"Dulu, aku juga pernah kena infeksi ginjal. Tapi...Allah masih menyayangiku. Aku sudah sembuh."
"Alhamdulillah. Allah menginginkanmu sehat dan bahagia, Calisa."
"Calvin, kamu juga masih punya harapan. Stay strong, ok?"
Perawat memasangkan blood lineaken pada AV shunt di lengannya. Calvin menahan sakit, Calisa menggenggam tangannya. Sebuah gerakan refleks yang dikuatkan kasih.
Hangat, hangat yang berbeda mengaliri tubuh Calvin. Kehangatan yang telah lama ditinggalkan Silvi. Sudah setahun Silvi tak pernah menemaninya cuci darah. Kini, hadir lagi kehangatan baru.
Lima jam hemodialisa dan single use. Selama itu, Calisa tak pernah pergi. Genggaman tangannya baru ia lepaskan setelah proses menyakitkan itu usai.
"Well, aku tidak tahu apa kamu boleh makan kue atau tidak. Tapi percayalah, aku membuatnya sendiri." ujar Calisa.
"Benarkah? Thanks, Calisa."
Senyum menghiasi wajah pucat Calvin. Walau pucat, hal itu tidak mengurangi ketampanannya. Calisa menatap lekat lekuk sempurna wajah malaikat di depannya. Malaikat yang sesungguhnya tak pantas ia miliki.
Tangan putih nan mulus itu terulur. Lembut membelai rambut Calvin.
"Blogger dan pengusaha sepertimu...yang selalu terlihat tegar dan berwibawa, ternyata bisa serapuh ini. Apa bawahan dan teman-teman bloggermu tahu kondisimu?" Calisa bertanya penasaran.