaca.

"Lihat itu. Abi pujaan kita sudah tidak tampan lagi. Kemana rambutnya?"

"Yups. Lebih parah lagi kalau Abi kehilangan suaranya."

Suara Revan memelan ketika ia bercerita. "Aku menolong seorang bidadari. Bidadari cantik itu terlibat kasus prostitusi online. Seorang pengusaha membayarnya 80 juta."

Tanpa menghakimi, tanpa menilai, Calvin terus mendengarkan. Senangnya bersahabat dengan Calvin. Revan meneruskan.

"Bidadari itu tertangkap di hotel saat akan memulai bisnis lendir dengan si pengusaha. Tapi, menurut versinya, dia dijebak. Aku memberinya pendampingan secara psikologis. Menguatkan mentalnya."

"Mengapa kau ingin menolong bidadari itu? Siapa dia?"

"Adica..."

Produser acara dan pengarah teknik sontak menghentikan kegiatan body shaming mereka. Sosok tinggi dan tampan itu menjulang di hadapan mereka.

"Berani menjadikan Abi Assegaf korban body shaming lagi...kalian sama saja menghina ciptaan Tuhan."

"Tuhan tidak tidur, Revan. Ia tahu, Ia mencatat perbuatan baikmu. So, kenapa tidak kaunikahi saja bidadari itu?" Calvin bertanya-tanya.

Revan menggeleng. Menggamit tangan Calvin ke area parkir. Dari pada hidup menikah, pria Manado Borgo itu lebih memilih selibat.

"Saya juga dengar itu...ketika kalian membully Abi tentang pernikahannya yang sangat terlambat." kata Adica tajam.

Dua oknum pelaku body shaming itu tertunduk. Lumer juga nyali mereka menghadapi calon penerus Refrain Radio.

"Jangan pernah menghina Abi lagi. Kalau tidak, kalian akan menyesal."

Setelah melempar kata-kata itu, Adica memutar tubuh. Ia melangkah cepat memasuki kotak siaran.

**     

Apa yang salah dengan tubuh ini? Tubuh ini bagai terhukum. Tidak, tidak. Ditepisnya pikiran negatif dari kepalanya. Kanker paru-paru stadium lanjut bukanlah hukuman.

Allah tidak membiarkan Abi Assegaf sendirian. Pintu kaca bergeser terbuka. Calvin, Revan, dan Adica mendekat. Duduk di kanan-kirinya.

Mata Abi Assegaf bertabrakan dengan dua pasang mata sipit Adica dan Calvin. Lalu sepasang mata biru Revan. Ia tatap ketiga pria tampan itu nanar.

"Abi masih kuat bersiaran sendiri. Tak perlu ditemani." ujar Abi Assegaf pelan.

"Kami tahu Abi kuat. Tapi...kami tak bisa meninggalkan Abi sendirian."

Perkataan lembut Adica membuat Abi Assegaf terenyak. Anak lelakinya itu lembut sekali bila berhadapan dengannya. Terlebih sejak dirinya sakit.

"Maaf, Abi. Aku baru kembali. Aku percaya, Adica dan Calvin lebih dari mampu menjaga Abi." kata Revan halus.

"Abi kuat, Revan. Dijaga dan ditemani full time seperti ini malah membuat Abi sedih."

Dan ia benar-benar sedih. Calvin, Revan, dan Adica bertukar pandang. Tenang, ini hanya perbedaan persepsi. Abi Assegaf belum menyamakan persepsi dengan mereka bertiga.

Staf wanita datang. Ia mengabarkan kedatangan Jadd Hamid. Atmosfer ketegangan melingkupi kotak siaran. Adica, Revan, dan Calvin resah. Anehnya, Abi Assegaf tetap tenang. Bahkan terkesan pasrah.

"Mau apa lagi kakekmu datang ke sini, Adica?" Revan menanyai violinis itu.

Walaupun tak pernah bertemu, Revan tahu siapa Jadd Hamid. Horor penebar luka dalam kehidupan Abi Assegaf.

"Urusan megaproyek Refrain. Sandiwara radio berjaringan nasional itu." sahut Adica.

Jeda lagu dan filler usai. Abi Assegaf kembali naik siaran. Tenang, ringan, seolah tanpa beban.

"Pendengar, kali ini saya ingin berbagi pada Anda tentang esensi kesuksesan. Ada sebuah quotes yang bagus sekali dari Jim Rohn. Success is doing ordinary things extraordinarily well. Sukses itu sederhana. Hanya melakukan hal biasa secara luar biasa, dan sebaik mungkin. Sukses itu, mengubah sesuatu yang biasa jadi luar biasa."

Bukan sekedar quotes. Konten siaran segmen ini lebih menginspirasi. Adica yakin seratus persen, Abinya sendiri yang menyiapkan bahan siaran inspiratif. Tanpa bantuan pengarah acara.

Mudah bagi Abi Assegaf memotivasi pendengarnya tentang kesuksesan. Tak lepas dari kariernya di dunia bisnis. Didukung intensitasnya mengisi seminar-seminar bisnis dan motivasi. Jam terbangnya cukup tinggi.

Malam menjemput senja. Rintik hujan tertumpah dari langit. Pukul tujuh malam, durasi siarannya selesai. Abi Assegaf bersiap bangkit dari kursi, tetapi kakinya terasa berat sekali untuk digerakkan.

"Abi, are you ok?" tanya Adica cemas.

Abi Assegaf merintih pelan. Sakit dan berat sekali untuk berdiri dan berjalan. Revan mengulurkan tangan.

"Ayo Revan bantu, Abi. Pelan-pelan..." tawarnya lembut.

Berbulan-bulan merawat Calvin menjadi bekal ilmu untuk Revan. Dia terbiasa menghadapi penyintas kanker. Sel-sel kanker telah bermetastasis ke tulang dan anggota gerak. Jelas saja Abi Assegaf mulai kehilangan fungsi motoriknya.

Wanita mana pun yang melihat Revan pasti meleleh. Ironisnya, pria secharming itu enggan menikah. Lihatlah, ia menolong dengan sabar. Caranya memperlakukan Abi Assegaf begitu sabar dan lembut.

Spontan Adica dan Calvin saling tatap. Malu mereka pada pria blasteran Minahasa-Portugis-Turki itu. Rasanya mereka kalah lembut dibandingkan Revan.

Rasa iri naik ke hati. Iri atas kebaikan, kelembutan, dan kesabaran orang lain sepantaran mereka. Tekad menjamah hati Adica dan Calvin. Lembut dan sabar itu harus dilatih setiap waktu.

Mereka berempat meninggalkan kotak siaran. Di sebelah sofa, terlipat sebentuk kursi roda. Adica membuka lipatannya, lalu mengangkat tubuh Abi Assegaf ke kursi roda itu. Calvin mendorong kursi roda menyusuri lorong-lorong kantor Refrain Radio.

**    

Horor mendominasi ruang rapat. Jadd Hamid berdiri angkuh di podium. Rambut keperakannya tersisir rapi. Ia gunakan powernya sebagai komisaris utama untuk mengendalikan Refrain.

Lembar-lembar naskah dibalik. Empat meja panjang dipenuhi tumpukan naskah sandiwara radio. Semua peserta rapat sibuk mempelajari naskah sambil mendengarkan penjelasan sang komisaris.

"Pemeran utama," kata Jadd Hamid menggelegar, seperti pengkhotbah di puncak Bukit Golgota.

"Tidak akan jatuh ke tangan Zaki."

Belasan pasang mata terbelalak. Hanya Abi Assegaf yang tetap tenang. Adica sontak berdiri, menatap tajam kakeknya.

"Tidak bisa. Abi akan tetap terlibat dalam sandiwara radio ini."

Mata Jadd Hamid menyipit. Efek tanda merah bekas tekanan kacamata tunggalnya tertinggal di pipi keriput itu.

"Jangan membantahku, anak muda. Zaki takkan menjadi pemeran utama. Aku sudah punya penggantinya."

"Tak ada yang bisa menggantikan Abi Assegaf."

Nada suara Adica begitu tegas. Lantang ia membela sang ayah.

"Apa hakmu mengutamakan Zaki? Jelas-jelas dia tak mampu. Lihat saja saat siaran tadi."

"Saya penulis naskah dan pemilik cerita. Hak prerogatif saya untuk memperjuangkan Abi Assegaf sebagai pemeran utama. Abi pasti bisa. Abi orang yang tepat untuk memerankannya."

Kesunyian terpecah. Para peserta rapat berbisik-bisik. Berani sekali Adica melawan Jadd Hamid.

"Adica Wirawan! Sekali lagi kau membantahku, naskah yang kautulis tidak akan kupakai!"

Bukan ultimatum biasa. Jika kita berdiri untuk seseorang, kita harus siap dengan segala risiko. Adica khawatir, tapi ia menikmati perannya bisa berdiri untuk Abi Assegaf.

"Saya tidak takut. Bisa saya alihkan ke tempat lain, bukan ke tangan kakekku yang terhormat. Toh tanpa Refrain, saya sudah kaya. Di sinisaya berdiri untuk Abi Assegaf."

Satu, dua, tiga kali Adica membela sang ayah. Abi Assegaf, yang menjadi objek pembelaan, merengkuh penyiar tampan itu erat. Biar saja orang meragukan kemampuannya. Biar saja orang meragu karena faktor kesehatan. Mereka tidak benar-benar tahu.

Calvin dan Revan yang memperhatikan jalannya rapat, menyimpan seberkas kekaguman. Kagum pada Abi Assegaf. Kagum pada sosok broadcaster berbakat nan rupawan yang berdiri sepenuh hati membela yang lemah. Membela yang lemah, butuh kekuatan dan ketulusan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun