"Apa kabar?" tanya Calvin. Ia menundukkan wajah, tak sanggup menatap mata Calisa.
"Baik..." jawab Calisa pelan.
Kecanggungan tercipta. Keheningan berlalu dengan menyakitkan. Calvin dan Calisa merasakan beratnya saat-saat itu. Bekas luka lama kembali terbuka.
"Aku selalu membaca buku-bukumu..." ungkap Calvin setelah terdiam sesaat.
"Thanks."
Bibir Calisa bergetar. Banyak hal yang ingin ia katakan. Semuanya hanya tertahan di dalam hati. Ia takut dan segan melakukannya. Ia lihat Calvin dengan mata kepalanya sendiri. Calvin Wan, pria super tampan di masa lalunya. Tetap tampan walau sakit keras. Sinar matanya tetap sama, kelembutan dan kesabaran dalam raut wajahnya tak berubah.
Lalu, anak lelaki di belakang kursi rodanya itu. Tak salah lagi, dia pastilah Goldy. Anak itu makin tampan. Mirip sekali dengan ayah angkatnya. Teergugah hati Calisa untuk bertanya kabarnya, tapi rasa takut dan segan mengalahkan segalanya.
Ketakutan itu berpadu dengan rasa bersalah. Calisa baru saja patah hati. Dia tak mau lagi membuka hati untuk orang lain, tak terkecuali untuk Calvin. Terlebih Calvin sering menyakitinya di masa lalu. Memarahinya, membentak-bentaknya, berbuat kasar padanya. Memupuk rasa bersalah. Membuat Calisa merasa bersalah di setiap waktu. Seolah waktu dan perhatian Calisa selalu kurang.
Takkan pernah ia lupakan betapa kasarnya Calvin saat itu. Calisa merasa marah, frustasi, tertekan, dan sedih. Bayangan masa lalu sulit terhapus di hatinya. Lewat masa lalu kelamnya dengan Calvin, ia belajar satu hal. Waktu adalah cara untuk mempertahankan kelangsungan suatu hubungan. Itulah sebabnya Calisa selalu memberi waktu dan perhatian untuk orang-orang yang disayanginya, sesibuk apa pun dia.
"Permisi, aku harus pergi." pamit Calisa, buru-buru berbalik meninggalkan Calvin. Tak tahan lagi di dekat pria tampan berwajah pucat itu lebih lama.
"Calisa, tunggu!" panggil Calvin, namun sia-sia saja. Calisa mempercepat langkah.