Lima tahun telah berlalu. Kini kankernya sudah memasuki stadium lanjut. Derita kian bertambah, Calvin tetap tabah menerimanya.
Kesakitan sudah menjadi hal biasa. Pagi ini, dosis kesakitannya jauh lebih besar. Sedetik. Tiga detik. Lima detik...
Prang!
Bukannya berhasil diambil, gelas kristal itu jatuh dan pecah. Air serta tablet obat tumpah. Di saat bersamaan, Calvin memuntahkan darah segar. Ia tertegun menatap darahnya sendiri. Bisa-bisanya ia memuntahkan darah sebanyak itu.
"Daddy Calviiiiin.....!"
Seorang anak kecil berteriak. Shock melihat darah dan pecahan gelas di lantai kamar. Anak laki-laki berwajah tampan itu tak lain Goldy.
"Goldy Sayang..." Calvin bergumam lirih. Ingin memeluk putra tunggalnya, namun tak berdaya.
Sungguh, Calvin tak tega melihat air mata meleleh di pipi anak itu. Jarang sekali Goldy menangis. Ia lebih banyak tersenyum dan tertawa bahagia. Apa pun Calvin lakukan demi membahagiakan anak satu-satunya.
Kini, Goldy menangis karena dirinya. Calvin sedih dan menyesal. Kian kuat keinginan untuk mengusap air mata anak lelakinya, memeluknya, dan menenangkannya. Akan tetapi, ia tak berdaya. Sungguh tak berdaya.
Teriakan Goldy menebar kepanikan di seluruh rumah. Nyonya Lola dan Tuan Rio berlari menaiki tangga ke lantai atas. Disusul putra-putri mereka yang lain, Adica dan Syifa. Melihat apa yang terjadi, mereka terkejut seketika.
"Rio, ayo cepat! Calvin harus segera mendapat penanganan di rumah sakit!" teriak Nyonya Lola panik, air mata membasahi wajah cantiknya.