"Aku bukan aku yang dulu, Silvi. Namun cintaku seperti dulu..." ucap Calvin lirih.
"Cintaku pun tak berubah, Calvin. Sama seperti dulu." balas Silvi.
Susah payah Calvin bangkit dari ranjangnya. Dipeluknya Silvi erat. Kalimat yang dibisikkan ke telinga Silvi sukses membuat hatinya bergetar hebat.
"Tak kubiarkan...kau tak bahagia."
** Â Â Â
Detik-detik jelang akad nikah seharusnya membahagiakan. Tidak bagi Silvi. Ia malah berdoa tetiba terjadi gempa yang meruntuhkan hotel mewah ini. Agar tak pernah ada momen pernikahan antara dirinya dengan pria pilihan Calvin.
Sayangnya, tak terjadi apa-apa. Akad nikah dimulai.
"Saya terima nikahnya Revan Tendean bin El Muhammad Tendean dan Silvi Mauriska..."
Revan, si pria berdagu lancip keturunan campuran Minahasa-Belanda-Prancis, menjawab dengan lancar. Prosesi akad nikah berlangsung khidmat.
Manik mata Silvi menangkap gerakan tergesa-gesa dari bangku barisan depan. Calvin, itu Calvin-nya. Kekasih hatinya, belahan jiwanya. Surviver kanker yang telah menceraikannya demi kebahagiaannya. Pria berjiwa besar yang merelakan Silvi bersama orang lain.
Calvin bangkit dari kursinya, lalu berlari meninggalkan ruangan. Ia gagal menahan perih hatinya. Ya Allah, sakit sekali melihat orang yang dicintai bersama yang lain. Setangguh apa pun, Calvin tetaplah manusia biasa. Punya kelemahan. Bisa bersedih, bisa merasa kehilangan.