Seorang anak laki-laki bertubuh gendut dan berkacamata merampas sajadahnya. Anak lain yang berambut keriting melempar tasnya. Buku-buku, Alquran, tab, smartphone, kotak musik, dan beberapa batang coklat berhamburan keluar. Mereka tak tahu, sebenarnya Calvin berencana membagikan coklat itu usai shalat.
Diam saja bukan berarti lemah. Calvin tak marah, sama sekali tak marah. Ia terima bila teman-temannya sendiri membullynya. Ia sadar, dirinya hanyalah minoritas di sini. Namun, bukan itu yang membuat Calvin tak bisa melawan mereka. Ia hanya takut Allah marah padanya. Menyerang dan melukai mereka justru akan merusak citra Islam itu sendiri. Menunjukkan sisi baik dan sabar seorang Muslim sejati, itulah yang ingin ditunjukkannya.
Puas menyakitinya, mereka bergegas pergi. Tak mau lagi berteman dengan anak laki-laki berparas tampan ini. Calvin memunguti barang-barangnya. Pada saat bersamaan, Silvi datang.
"Calvin, kamu nggak apa-apa?" Gadis itu bertanya cemas.
Sepasang mata sipit bertemu sepasang mata biru. Silvi, mengapa ia selalu ada?
** Â Â Â
"Well, aku mau cerita."
Si gadis blasteran Sunda-Inggris yang kini telah beranjak dewasa, duduk di samping Calvin. Merapatkan tubuhnya pada pria itu.
"Tadi pagi aku dapat info dari dosenku. Ada program student exchange, Calvin. Kesempatan yang sudah lama kutunggu-tunggu!"
Lembaran kertas tebal ia tunjukkan. Perhatian Calvin teralih. Kertas itu berisi list universitas pilihan yang dapat dituju untuk program pertukaran mahasiswa.
"Wow, good news. Ikut saja, Silvi. Pasti menyenangkan. Bukankah ini impian lamamu?" sambut Calvin antusias.