Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Selingkuh Hati Malaikat Tampan] Cinta Dua Hati

13 September 2018   06:00 Diperbarui: 13 September 2018   07:51 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cuci darah sendirian, Calvin sudah biasa. Ia satu-satunya pasien hemodialisa yang tidak memiliki pendamping. Rerata pasien di unit hemodialisa didampingi keluarga dan orang terdekat.

Jajaran bed-bed dengan hemodialisis menghujam penglihatannya. Aroma darah yang tercium tajam membuatnya mual. Ruangan luas ini terasa sangat dingin. AC di-set pada suhu terendah.

Berusaha mengalihkan pikiran dari perasaan mual yang membanjiri, Calvin membalik halaman buku di tangannya: The Alchemist. Tersihir kata-kata Paulo Coelho. Novel itulah yang menemaninya menjalani hemodialisa pagi ini.

Tenggelam dalam perjalanan bocah gembala Santiago, Calvin teringat mimpinya sendiri. Bila Santiago bermimpi mendapat harta karun, blogger dan pengusaha tampan satu ini memimpikan hadirnya keturunan. Santiago masih punya peluang besar untuk mewujudkan mimpi itu. Sementara Calvin? Tidak. 

Cuci darah dan obat-obatan laknat itu mematikan harapannya untuk meneruskan keturunan. Membuatnya tak mampu menjadi suami sempurna untuk Silvi. Kemungkinan besar, Calvin akan bernasib sama seperti pedagang kristal di buku itu: bertahan hidup hanya karena mimpi pergi ke Mekkah, namun tak terwujud.

"Buku yang bagus,"

Sebuah suara barithon memburaikan konsentrasinya. Perlahan Calvin meletakkan novel itu. Dokter Tian berdiri di sisi tempat tidurnya, tersenyum dengan sikap fatherly.

"Saya selalu memperhatikanmu, Calvin. Selalu..." ungkap Dokter Tian tulus.

Bed-side-examination. Prosedur biasa. Dokter Tian bukan dokter biasa di mata Calvin. Ia seperti ayah kedua. Satu dari sedikit orang yang dipercayainya.

"Jadilah Santiago, jangan seperti pedagang kristal itu." nasihat Dokter Tian.

"Tidak mungkin, Dokter. Saya sakit, saya..."

"Kamu masih punya harapan."

Serpihan kristal menjatuhi hati Calvin. Sejak kedua orang tuanya meninggal, Calvin tak punya lagi tempat bersandar. Hanya Dokter Tian tempatnya meminta saran.

"Lihat, ada pendamping untukmu pagi ini."

Silvikah? Mana mungkin? Calvin mengikuti arah pandang Dokter Tian. Sedetik kemudian, dia terpana.

Calisa berjalan memasuki unit hemodialisa. Paper bag berisi dua kotak bakery tergenggam di tangannya. Kegundahan merona wajah.

"Calvin..."

"Calisa..."

Mereka berucap nyaris bersamaan. Mata sipit bertemu mata bening. Ketampanan bertemu kecantikan. Kesakitan bertemu kekuatan. Ketulusan bertemu kelembutan. Kekhawatiran bertemu ketenangan. Model dan pengelola cake shop bertemu blogger dan pengusaha. Tionghoa bertemu Minang-Inggris. Calvin Wan bertemu Calisa Karima.

"Dari mana kamu tahu...?" tanya Calvin, menatap sendu wajah Calisa.

Sebagai jawaban, Calisa memperlihatkan iPhonenya. "Aplikasi find my friends. Aku tak menyangka kamu sakit seperti ini, Calvin."

Bola matanya berawan. Awan-awan itu pecah menjadi hujan. Calisa menangis. Kedua bahunya bergetar hebat. Sementara itu, Dokter Tian mengerling sedikit. Sangat terbiasa dengan kesakitan dan air mata di rumah sakit. Sama terbiasanya dengan seduhan Earl Grey di pagi hari.

"Dulu, aku juga pernah kena infeksi ginjal. Tapi...Allah masih menyayangiku. Aku sudah sembuh."

"Alhamdulillah. Allah menginginkanmu sehat dan bahagia, Calisa."

"Calvin, kamu juga masih punya harapan. Stay strong, ok?"

Perawat memasangkan blood lineaken pada AV shunt di lengannya. Calvin menahan sakit, Calisa menggenggam tangannya. Sebuah gerakan refleks yang dikuatkan kasih.

Hangat, hangat yang berbeda mengaliri tubuh Calvin. Kehangatan yang telah lama ditinggalkan Silvi. Sudah setahun Silvi tak pernah menemaninya cuci darah. Kini, hadir lagi kehangatan baru.

Lima jam hemodialisa dan single use. Selama itu, Calisa tak pernah pergi. Genggaman tangannya baru ia lepaskan setelah proses menyakitkan itu usai.

"Well, aku tidak tahu apa kamu boleh makan kue atau tidak. Tapi percayalah, aku membuatnya sendiri." ujar Calisa.

"Benarkah? Thanks, Calisa."

Senyum menghiasi wajah pucat Calvin. Walau pucat, hal itu tidak mengurangi ketampanannya. Calisa menatap lekat lekuk sempurna wajah malaikat di depannya. Malaikat yang sesungguhnya tak pantas ia miliki.

Tangan putih nan mulus itu terulur. Lembut membelai rambut Calvin.

"Blogger dan pengusaha sepertimu...yang selalu terlihat tegar dan berwibawa, ternyata bisa serapuh ini. Apa bawahan dan teman-teman bloggermu tahu kondisimu?" Calisa bertanya penasaran.

"Seluruh karyawanku tahu. Tapi teman-teman bloggerku tidak. Aku ingin memisahkan dunia nyata dan dunia maya. Aku selalu bertemu para blogger saat sehat. Mereka tak perlu tahu aku sakit." Calvin menjawab tegas. Memperlihatkan prinsipnya tentang memisahkan dunia nyata dan dunia maya.

"I see. Kini, kulihat sisi rapuhmu...ah!"

Calisa berteriak kecil. Rambut Calvin rontok. Beberapa helainya menempel di tangan Calisa.

"Tidak apa-apa, Calisa...tidak apa-apa." kata Calvin lembut.

"Sudah lama begitu sejak berganti unit dialyzer. Banyak pasien hemodialisa mengalaminya."

Belum sempat Calisa menanggapi, iPhone Calvin berdering. Request Skype dari Silvi. Ada apa Silvi menghubunginya duluan? Tak biasa. Tahu diri, Calisa mundur sejauh mungkin dari bed.

"Iya, Silvi Sayang. Ada apa?" sapa Calvin penuh kasih sayang.

"Hari ini Revan pulang dari Manado. Pesawatnya jam lima sore. Dia ingin kau yang menjemputnya."

To the point. Tanpa sapaan, tanpa pertanyaan, tanpa sentuhan kepedulian. Silvi tak peduli suaminya baru saja menjalani cuci darah. Ironis.

"I will. Aku juga kangen Revan. Lama tak bertemu dengannya." janji Calvin.

Klik. Silvi mengakhiri sesi Skype begitu saja. Dingin, minus kemesraan.

Dari tempatnya berdiri, Calisa mengawasi dengan hati masygul. Seburuk itu hubungan Calvin dan Silvi. Beberapa bulan mengenal Calvin, Calisa sedikit-banyak tahu tentangnya. Ternyata wanita bisa menjadi begitu kejam hanya gegara suaminya mandul. Cinta, terkadang membiaskan luka.

**      

"Revan...long time no see."

Dua pria tampan itu berpelukan. Pria dengan rambut pirang dan mata biru itu memberikan pelukan khas Turki pada Calvin. Siapa bilang sesama pria tak boleh berpelukan?

"Gimana tugas mengajar di Manado? Semuanya ok, kan?" Calvin menanyai Revan seraya merebut koper kecilnya. Memaksakan diri membawa koper itu walau dirinya masih sakit.

"Ok. Aku senang bisa mengajar di tempat kelahiranku." jawab Revan.

Mereka berjalan menuju mobil. Ketika membuka pintu BMW-nya, Revan menahan tangan Calvin.

"Yakin mau menyetir? Kamu pucat sekali, Calvin."

"No worries. I'm good."

Namun, Revan tak percaya. Pelan diambil alihnya mobil itu. Tak dibiarkannya adik iparnya menyetir dalam kondisi sakit.

Mau tak mau, Calvin harus puas duduk di bangku samping pengemudi. Dalam hati, ia mengakui Revan benar. Dirinya tak cukup fit untuk mengemudi. Punggung dan perut bagian bawahnya sakit lagi. Masih terasa pula efek samping pasca hemodialisa.

Bukan Calvin Wan namanya bila tenggelam dalam kesakitan terlalu lama. Diraihnya iPad. Ia buka artikel terbarunya. Sebuah renungan tentang melihat gelas setengah isi dan setengah kosong. Gelas hanyalah analogi. Maksud sebenarnya, Calvin ingin mempengaruhi pikiran pembacanya untuk melihat permasalahan dari segi positif. Jika terus-menerus melihat sesuatu dengan negatif, yang akan muncul adalah perasaan lelah.

"Artikelmu hari ini bagus, Calvin." puji Revan.

"Sudah ku-share di WA grup dosen dan pimpinan universitas."

Calvin hanya tersenyum. Ia melirik ke kaca. Revan mengarahkan mobil ke sebuah cafe favorit mereka.

**     

Cafe bernuansa vintage itu tak berubah. Kursi-kursi dan meja kayu, lantai parket, dan perabotan berwarna coklat gelap menciptakan kesan teduh. Tak banyak pengunjung ketika Calvin dan Revan tiba. Seperti biasa, pilihan mereka jatuh pada meja di dekat panggung.

"Lama banget kita nggak ke sini ya, semuanya masih sama." Revan berkomentar.

"Yups. Kamu kelamaan sih tugas mengajarnya." Calvin setengah menggoda.

"Bukan aku yang mau, Calvin. Tapi kampusku..." Revan membela diri.

Waiters datang menanyakan menu. Revan memilih menu yang sama: Sirloin steak dan vanilla milkshake. Calvin tak memesan apa pun. Sukses membuat Revan kebingungan.

"Kenapa?" tanya Revan begitu urusan menu selesai.

"Hanya tidak ingin saja," sahut Calvin tanpa menatap kakak iparnya.

Revan mendesah. Ia hanya berharap, Calvin tak ada masalah dengan Silvi. Sejurus kemudian, ditariknya tangan Calvin ke atas stage. Mengajak sahabat yang kini jadi iparnya itu main musik seperti dulu.

Demi menyenangkan hati Revan, Calvin menurut. Ia melihat Revan begitu rindu memainkan grand piano di ujung panggung itu. Apa salahnya bernyanyi di tengah pusaran kegalauan dan problema?

Piano berdenting lembut. Intro mengalun indah. Usai intro, mereka berdua bernyanyi.


Tak kusangka dirimu hadir di hidupku

Menyapaku dengan sentuhan kasihmu

Kusesali cerita yang kini terjadi

Mengapa di saat

Ku telah berdua

Maafkan bila cintaku

Tak mungkin kupersembahkan seutuhnya

Maaf bila kau terluka

Karena ku jatuh

Di dua hati (Afgan-Cinta Dua Hati).

Suara barithon Revan yang merdu berpadu dengan suara bass Calvin yang lembut. Karakter suara mereka cocok untuk membawakan lagu-lagu ballada bertempo pelan. Ditambah sedikit improvisasi, penampilan mereka memikat.

Akan tetapi, sungguh tak terduga. Wajah Calvin makin pias saat menyanyikan lagu itu. Revan seperti menamparnya lewat lagu. Seolah lirik-liriknya yang begitu tajam ditujukan khusus untuknya. Calvin sungguh tertampar.

"Calvin, are you ok?" tanya Revan setelah mereka kembali ke meja diiringi applause para pengunjung cafe.

"I'm ok," lirih Calvin. Berusaha meredakan sesak di hatinya.

Jangan kira mudah menyembunyikan sesuatu dari Revan Tendean. Mata hatinya kelewat tajam. Intuisinya setajam pedang Gryffindor yang menghancurkan Horcrux kalung Slytherin di Harry Potter 7. Revan menatap lurus mata Calvin.

"Aku harap kamu dan Silvi baik-baik saja."

Tamparan kedua. Tepat menghantam dasar hati Calvin. Hati yang mulai terbagi.

**     

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun