"Kamu tetap cantik, Silvi. Dalam keadaan apa pun," Calvin berujar setulus hati.
"Really?"
"Yes."
Silvi membenamkan wajahnya ke dada Calvin. Tangisnya tumpah. Satu tangan Calvin masih mengelus kedua pipi Silvi. Sedangkan tangan satunya mendaratkan belaian hangat di kepala si gadis bermata dan berkepribadian unik.
"Kamu tidak perlu takut. Kamu gadis yang cantik...cantik wajahmu, cantik hatimu. Tidak ada yang perlu ditakutkan. Akhir pekan nanti, tunjukkan bahwa kamu anggota keluarga yang cantik, memesona, dan istimewa. Tidak perlu takut, Silvi. Sungguh tidak perlu takut."
"Oh Calvin Sayang, tidak semudah itu. Aku memang gadis bodoh, kesepian, dan tidak laku. Tidak cantik pula. Lihat wajahku."
"Silvi..."
Memanggil lembut nama gadis penyuka bunga lily dan strawberry itu, Calvin mendekatkan wajahnya ke wajah Silvi. Hidung mereka nyaris bersentuhan. Mata sipit bening yang tenang meneduhkan itu bertemu pandang dengan sepasang mata biru.
"Ingat satu hal: kamu gadis yang cantik. Kecantikan terpancar dari dalam dirimu. Hargailah itu. Dan soal breakout ini," Sekali lagi Calvin mengusap lembut pipi Silvi.
"Hanya sementara. Pasti hilang. Wajahmu akan kembali cantik seperti semula. Insya Allah."
Hati yang galau luar biasa coba ditenangkan. Calvin yang lembut dan punya kepekaan sosial tinggi, begitu memahami perasaan Silvi. Blogger, peragawan, dan mantan duta budaya Tionghoa itu berusaha menghapus kegalauan di hati sang gadis.