"Aku? Menggantikanmu di samping Silvi? It's impossible."
"Why not? Katamu, setiap kemungkinan bisa terjadi."
"Calvin Wan, kamu ini terlalu pintar atau terlalu bodoh ya? Jelas-jelas Silvi sulit terbuka dengan orang lain, sulit menerima orang baru. Menerimamu dalam kehidupannya saja sudah bagus. Dia tak semudah itu membiarkan orang lain lagi masuk dalam hidupnya. Well, sepertinya dia menyukaimu."
Perkataan Adica membuat Calvin terhenyak. Sementara itu, sang adik tersenyum penuh kemenangan. Tangannya terkepal di sisi tubuhnya. Senang bisa menghantam hati kakaknya technical knock out.
Brak!
Mendadak pintu kamar tamu terbuka keras. Silvi berdiri di ambangnya, rambutnya berantakan. Matanya sembap. Mengikuti intuisinya, Calvin buru-buru mendekat. Memeluk pundak Silvi.
"What's the matter with you, Silvi?"
Lama Silvi terdiam dalam pelukan Calvin. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Mengatakan ketakutannya, rasa tidak ingin kehilangan Calvin, dan sejenisnya. Akhirnya ia hanya mampu berkata.
"Hanya mimpi buruk."
"Ok. Lupakan saja. Untuk apa dipikirkan? Tidur lagi sana."
"Aku tidak bisa tidur."