"Calvin, sebenarnya kamu ada hubungan apa dengan Silvi?" selidik Adica.
Langkah Calvin terhenti. Menatap adiknya penuh tanya. Mengapa Adica masih mempertanyakan hal itu? Ia baru saja mengantar Silvi ke kamar tamu. Memastikan Silvi dapat tidur dengan nyaman, lalu tetiba saja ia disodori pertanyaan konyol.
"Kuanggap dia seperti adik perempuanku. That's all." jawab Calvin jujur.
"Adik perempuan?" Adica bertelekan pinggang dengan angkuh.
"Lalu, kemana Syifa? Dia juga adik perempuanmu. Adik kandungmu."
"Syifa dan Silvi adalah adik-adik perempuanku." Calvin menyahut diplomatis.
Nampaknya Adica tak puas. "Adik? Di zaman begini, masih ada yang seperti itu ya? Calvin...Calvin, kamu terlalu polos."
"Maksudnya?"
"Pria dan wanita yang tergolong sudah dewasa, lalu terjebak dalam hubungan brother zone, itu berbahaya. Sangat berbahaya. Ada satu titik, dan ini pasti terjadi...satu dari kalian, atau kalian berdua, jatuh cinta. Kebanyakan pihak wanitalah yang mengalaminya. Meski tidak tertutup kemungkinan pihak pria yang jatuh cinta, atau kedua-duanya. Itu sangat berbahaya. Setiap kemungkinan bisa terjadi. Kamu siap? Atau kecuali jika suatu saat nanti Allah membuat hati kalian berubah dan ingin merubah arah relasi itu. Yah...entahlah. Apa pun bisa terjadi. Apa lagi, kamu dan Silvi dipertemukan dengan cara yang tidak biasa."
Dipertemukan dengan cara yang tidak biasa. Kata-kata itu berkelebatan di benak Calvin. Hati bisa berubah kapan pun Allah menginginkan. Adica benar.
"Ok. Kalau menurutmu berbahaya, mengapa tidak kamu selamatkan? Mengapa kamu tidak bersama Silvi saja? Menjadi penggantiku..." tukas Calvin, antara menantang dan meyakinkan dirinya sendiri.