Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Psikolove, Akhirnya Ku Menemukanmu (7)

6 Desember 2017   05:52 Diperbarui: 6 Desember 2017   06:18 1298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Do you ever think about me?

Do you ever cry yourself to sleep?

In the middle of the night when you're awake

Are you calling out for me?

Do you ever reminisce?

I can't believe in nothing like this

I know it's crazy

How I still can feel your kiss

It's been six months, eight days, twelve hoursSince you went away

I miss you so much and I don't know what to say

I should be over you

I should know better but it's just not the case

It's been six months, eight days, twelve hoursSince you went away (Brian McKnight-6, 8, 12).

Silvi memainkan pianonya. Menyanyikan sebuah lagu. Rindu mengalir di sudut hati terdalam. Kerinduan pada seseorang yang menempati tempat spesial di hatinya. Seseorang yang telah mengobati luka hatinya, mencairkan kebekuannya, dan meluruhkan kerak-kerak es di dinding jiwanya.

Amat disayangkan. Sudah 6 bulan, 8 hari, dan 12 jam sejak pria baik itu pergi. Tepatnya pergi karena paksaan. Keadaanlah yang memaksa.

Buliran bening di sudut mata disekanya. Air mata mewakili perasaannya yang gamang. Silvi mendesah tak kentara, lagi-lagi membaca ulang e-mail yang diterimanya. Bisakah mereka mencoba lagi?

"Calvin, waiting for me..." bisik Silvi, lalu mencium smartphonenya. Membayangkan wajah si penyembuh luka hati.

Enam bulan, delapan hari, dan dua belas jam mereka tak bertemu. Semua ini lantaran larangan dari keluarga Silvi. Rupanya mereka masih mencurigai Calvin. Mereka tak setuju Silvi bersama Calvin.

Entah apa salah Calvin sampai-sampai keluarga Silvi tak menyukainya. Mereka selalu yakin, Calvin akan mencelakai Silvi. Sungguh, jalan pikiran keluarganya sulit dimengerti.

"Enam bulan, delapan hari, dan dua belas jam kita tak bertemu. Mudah-mudahan kita bisa segera bertemu. Semoga tidak terjadi apa-apa...semoga minggu depan kita akan bisa mengobati kerinduan itu." Silvi bergumam lirih. Sekali lagi menciumi telepon pintar di tangannya.

Derap langkah menuruni tangga disusul suara mezosopran membuyarkan lamunannya. Buru-buru Silvi menengadah. Nyonya Atikah dan Clara datang menghampirinya.

"Ehm...ada yang mau dinner di Kelapa Gading minggu depan." kata Clara, tersenyum penuh arti.

Tubuh Silvi bagai membeku. Dari mana Clara tahu?

"Sayang, kamu yakin?" tanya Nyonya Atikah lembut. Membungkuk, lalu mengelus anak-anak rambut di kening Silvi.

"Yakin apa?"

"Yakin mau dinner? Aku ini Mamamu, Silvi. Jangan sembunyikan apa-apa dari Mama."

Sudah jelas. Pastilah ada tangan-tangan yang membajak dan menyadap e-mailnya. Silvi melirik curiga ke arah Clara. Gadis berwajah oriental dan berambut sepundak itu kemungkinan besar pelakunya. Tuduhan itu bukannya tak berdasar. Pertama, Clara membenci Calvin. Selalu saja ia mencari-cari alasan untuk menyudutkan Calvin dan membuatnya tak disukai. Kedua, kemampuan IT Clara di atas rata-rata. Perkara mengutak-atik e-mail mudah baginya. Mungkin saja ia tahu password Silvi, membongkar inbox e-mailnya, dan menunjukkan pesan-pesan antara Calvin dan Silvi pada Nyonya Atikah.

"Silvi, coba pikirkan kemungkinan terburuk." tukas Clara, menarik kursi lalu duduk di samping adiknya.

Alis Silvi terangkat. Ia menunggu Clara menyelesaikan ucapannya.

"Bagaimana jika saat dinner nanti, kamu bertengkar dengan Calvin? Kalian marah, lalu Calvin meninggalkanmu? Sementara kamu sendirian di tempat asing. Astaga...aku tak bisa membayangkannya, Silvi."

Kemungkinan terburuk. Pasti ada. Waswas pun perlu. Argumen Clara logis juga. Tapi, ini hanya sebuah makan malam. Tidakkah terlalu berlebihan?

"Lalu, bagaimana jika sebenarnya Calvin punya maksud jahat padamu? Memperalatmu, memperdaya, dan memanfaatkanmu? Kamu cantik, Silvi. Mudah sekali memanfaatkan gadis-gadis cantik sepertimu." Nyonya Atikah tanpa ragu mengungkapkan argumennya.

"Nah itu...Mama benar. Bisa saja si Calvinmu yang kelihatannya tampan dan alim itu, ternyata anggota sindikat tertentu misalnya. Lalu kamu dimanfaatkan, dijadikan korban. Organ-organ tubuhmu diambil, atau kamu diserahkan pada orang lain untuk dijadikan wanita panggilan. Oh my God...so scary." Clara menakut-nakuti.

"Kalian berlebihan." sela Silvi dingin.

Clara menghela nafas. Mencubit kedua pipi adik semata wayangnya itu. Menatap mata biru Silvi lurus-lurus.

"Silvi, zaman sekarang ini tak ada yang bisa dipercaya. Aku tak mau kamu jatuh ke tangan yang..."

"Assalamualaikum. Ada apa ini?"

Pintu depan terbuka. Masuklah Tuan Wildan dan Sarah, kakak sulung Clara dan Silvi. Sorot mata keduanya begitu keheranan melihat wajah-wajah tegang itu.

"Hei, ada apa?" selidik Sarah.

"Ini, si Silvi. Mau dinner sama orang aneh." cetus Clara tajam.

"What? Sama siapa?" Sarah nampak tertarik.

"Calvin Wan."

Mendengar itu, Sarah terdiam. Wajahnya pun berubah tegang. Tuan Wildan tenang-tenang saja, malah kesannya tak peduli. Berjalan cepat melewati mereka menuju pantry. Pasti berniat menyeduh teh.

"Tapi...kenapa harus Calvin?"

"Entahlah. Pilihan adikku."

Sarah mengerutkan kening. Menatap Clara, Nyonya Atikah, dan Silvi bergantian. Ia berlutut di depan Silvi. Membelai-belai lembut kedua tangan gadis itu.

"Silvi cantik...adikku sayang, apa jaminannya yang membuat kami percaya kalau kamu akan aman bersama Calvin?"

Sifat lembut keibuannya muncul. Sarah tidak setajam dan seangkuh Clara saat mengkritisi sesuatu. Ia jauh lebih halus. Lebih hati-hati dalam berbicara dan bersikap.

"Coba Mama ingin lihat. Mama ingin tahu, apakah dia bisa dipercaya?" tandas Nyonya Atikah.

"Ma, aku punya ide yang lebih bagus." Clara tersenyum sinis, memainkan rambutnya.

"Kita ikuti saja mereka nanti. Pokoknya kita tak boleh ambil risiko. Nanti kalau terjadi apa-apa dengan Silvi, awas saja."

"Coba Mama ingin lihat siapa sebenarnya Calvin Wan itu. Benarkah dia bisa menjaga Silvi dan takkan berbuat jahat padanya? Buktikan dulu pada Mama." Sergah Nyonya Atikah.

"Kalau sudah terbukti, Mama izinkan kamu dinner dengannya, Silvi."

Silvi menundukkan wajah. Habislah kali ini ia disidang sebagian besar anggota keluarga intinya. Inikah bentuk protektif yang luar biasa? Ataukah ini bentuk kecintaan keluarga pada dirinya? Entahlah, Silvi sulit mempercayai fakta kalau banyak orang yang mencintainya.

**      

Sepotong kenangan lama terlintas. Kejadian itu sudah lama berlalu. Momen yang membiaskan ketakutan di benak Silvi. Meski pada akhirnya Calvin tetap berpikiran positif, tak berkonfrontasi dengan keluarganya, bahkan menjaga Silvi sepenuh hati, tetap saja ketakutan dan keresahan itu membekas di hati. Setelah enam bulan, delapan hari, dan dua belas jam terpisah, akhirnya Silvi dan Calvin bertemu lagi.

Akan tetapi, sekarang segalanya berubah. Sejak benih-benih cinta terlarang tumbuh di hati Clara dan Calvin. Cinta itu tak seharusnya ada.

Silvi menggigit bagian dalam pipinya. Untuk bahagia saja sulit sekali. Tepatnya untuk memilih kebahagiaan itu. Dalam situasi begini, Silvi merasa makin kesepian. Rasa kesepian menyelusup ke benaknya.

Apakah kesempatan untuk berbahagia dan bersama orang lain itu dilarang? Benarkah Silvi akan terus-menerus merasa kesepian? Lalu, secepat itukah hati Clara berbalik dan menjadi inkonsisten? Dulunya ia membenci Calvin. Kini dia justru mencintainya. Bahkan berani mendua di belakang Adica.

Bantal dan boneka di sudut ranjang ia raih. Dipeluknya erat. Ia lampiaskan perasaan dengan memeluk benda-benda kesayangannya. Inilah puncak kesepian, keresahan, dan kegelisahan Silvi. Silvi yang cantik, kesepian, dan patah hati. Perasaan kesepian berbaur dengan perasaan tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tidak dicintai. Sungguh, ini tak mudah.

Silvi merindukan Calvin. Mungkin saja Calvin tak pernah merindukannya. Mungkinkah gadis itu harus menunggu selama enam bulan, delapan hari, dan dua belas jam untuk bisa bertemu Calvin lagi? Benar-benar bertemu dengannya, hanya dengannya.

Ruang hampa di hatinya kian berat menyiksa. Beginilah rasanya menahan kesepian dan kegelisahan. Sampai kapan Silvi tenggelam dalam keresahan?

Sejujurnya, awal-awal perkenalannya dengan Calvin cukup memberikan kesan manis. Calvin yang tampan, baik hati, setia, konsisten, dan berdarah keturunan telah memikat Silvi. Sejak dulu, gadis itu sangat pemilih. Hanya ingin bersama pria berdarah campuran. Silvi punya alasan. Pertama, ingin mencari seseorang yang sama dengannya. Di mata Silvi, pria berdarah campuran akan jauh lebih pengertian dan perasa. Sebab mereka tahu rasanya bagaimana berbeda dari orang lain, bagaimana dipanggil aneh-aneh lantaran darah campuran yang mereka miliki, dan mereka lebih toleran terhadap perbedaan. Kedua, faktor naluri. Intuisi menuntun Silvi untuk dekat dan hanya dekat dengan pria blasteran. Dia enggan bersama pria berdarah Indonesia asli. Ini bukan soal rasis, melainkan instingtif. Ketiga, ingin mempertahankan keturunan yang baik. Menikahi pria blasteran, otomatis Silvi akan mempertahankan gen yang bagus. Tidak seperti kedua orang tuanya. Mama-Papanya tidak mendapatkan gen Indo sama sekali. Silvi tidak mewarisi kecantikan dan mata biru itu dari mereka, tapi dari dua generasi sebelumnya. Di antara sekian banyak saudara dan sepupunya, hanya Silvi yang memilikinya. Makanya Silvilah yang dibilang tercantik dalam lingkaran keluarga. Waktu kecil, Silvi satu-satunya anggota keluarga yang mendapat julukan "Bule" di luar sana. Dia pun senang karena kini Sarah memilih calon suami berdarah campuran Melayu-India. Itu artinya, ada gen bagus yang masih bisa dipertahankan. Terpendam benih kecil harapan di sudut hatinya. Clara akan menikahi pria blasteran pula. Tak tahu itu Adica atau siapa pun, yang penting ada gen baik yang bertahan. Silvi amat mengharapkannya.

Entah, dekat dengan Calvin pun soal naluri. Sebelum Calvin mengakui ketionghoaannya, Silvi sudah lama tahu. Sesama blasteran pasti akan mudah saling mengenali satu sama lain. Mereka lebih mudah saling menemukan dan mendekatkan diri. Feeling dan mata hati berperan besar di sini.

Dering ponsel menyadarkannya. Tanpa melihat nama peneleponnya, Silvi menggeser 'answer' di trackpad.

"Silvi, I have a good news."

Suara bass itu, benarkah itu Calvin? Silvi menahan nafas, menunggu kelanjutannya.

"Nanti setelah keluar dari rumah sakit, aku akan melakukan single parent adoption lagi."

"Wow benarkah? That's great. Aku pasti mendukungmu, Calvin. Beruntungnya anak yang akan kamu adopsi!" seru Silvi antusias.

"Iya, Silvi. Aku ingin mengadopsi anak lagi. Mengurusnya, membesarkannya, dan mendidiknya. Sudah saatnya bangkit dari kesedihan, dan mencari kebahagiaan baru. Bukankah mengurus anak akan membuat hati bahagia dan mendapatkan pahala?" Calvin mengakhiri dengan retoris, tertangkap nada bahagia dalam suaranya.

Mengurus anak memang besar tanggung jawabnya. Calvin sudah tahu itu. Ia pasti bisa. Tujuh tahun merawat Angel sudah menjadi bukti bahwa dirinya mampu menjadi ayah yang baik. Silvi tersenyum. Dalam hati ia berjanji untuk mendukung dan membantu Calvin sebisanya. Takkan ia biarkan Calvin melakukan tanggung jawab itu sendirian.

"Oh Calvin, aku merindukanmu. Hari ini aku free. Aku akan datang ke rumah sakit...ingin kulewatkan waktu bersamamu." Silvi berujar lembut.

"Iya, Silvi."

Bahagianya Silvi. Ini pun tak dimengertinya. Silvi selalu ingin melewatkan akhir pekan dan waktu senggangnya bersama Calvin. Gadis itu hanya ingin ditemani Calvin saat ia punya waktu senggang. Calvin pun tak pernah keberatan. Seperti ada yang menggerakkan hatinya untuk menemani Silvi. Benar-benar suatu kebetulan yang aneh. Tak semua rahasia alam bisa dijelaskan. Ah andai saja tak ada Clara...

Sedikit kebahagiaan penyembuh kesepian telah hadir.

**      

Ada cinta yang sejati

Ada sayang yang abadi

Walau kau masih memikirkannya

Aku masih berharap kau milikku (Isyana Sarasvati-Masih Berharap).

**      

"Kamu menulis apa?" tanya Silvi lembut.

"Ulasan tentang blockchain." jawab Calvin.

Silvi tersenyum kecil. Lekat memperhatikan gerakan tangan Calvin mengetikkan kata demi kata di laptopnya. Menulis dalam keadaan sakit tidaklah mudah.

Hari yang tidak begitu sibuk untuk Silvi. Praktis dia bisa menemani Calvin. Hanya mereka berdua, tanpa Clara. Tanpa Adica. Hanya Calvin dan Silvi.

Menatap wajah Calvin berlama-lama, mematrinya di dalam hati. Melihat senyumnya, tatapan matanya, gerakan tangannya, gesturenya. Mendengarkan suara bassnya yang lembut menenangkan. Semua itu sudah lebih dari cukup untuk Silvi.

Banyak pertanyaan berkejaran di benak Silvi. Tentang single parent adoption, kesehatan Calvin, tulisan-tulisannya, dan masih banyak lagi. Ia tahan hingga pria tampan itu selesai menulis. Lama mengenal Calvin membuat Silvi tahu, pria berdarah keturunan perebut hatinya itu tak ingin diganggu jika sedang menulis.

"Calvin, boleh aku tanya sesuatu?" Silvi memulai, tepat ketika Calvin memposting artikelnya.

"Tanya apa, Silvi?"

Dua pasang mata bertemu. Tatapan Calvin tak hanya lembut. Melainkan hangat menenteramkan. Membuat Silvi nyaman karenanya.

"Kamu yakin soal single parent adoption itu? Sudah kamu temukan anak yang bisa kamu adopsi?"

"Aku yakin. Soal anak, belum kutemukan. Tapi akan segera kucari. Kamu mau bantu? Kamu mau ikut aku mencarinya?"

Mata Silvi berbinar bahagia. Benarkah tawaran ini untuknya?

"Tentu saja...aku pasti bantu kamu!" Silvi tak dapat menahan nada antusias dalam suaranya.

"Okey. Kita akan cari begitu semuanya sudah siap."

"Calvin, kamu hebat. Kamu kuat dan tegar. Aku yakin kamu pasti akan mendapatkan kebahagiaan suatu saat nanti."

Giliran Calvin yang tersenyum. Satu tangannya terulur, membelai rambut Silvi. Hati gadis itu bergetar hebat. Aliran darahnya bertambah cepat.

"Aku tidak hebat, Silvi. Hanya ingin menjadi ayah angkat yang baik." Calvin berujar lembut, kini memegang kedua tangan Silvi.

Listrik ratusan volt bagai menyerbu tubuh Silvi. Tidak, mengapa jadi begini? Tetiba ia berharap Calvin segera keluar dari rumah sakit. Agar dirinya bisa mengulang kembali momen-momen indahnya bersama Calvin. Tanpa siapa pun yang mengganggu, hanya mereka berdua.

**     

Beberapa hari berikutnya, harapan Silvi terkabul. Sore itu ia baru saja tiba di rumah. Seminar nasional di Badan Bahasa yang diikutinya membuatnya letih. Namun keletihan gadis blasteran Sunda-Inggris itu terbayar seketika dengan kehadiran seseorang: Calvin.

Ya, Calvin menjemputnya. Silvi benar-benar dibuat kaget oleh kedatangan Calvin. Semula, dikiranya Calvin datang menjemput Clara. Ternyata tidak. Calvin datang untuk Silvi.

"Dinner?" ulang Silvi tak percaya. Harapannya menjadi nyata.

"Iya. Kita dinner. Kamu mau makan apa?" tanya Calvin, melempar senyum simpatiknya.

Tubuh Silvi gemetar. Bukan karena takut, tetapi gugup bercampur excited.

"Bagaimana kalau pasta?" Suaranya tak lebih dari bisikan.

"Pasta? Okey, ada tempat bagus dan recomended di dekat sini."

Kedua kaki Silvi terasa berat seakan digantungi barbel ketika memasuki kamarnya. Bersiap-siap, memilih baju. Mempertimbangkan dress apa yang akan dipakainya. Begitulah Silvi yang anggun dan cantik. Dia punya style sendiri. Terlebih salah satu side job-nya selain penulis adalah model. Tiap kali modeling, baju yang diperagakannya adalah dress.

Gugup luar biasa, gadis cantik itu sengaja mengulur waktu. Memastikan dirinya cukup cantik sebelum beranjak keluar kamar. Ia ingin tampil sempurna di depan Calvin Wan.

Di ruang depan, Calvin tengah berbincang dengan Nyonya Atikah. Sikap Nyonya Atikah tak sedingin sebelumnya. Ia jauh lebih percaya pada Calvin.

"Ready," ujar Silvi ceria.

Sejurus kemudian Calvin meraih lembut tangannya. Nyonya Atikah tersenyum-senyum memperhatikan mereka berdua. Manakah sesungguhnya yang dicintai Calvin, Clara atau Silvi? Dua anak gadisnya ditakdirkan dekat dengan putra pengusaha Tionghoa sukses itu.

"Hati-hati ya. Jangan lama-lama, Calvin." Nyonya Atikah berpesan, mengantar mereka sampai ke halaman depan.

Range Rover kesayangan Calvin telah menanti. Silvi disergap waswas, menduga Calvin akan menyetir sendiri. Ternyata tidak. Salah satu supir keluarga duduk di balik kemudi.

Mobil melaju pergi. Menyusuri kompleks perumahan, lalu meluncur mulus di jalan raya. Silvi duduk di sisi Calvin, amat menikmati perjalanannya ini. Sudah lama dia tak pergi berdua dengan pria pujaan hatinya. Betapa rindunya ia akan saat-saat seperti ini.

Sebuah cafe yang terkenal dengan menu pastanya mereka datangi. Dengan gallant, Calvin membukakan pintu mobilnya untuk Silvi. Lembut menuntun gadis itu. Hati Silvi terasa hangat sewaktu Calvin menyelipkan jemari tangannya ke dalam rengkuhan tangannya sendiri.

Fettucini, pizza, dan Italian chocolate menemani mereka. Getaran-getaran halus terasa di hati Silvi. Betapa lembutnya sikap Calvin. Betapa halus cara bicaranya. Betapa sabar dirinya membantu Silvi.

"Mau kupotongkan? Biar kamu lebih mudah..." tawar Calvin penuh perhatian, disambuti anggukan Silvi.

Dengan telaten, Calvin membantu Silvi. Menyendokkan fettucini untuknya, mengaduk Italian Chocolate untuknya. Semua itu ia lakukan dengan sabar, lembut, dan penuh kasih. Tak ada tanda-tanda kekesalan dan kejenuhan sama sekali.

"Thanks Calvin. Sorry aku merepotkanmu," ucap Silvi.

"Tidak Silvi, sama sekali tidak merepotkan."

Perlahan, Silvi mulai memakan fettucininya. Merasakan kelezatannya. Selama menikmati fettucini, tak puas-puasnya Silvi memandangi Calvin. Begitu besar rindunya ia pada pria kelahiran 9 Desember itu. Sejak keluar dari rumah sakit, Ccalvin terlihat jauh lebih tampan. Dua kali lebih tampan dari sebelumnya. Lebih banyak tersenyum dan tertawa lepas. Itu semua karena Silvi, bukan karena Clara. Silvi bahagia, sungguh bahagia.

Sakit di matanya ia hiraukan. Walau sudut matanya mulai berair, namun ia tahan. Tak ingin dirusaknya atmosfer kehangatan ini.

Tanpa diduga, Calvin mengulurkan sehelai tissue. Paham jika saat itu Silvi memerlukannya.

"Matamu berair, Silvi." kata Calvin lembut.

Sendok itu diletakkannya. Ganti mengusap matanya, hatinya kembali berat oleh kekhawatiran dan perasaan tak enak. Ia telah banyak merepotkan pria penyabar itu. Lihatlah, Calvin meraih sendok yang tadi diletakkan Silvi dan menyendokkan lagi Fettucini untuknya.

Setengah jalan kembali menikmati fettucininya, perhatian Silvi teralih seketika. Ada yang merusak nuansa bahagia itu. Calvin terbatuk. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Mata Silvi melebar ketakutan. Belum pernah ia lihat kondisi Calvin seperti itu. Apa yang telah terjadi?

"Calvin, are you ok?" lirih Silvi. Ia bergerak cemas di kursinya. Hati kecilnya tergerak untuk memeluk dan menepuk punggung Calvin. Namun ia takut salah. Sungguh, ia tak bisa melihat blogger super tampan yang dikasihinya itu sakit.

Tetesan darah terjatuh ke atas meja. Cepat-cepat Calvin menyekanya.

"I'm ok..." Cukup dua kata yang terucap, namun bernada menenangkan.

Si gadis bermata biru memejamkan mata. Ia sudah hampir menangis. Amat takut Calvin kenapa-napa.

"Kamu...kamu tidak sakit, kan?" Silvi merendahkan suaranya, terlihat makin khawatir.

"Tidak tidak, aku tidak sakit."

Tidak sakit, lalu mengapa ada darah? Ketakutan menggulung hati Silvi rapat-rapat. Air matanya hampir saja terjatuh.

Usai makan malam, Calvin kembali melakukan hal yang sama. Menuntun lembut tangan Silvi, membukakan pintu mobil untuknya dengan gallant, dan tersenyum menenteramkan. Di mobil, sepanjang perjalanan pulang, Calvin menggenggam tangan Silvi. Kehangatan mengaliri hati Silvi. Ya Allah, bolehkah ia minta supaya waktu berhenti? Sekejap saja, agar dirinya bisa lebih lama bersama Calvin.

"Calvin, kamu yakin tidak apa-apa?" Silvi melempar pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya.

"Iya, aku tidak apa-apa. Mengapa kamu selalu mudah khawatir? Mengapa tidak khawatirkan dirimu saja?" Calvin balik bertanya. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Silvi seraya mempererat genggaman tangannya.

"Orang lain lebih penting. Termasuk dirimu, Calvin Wan."

Refleks Silvi merapatkan tubuhnya pada Calvin. Bermanja-manja padanya. Memandangi paras wajahnya lekat-lekat. Andai saja tak ada wanita lain, andai saja Silvi tidak patah hati beberapa bulan sebelumnya, andai saja mereka tak terhalang perbedaan usia yang lebih jauh. Mungkin segalanya lebih mudah. Sebenarnya bukan perbedaan usia yang dipermasalahkan Silvi. Bukankah cinta dan kasih tak mengenal usia? Akan tetapi, ada wanita lain dalam hidup Calvin. Wanita yang jauh lebih spesial dibandingkan dirinya sendiri. Masih pantaskah Silvi untuk berharap? Clara pastilah lebih pantas untuk blogger super tampan itu. Clara, bukan Silvi.

Masihkah Calvin memikirkan Clara? Tidakkah ia pernah sekali saja memikirkan Silvi? Hati gadis itu sedih sekaligus bahagia. Berada di dekat Calvin membuatnya bahagia. Namun ia terbentur pada kecemasan lain.

Satu kecemasan Silvi belum terjawab: mengapa Calvin mengeluarkan darah sebanyak itu jika dirinya baik-baik saja? Tidakkah Calvin menyembunyikan kondisinya yang sebenarnya? Itu pulakah penyebab lamanya perawatan di rumah sakit? Lantas, sakit apa Calvin Wan sebenarnya? Silvi takut, amat takut. Ia takut terjadi sesuatu. Lebih dari itu, ia takut kehilangan belahan hatinya.

**     

Jakarta, 5 Desember 2017

Tulisan cantik di saat Young Lady bahagia sekaligus sedih di saat bersamaan.

Salahkah memilih dan hanya membatasi diri dengan pria berdarah campuran untuk mencari kesamaan?

**     

https://www.youtube.com/watch?v=fp0hIhv_3Oo

https://www.youtube.com/watch?v=JKeFqvckXvY

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun