Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dapatkah Menebus Rasa Bersalah?

31 Oktober 2017   05:58 Diperbarui: 31 Oktober 2017   06:00 1641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sekali, dua kali, tiga kali. Ia mencoba meraih gelas di atas meja. Tak berhasil. Jari-jarinya terasa sulit digerakkan. Sungguh sebuah kebodohan. Seorang pengidap osteosarkoma stadium lanjut, dengan tangan yang nyaris lumpuh, mencoba menjangkau benda yang sulit diambilnya.

Namun ia terus memaksakan diri. Ia tidak boleh menyusahkan orang lain. Meski di luar sana ribuan karyawan, sekretaris, dan keluarganya siap membantu, namun pria tampan itu bertekad melakukannya sendiri. Jangan sampai menyusahkan orang lain, begitu pikirnya.

Sekali lagi ia mencoba. Sementara kedua tangannya terasa semakin sakit. Kali ini ujung jari telunjuknya telah mendarat di tepi gelas. Sebentar lagi berhasil. Ia pasti bisa. Sekuat tenaga ia menggerakkan tangannya. Meraih gelas berisi air putih dan tablet obat dengan sisa-sisa kekuatannya.

Sebelum berhasil, rasa sakit itu hadir. Pria tampan berkulit putih dan bermata sipit itu kesakitan, sungguh sakit. Kanker stadium lanjut merenggut habis kesehatannya.

Ya Allah, cobaan hidup pria baik hati ini seakan tak pernah usai. Sejak kecil, ia divonis menderita Disleksia. Suatu gangguan berbahasa yang membuatnya kesulitan membaca, menulis, dan berbicara. Tiap kali ia menulis, membaca, dan berbicara, kata-katanya selalu tertukar dan terbalik. Sebaliknya, ketika ia menghitung angka atau memecahkan soal Matematika yang rumit, ia tak pernah kesulitan. Penyakit Disleksia membuat pria tampan dengan perpaduan wajah oriental dan Kaukasia yang menawan itu dianggap difabel dan tak berguna oleh keluarganya. Ibunya, yang notabene seorang model sekaligus fashion editor di sebuah majalah mode ternama, malu mempunyai anak seperti dia. Sang ibu berkeras menyekolahkannya ke sekolah luar biasa. Namun dicegah sang ayah. Alhasil ia bersekolah di sekolah umum seperti adik-adiknya.

Disleksia membuat hidupnya menderita. Ia di-bully teman-temannya, ditolak keluarganya, dan diremehkan gurunya. Tak tahan di sekolah biasa, ia memutuskan homeschooling. Enam tahun lamanya homeschooling dijalani. Setelahnya, ia kembali menjalani pendidikan di sekolah biasa. Lagi-lagi kasus bullying bertubi-tubi yang dihadapinya.

Segi positifnya, ia tumbuh menjadi pria tangguh. Keterbatasan ditaklukkannya. Sudah banyak contoh penderita Disleksia yang pintar dan sukses. Calvin Wan layak menjadi salah satu contohnya. Akhirnya, ia berhasil menaklukkan keterbatasan itu. Semester 5 sudah menjadi asisten dosen. Menjadi pemain skateboard ternama. Memulai bisnis cafe dengan usahanya sendiri tanpa sedikit pun bantuan orang tua. Umur 20 tahun ia sudah menjadi pebisnis hebat, memiliki rumah pribadi dan penghasilan besar. Padahal Calvin berbisnis sambil kuliah dan menjadi asisten dosen. Itulah sebabnya pada usia 20 tahun ia nekat melakukan perbuatan mulia: menjadi ayah angkat. Ia mengadopsi anak dari sepupu jauhnya sendiri. Proses single parent adoption dilakukan. Mudah, mengingat sepupu jauhnya dan anak yang dilahirkannya tinggal di luar negeri. Sepupunya itu meninggal tak lama setelah melahirkan bayinya. Ayah si bayi tak bertanggung jawab dan melarikan diri. Alhasil, peran seorang ayah diambil alih oleh Calvin Wan, si pengidap Disleksia yang sukses dengan studi dan bisnisnya.

Calvin membawa bayi lelaki yang tampan itu ke rumahnya. Dirawatnya dengan penuh kasih sayang. Segera saja anak itu diberi nama: Jabar Nur Goldy Calvin. Nama yang indah. Terdapat selipan asmaul husna dan bahasa Arab di dalamnya. Calvin sendiri yang memilih nama itu. Bangga menyelipkan namanya sendiri di belakang nama anak angkatnya.

Di usia yang masih belia, Calvin telaten melakoni peran hidupnya: mahasiswa, pebisnis, asisten dosen, sekaligus ayah. Ia mampu membagi waktu. Prioritasnya adalah Goldy, anak tunggalnya. Tahun berikutnya, Calvin berhasil lulus dengan predikat cum laude. Kini ia bisa fokus berbisnis, bermain skateboard, sambil mengurus anaknya.

Cobaan kembali datang menghampiri. Belum lama berbahagia dengan kelulusan dan kesuksesannya, Calvin kembali jatuh sakit. Bukan lagi Disleksia yang merampas kebahagiaannya. Melainkan kanker tulang. Kepedihan hidup nampaknya enggan berdamai dengan Calvin.

Lima tahun lamanya Calvin berjuang melawan kanker. Ia tak melupakan tugasnya sebagai ayah. Bisnis cafe tetap dijalankannya. Begitu pula perusahaan milik keluarga yang kelak akan jatuh ke tangannya. Hanya saja, Calvin telah berhenti main skateboard. Justru ia punya cara lain untuk melawan Disleksia dan Osteosarkomanya: menjadi blogger. Ya, Calvin Wan adalah seorang blogger terkenal di sebuah media citizen journalism. Media itu berada di bawah naungan grup penerbitan dan pers ternama di Indonesia. Calvin terkenal sebagai blogger tampan yang konsisten menulis. One day one article, itulah targetnya. Sakit di tubuhnya ia lawan dengan menulis. Puluhan blogger lain berhubungan baik dengannya, ribuan pembaca mengaguminya. Tapi mereka tak pernah tahu, bila Calvin Wan yang mereka kagumi ternyata penderita Disleksia dan surviver kanker.

Lima tahun telah berlalu. Kini kankernya sudah memasuki stadium lanjut. Derita kian bertambah, Calvin tetap tabah menerimanya.

Kesakitan sudah menjadi hal biasa. Pagi ini, dosis kesakitannya jauh lebih besar. Sedetik. Tiga detik. Lima detik...

Prang!

Bukannya berhasil diambil, gelas kristal itu jatuh dan pecah. Air serta tablet obat tumpah. Di saat bersamaan, Calvin memuntahkan darah segar. Ia tertegun menatap darahnya sendiri. Bisa-bisanya ia memuntahkan darah sebanyak itu.

"Daddy Calviiiiin.....!"

Seorang anak kecil berteriak. Shock melihat darah dan pecahan gelas di lantai kamar. Anak laki-laki berwajah tampan itu tak lain Goldy.

"Goldy Sayang..." Calvin bergumam lirih. Ingin memeluk putra tunggalnya, namun tak berdaya.

Sungguh, Calvin tak tega melihat air mata meleleh di pipi anak itu. Jarang sekali Goldy menangis. Ia lebih banyak tersenyum dan tertawa bahagia. Apa pun Calvin lakukan demi membahagiakan anak satu-satunya.

Kini, Goldy menangis karena dirinya. Calvin sedih dan menyesal. Kian kuat keinginan untuk mengusap air mata anak lelakinya, memeluknya, dan menenangkannya. Akan tetapi, ia tak berdaya. Sungguh tak berdaya.

Teriakan Goldy menebar kepanikan di seluruh rumah. Nyonya Lola dan Tuan Rio berlari menaiki tangga ke lantai atas. Disusul putra-putri mereka yang lain, Adica dan Syifa. Melihat apa yang terjadi, mereka terkejut seketika.

"Rio, ayo cepat! Calvin harus segera mendapat penanganan di rumah sakit!" teriak Nyonya Lola panik, air mata membasahi wajah cantiknya.

Calvin kehilangan setengah kesadarannya akibat rasa sakit. Ia masih bisa melihat raut wajah Adica dan Tuan Rio yang diliputi kepanikan, air mata Nyonya Lola, tangisan Goldy, dan embun bening di mata Syifa. Mereka semua mengkhawatirkannya, bersedih karenanya. Beban penyesalan itu semakin berat.

**      

Paviliun mewah di rumah sakit berkelas internasional. Lagi-lagi, perasaan eksklusif dan terisolasi itu menyeruak. Calvin membenci paviliun ini. Tak bisakah ia memilih ruangan lain saja?

"Daddy harus sembuh..." isak Goldy, memegang erat tangan kirinya.

"Iya, Sayang." lirih Calvin, sekuat mungkin menggenggam tangan mungil putranya.

Tubuh Goldy sedikit gemetar. Syifa dan Adica bergantian memeluknya. Nyonya Lola dan Tuan Rio masih menemui dokter spesialis Onkologi. Berkonsultasi, berdiskusi, mempertimbangkan langkah selanjutnya. Calvin sebenarnya sudah tak peduli lagi dengan kesembuhan. Yang dikhawatirkannya justru Goldy.

"Goldy mau jagain Daddy di sini." ujar si anak lima tahun tampan nan cerdas itu.

"Jangan, Sayang. Goldy harus pulang ke rumah. Harus belajar dan istirahat." cegah Calvin halus.

Goldy menggelengkan kepalanya. Satu tangannya mengangkat tas berisi notebook dan buku-buku pelajaran. Dalam tas itu, terdapat pula kantong tidur.

"Goldy bisa belajar di sini, bisa tidur di sini sama Daddy. Nggak masalah."

Tiga pasang mata menatap Goldy keheranan. Anak cerdas. Masih kecil, tapi pemikirannya sistematis. Ia selangkah lebih maju.

"Good boy. Kapan kamu menyiapkan ini semua, Sayang?" desah Syifa.

"Apa semua kids jaman now secerdas Goldy kita ini ya?" Adica berkata sambil tersenyum.

"Belum tentu." timpal Calvin, mengusap lembut rambut Goldy.

"Cuma anaknya Daddy Calvin yang brilian dan selangkah lebih maju. Iya kan, Sayang?"

Ucapan Calvin ditingkahi anggukan mantap Goldy. "Iya dong. Siapa dulu Daddynya. Daddy Calvin."

Kebekuan mencair. Sedikit demi sedikit, atmosfer kehangatan kembali melingkupi. Khawatir berganti ceria. Masih ada benih harapan tersisa.

Hangatnya suasana tak disia-siakan Calvin. Ia ingin berjalan-jalan di taman rumah sakit. Goldy, Adica, dan Syifa tak punya alasan untuk menolak permintaannya. Mereka bertiga pun menemani Calvin ke taman. Adica dan Syifa bergantian mendorong kursi rodanya. Sedangkan Goldy berjalan di depan mereka, seolah menjadi guide.

**      

Sesaat saja tak kauizinkan tuk buktikan

Semua pasti berubah

Andai saja ada kesempatan kauberikan

Kita masih bersama

Bagaimana harus kulupakan semua

Saat hati memanggil namamu

Atau harus kurelakan kenyataan

Kita memang tak sejalan

Namun kau adalah pemilik hatiku (Calvin Jeremy-Pemilik Hatiku).

**     

Hal pertama yang dijumpainya di taman luas berumput manila itu bukanlah hal biasa. Bagaimana tidak, Calvin melihat sosok dari masa lalunya. Gadis cantik berambut panjang, berkulit putih, dan berlesung pipi itu. Gadis itu tengah menghibur seorang anak kecil berkepala botak yang memakai piyama rumah sakit. Mungkin anak penderita kanker atau penyakit ganas lainnya. Si anak tersenyum mendengarkan alunan musik dari kotak musik yang dibuka-tutup oleh gadis itu.

Tubuh Calvin bagai membeku. Ia masih mengingat gadis itu dengan jelas. Senyumnya, rambut panjangnya, mata bulat hitamnya, dan lesung pipinya. Cinta di masa lalunya. Cinta yang harus terpisah karena kurangnya waktu, perbedaan prinsip, dan ujian kesetiaan.

"Lho, itu kan Calisa." kata Adica.

"Kakak mau temui dia?" tawar Syifa lembut.

Tanpa menunggu jawaban Calvin, Syifa mendorong kursi rodanya. Mendekat ke arah bangku taman, tempat gadis bernama Calisa itu duduk bersama si anak berkepala botak. Adica dan Goldy mengikuti dari belakang. Goldy menarik lengan kemeja Adica, lalu bertanya polos.

"Uncle Adica, siapa sih Calisa itu?"

Adica tersenyum kecil. "Panggil Auntie Calisa, Sayang. Auntie Calisa itu temannya Daddy Calvin."

Goldy mengangguk paham. Melempar pandang ingin tahu pada Calisa.

Jarak semakin dekat, semakin dekat, dan semakin dekat. Pada saat bersamaan, Calisa pun mulai tersadar. Ada yang mendekatinya. Ia buru-buru bangkit, ingin melihat siapa yang menghampiri. Betapa kagetnya ia melihat sosok pria super tampan di atas kursi roda itu.

"Calvin?"

"Calisa?"

Mereka berbicara hampir bersamaan. Calisa membeku di tempatnya. Calvin menatapi Calisa dari atas ke bawah. Calisa Karima, mantan kekasihnya. Gadis kelahiran 4 Desember berdarah campuran Minang-Jerman. Blogger, model, novelis, motivator, dan hypnotherapyst. Wajahnya cantik. Sikapnya anggun. Multitallented, begitulah orang-orang memujinya. Calisalah cinta pertama Calvin. Gadis pertama yang membuatnya luluh. Gadis pertama yang mengulurkan tangan untuk mencintai pengidap Disleksia ini sepenuh hati.

Mula-mula hubungan mereka berjalan mulus. Semuanya terasa indah. Sampai akhirnya, Calisa terlalu sibuk dan kehilangan banyak waktu. Calvin tak bisa terima. Di luar dugaan, Calvin yang lembut, penyabar, dan penyayang itu berubah menjadi kasar. Ia sering memarahi dan membentak-bentak Calisa. Gadis itu tak punya banyak waktu untuknya dan Goldy. Terlalu sibuk dengan studi dan pekerjaannya.

Belum lagi tercipta perbedaan prinsip di antara mereka. Ujian kesetiaan melengkapi petaka. Baik Calvin maupun Calisa sama-sama menghadapi lingkungan yang memudahkan banyaknya cinta mendekat. Calvin dan Calisa tergolong populer. Nama mereka dikenal banyak orang karena keberhasilan di bidang yang mereka tekuni. Popularitas memudahkan hadirnya banyak pilihan. Bukankah kesetiaan diuji ketika ada pilihan yang lebih baik?

Ketiga hal itu meretakkan hubungan Calvin dan Calisa. Perpisahan mereka berlangsung dengan cara yang kurang baik. Kini, mereka bertemu lagi. Setelah lama terpisah. Setelah lama saling menyalahkan dan menyakiti.

"Apa kabar?" tanya Calvin. Ia menundukkan wajah, tak sanggup menatap mata Calisa.

"Baik..." jawab Calisa pelan.

Kecanggungan tercipta. Keheningan berlalu dengan menyakitkan. Calvin dan Calisa merasakan beratnya saat-saat itu. Bekas luka lama kembali terbuka.

"Aku selalu membaca buku-bukumu..." ungkap Calvin setelah terdiam sesaat.

"Thanks."

Bibir Calisa bergetar. Banyak hal yang ingin ia katakan. Semuanya hanya tertahan di dalam hati. Ia takut dan segan melakukannya. Ia lihat Calvin dengan mata kepalanya sendiri. Calvin Wan, pria super tampan di masa lalunya. Tetap tampan walau sakit keras. Sinar matanya tetap sama, kelembutan dan kesabaran dalam raut wajahnya tak berubah.

Lalu, anak lelaki di belakang kursi rodanya itu. Tak salah lagi, dia pastilah Goldy. Anak itu makin tampan. Mirip sekali dengan ayah angkatnya. Teergugah hati Calisa untuk bertanya kabarnya, tapi rasa takut dan segan mengalahkan segalanya.

Ketakutan itu berpadu dengan rasa bersalah. Calisa baru saja patah hati. Dia tak mau lagi membuka hati untuk orang lain, tak terkecuali untuk Calvin. Terlebih Calvin sering menyakitinya di masa lalu. Memarahinya, membentak-bentaknya, berbuat kasar padanya. Memupuk rasa bersalah. Membuat Calisa merasa bersalah di setiap waktu. Seolah waktu dan perhatian Calisa selalu kurang.

Takkan pernah ia lupakan betapa kasarnya Calvin saat itu. Calisa merasa marah, frustasi, tertekan, dan sedih. Bayangan masa lalu sulit terhapus di hatinya. Lewat masa lalu kelamnya dengan Calvin, ia belajar satu hal. Waktu adalah cara untuk mempertahankan kelangsungan suatu hubungan. Itulah sebabnya Calisa selalu memberi waktu dan perhatian untuk orang-orang yang disayanginya, sesibuk apa pun dia.

"Permisi, aku harus pergi." pamit Calisa, buru-buru berbalik meninggalkan Calvin. Tak tahan lagi di dekat pria tampan berwajah pucat itu lebih lama.

"Calisa, tunggu!" panggil Calvin, namun sia-sia saja. Calisa mempercepat langkah.

Calvin menatap masygul kepergian Calisa. Hatinya sakit dan menyesal. Andai saja Calisa memberinya kesempatan untuk berubah, mungkin mereka masih bersama. Mungkin Goldy akan punya Mommy. Mungkin Calisa tak perlu dikejar-kejar perasaan bersalah.

**     

"Mas Cinta...Mas Cinta, buka pintunya."

Ketukan halus berubah menjadi gedoran. Tangan Calisa bergetar hebat, wajahnya pucat pasi. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Seorang pria berjas dan berdasi dark brown melangkah keluar dari ruang kerja.

"Hei Young Lady...are you ok?" sapa pria itu.

"I'm not ok. Mas Cinta, aku takut."

Calisa terisak, menghambur ke pelukan saudara tirinya.

Kata orang, mereka saudara lain ayah. Namun terlahir dari ibu yang sama. Beberapa tahun lalu, takdir mempertemukan mereka. Wahyu Sasono dan Calisa Karima. Bahagia? Tentu saja. Siapa yang tak bahagia bertemu saudara sendiri yang telah lama terpisah?

Wahyu sangat menyayangi Calisa. Sudah lama ia memperhatikan Calisa dari jauh. Ia terinspirasi dari adik tirinya itu. Sampai-sampai Wahyu melekatkan panggilan khusus pada Calisa: Young Lady. Tak mau kalah, Calisa memberikan panggilan khas untuk kakaknya: Mas Cinta. Rekan-rekan sesama blogger pun memanggilnya begitu.

Sejak menemukan Calisa, Wahyu begitu menyayanginya. Sangat mempedulikan Calisa. Tak hanya memperhatikan, ia pun sering menolong Calisa di saat sulit. Ketika Calisa sempat mengundurkan diri dari media citizen journalism tempatnya mengaktualisasi diri sebagai blogger, Wahyu menawarinya pindah ke media sebelah. Di media yang lain itu, ternyata Calisa masih kesulitan. Lalu, apa yang dilakukan Wahyu? Tiap pagi, Wahyulah yang menayangkan tulisan-tulisan Calisa. Ia melakukannya, setiap hari, tanpa kenal lelah dan jemu. Ia lakukan itu dalam waktu lama, sampai Calisa akhirnya kembali ke media yang dianggapnya sebagai rumah pertama. Calisa tak pernah menceritakannya pada siapa pun. Yang jelas, ia berterima kasih pada saudara lain ayahnya itu.

"Mas Cinta, tadi aku ketemu Calvin." Calisa setengah terisak.

"Calvin Wan? Mau apa lagi dia?" selidik Wahyu, ketidaksukaan menepi di wajahnya.

"Aku tidak tahu. Tapi aku takut, Mas Cinta. Rasa bersalah itu masih membekas. Masih kuingat kekasarannya. Caranya memarahiku."

Wahyu tersenyum penuh pengertian. Mengelus rambut panjang Calisa.

"Nikmati saja. Mungkin ini pertanda dari Tuhan, agar kamu membuka hati. Mungkin Tuhan ingin kamu punya pasangan." Susah payah Wahyu menekan rasa sentimennya pada Calvin. Ia tak menyukai Calvin, tapi egonya mesti dikesampingkan.

"No way...aku tidak mau. Okey dia memang baik dan penyayang, tapi...aku tidak akan melupakan perbuatannya." tolak Calisa frustrasi.

"I see. Kudengar, kamu sampai melakukan Cognitive Behavior Therapy untuk menolong dirimu sendiri. Jalan satu-satunya adalah menikmatinya."

Sejurus kemudian, Wahyu menuntun Calisa ke sofa. Mendudukkannya, lalu membuatkan teh untuk gadis itu. Calisa mengerjapkan mata. Earl Grey, minuman favorit yang mengingatkannya pada Calvin.

"Bantu aku, Mas Cinta. Bantu aku menebus rasa bersalahku." pinta Calisa.

Seraya menghempaskan tubuh di sofa sebelahnya, Wahyu bertanya lembut. "Apa yang bisa kubantu, Young Lady?"

"Aku tak bisa lagi memberikan waktu dan perhatianku untuk Calvin dan Goldy. Tapi, mungkin aku masih bisa memberi waktu dan perhatian untukmu sebagai gantinya. Izinkan aku melakukannya. Setidaknya untuk mengurangi rasa bersalahku. Aku akan senang jika diizinkan melakukannya. Mau kan, Mas Cinta?"

Ada kelembutan di mata Calisa. Seberkas harapan terlihat pula. Hati Wahyu luluh. Sekali lagi, diusapnya rambut Calisa.

"As a brother? Ok. Tapi, panggilannya jangan berubah ya. Aku tidak mau menggunakan panggilan sayang peninggalannya si Calvin jelek."

Kelegaan menghangati hati Calisa. Ia menyesap Earl Greynya, tersenyum bahagia.

"Yes. Paling tidak, rasa bersalahku berkurang. Thanks a lot, Mas Cinta. Love you."

"You're wellcome. Love you too. Sudah, habiskan tehnya. Aku harus kembali bekerja."

Satu belaian terakhir ia berikan. Setelahnya, Wahyu beranjak kembali ke ruang kerja.

Calisa terenyak. Diakuinya Wahyu cukup baik. Namun Calisa masih sulit percaya. Ada yang meyakinkan Calisa, bahwa banyak orang yang mencintainya. Banyak orang menyayangi Calisa. Sayangnya, mata hati Calisa tertutup untuk menerima cinta kasih. Ia lebih senang hidup sendiri.

Akankah terjadi perubahan setelah pertemuannya dengan Calvin? Berhasilkah Calisa menebus kesalahannya? Sungguh tidak enak, hidup dikejar-kejar perasaan bersalah.

**      

Pertemuan dengan Calisa membuat hatinya terguncang. Begitulah Calisa yang sekarang. Lebih cantik, lebih anggun, namun jauh lebih dingin. Segera saja ia mengambil iPadnya. Mencari tahu banyak hal tentang gadis pengisi masa lalunya. Banyak hal yang tidak ia ketahui. Kini ia perlu mencari tahu.

Begitulah Calvin. Senang memperhatikan orang dari jauh. Ia berbakat jadi secret admirer. Secara tiba-tiba memberi perhatian pada seseorang yang dikagumi, walau orang itu tak perlu tahu siapa dirinya. Cukup berada di balik layar.

"Mas Cinta? Siapa lagi ini...?" Calvin bergumam pada dirinya sendiri, terpana melihat foto-foto dan artikel Calisa.

Mungkin dia telah ada yang memiliki. Calvin menundukkan wajah, tahu persis apa artinya ini. Kepedihan hidup belum menjauh darinya. Kapankah kepedihan berganti kebahagiaan?

Dari sanalah Calvin terinspirasi untuk menulis artikel tentang kebahagiaan. Apa kata sains tentang kebahagiaan? Begitulah ia memberi judul artikelnya. One day one article, seperti biasa. Calvin Wan hanya sekadar berbagi pada para pembaca, namun apa yang dibaginya sangatlah berarti. Sebab dirinya sendiri, belum sekalipun menemukan kebahagiaan.

**    


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun