Ternyata ia tak bisa melihat Silvi bersama Revan. Hatinya sesak oleh kesedihan. Sedih ini sulit terusir dari benaknya. Berdoa minta dikuatkan, hanya itu yang bisa ia lakukan.
Di depan pintu, Calvin terjatuh. Punggung dan perut bagian bawahnya terasa sakit. Dua pasang tangan terulur. Membantunya berdiri.
"Kak...Kakak kuat ya? Syifa tahu, ini berat buat Kak Calvin. Tapi Kakak harus kuat." Syifa setengah terisak, sementara Calvin memeluknya.
"Apa kataku? Kalau ini membuatmu sakit, lebih baik jangan dilakukan! Toh Silvi menerima keadaanmu kan?" sergah Adica, marah dan sedih.
"Aku hanya ingin Silvi bahagia, Adica." jelas Calvin setenang mungkin.
"Silvi mungkin bahagia, tapi kamu menderita!"
"Tidak apa-apa aku menderita, asalkan Silvi bahagia. Terkadang kita harus mengalah untuk orang yang kita cintai. Berkorban untuk orang yang dicintai tak ada salahnya."
Calvin menghela napas berat. Sakit, bukan hanya tubuhnya, tetapi perasaannya. Syifa terus memeluknya erat.
Usai akad nikah, resepsi dimulai. Calvin menguatkan dirinya saat masuk kembali ke dalam ballroom untuk mengikuti jalannya resepsi. Hatinya masih sedih. Namun di sisi lain ia bahagia karena melihat Silvi telah berada di tangan yang tepat.
Rangkaian demi rangkaian acara terlewati. Mulai dari pemotongan wedding cake, wedding kiss, dan pelemparan bunga. Syifa yang mendapat lemparan bunga. Disambuti senyum ceria beberapa tamu undangan dan harapan agar adik bungsu Calvin itu segera menikah.
Di tengah megahnya pesta pernikahan itu, hal tak terduga terjadi. Calvin memainkan piano dan menyanyikan lagu. Bayangkan, seorang pria bernyanyi di pernikahan mantan istrinya.