"Calvin Wan? Mau apa lagi dia?" selidik Wahyu, ketidaksukaan menepi di wajahnya.
"Aku tidak tahu. Tapi aku takut, Mas Cinta. Rasa bersalah itu masih membekas. Masih kuingat kekasarannya. Caranya memarahiku."
Wahyu tersenyum penuh pengertian. Mengelus rambut panjang Calisa.
"Nikmati saja. Mungkin ini pertanda dari Tuhan, agar kamu membuka hati. Mungkin Tuhan ingin kamu punya pasangan." Susah payah Wahyu menekan rasa sentimennya pada Calvin. Ia tak menyukai Calvin, tapi egonya mesti dikesampingkan.
"No way...aku tidak mau. Okey dia memang baik dan penyayang, tapi...aku tidak akan melupakan perbuatannya." tolak Calisa frustrasi.
"I see. Kudengar, kamu sampai melakukan Cognitive Behavior Therapy untuk menolong dirimu sendiri. Jalan satu-satunya adalah menikmatinya."
Sejurus kemudian, Wahyu menuntun Calisa ke sofa. Mendudukkannya, lalu membuatkan teh untuk gadis itu. Calisa mengerjapkan mata. Earl Grey, minuman favorit yang mengingatkannya pada Calvin.
"Bantu aku, Mas Cinta. Bantu aku menebus rasa bersalahku." pinta Calisa.
Seraya menghempaskan tubuh di sofa sebelahnya, Wahyu bertanya lembut. "Apa yang bisa kubantu, Young Lady?"
"Aku tak bisa lagi memberikan waktu dan perhatianku untuk Calvin dan Goldy. Tapi, mungkin aku masih bisa memberi waktu dan perhatian untukmu sebagai gantinya. Izinkan aku melakukannya. Setidaknya untuk mengurangi rasa bersalahku. Aku akan senang jika diizinkan melakukannya. Mau kan, Mas Cinta?"
Ada kelembutan di mata Calisa. Seberkas harapan terlihat pula. Hati Wahyu luluh. Sekali lagi, diusapnya rambut Calisa.