Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Hati yang Rapuh

19 Oktober 2017   05:50 Diperbarui: 19 Oktober 2017   05:59 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pintu kayu berpernis mengilap itu terbuka. Wangi citrus membelai lembut indera penciuman, khas pewangi ruangan kesukaan Fransisca. Karpet tebal berwarna biru menutupi sebagian besar lantai kamar. AC masih menyala. Refleks Calvin meraih remote dan mematikannya. Ranjang berukuran queen size berdiri di tengah kamar. Lengkap dengan bedcover dan bantal-bantal lucu berwarna pink. Warna favorit Fransisca pula. Satu sisi dinding kamar dipasangi wallpaper, sisi lainnya dipenuhi pigura foto. Sebagian besar foto Fransisca dan foto keluarga. Menampilkan kebersamaan Calvin, Calisa, dan Fransisca. Momen-momen tak terlupakan dalam lima tahun kehidupan Fransisca diabadikan lewat semua foto itu.

Setumpuk kecil buku pelajaran dan kertas catatan tersusun rapi di meja belajar. Lembaran kertas di tumpukan teratas bertuliskan sebuah puisi pendek dalam Bahasa Inggris. My Daddy, itulah judul puisinya. Calvin membaca puisi itu sekilas. Tulisan tangan Fransisca sangat rapi. Puisi indah yang diberi nilai 'Excellent' oleh gurunya. Ini pastilah salah satu tugas sekolah. Fransisca mengerjakannya dengan sepenuh hati.

Bagian tengah kertas puisi itu basah. Tubuh Calvin gemetar, bukan karena rasa dingin akibat demam yang dideritanya. Melainkan karena shock, kesedihan, dan penyesalan mendalam. Buliran kristal bening jatuh membasahi kertas yang dipegangnya. Di depan siapa pun, Calvin Wan nampak tegar. Ketegaran yang tersembunyi di balik sikap dingin. Akan tetapi, saat ia sendirian, kesedihan tertumpah begitu saja.

Meletakkan kembali kertas itu ke tempat semula, Calvin beralih membuka lemari pakaian. Menatapi tumpukan baju milik Fransisca yang tersusun rapi. Tak salah lagi, Calisa yang merapikannya. Ia mengenali susunan baju yang sangat khas istrinya. Koleksi dress Fransisca sangat banyak. Beberapa yang paling baru bahkan belum sempat dipakai. Masih segar dalam ingatan Calvin, beberapa bulan lalu putri cantiknya itu menyumbangkan beberapa potong pakaiannya untuk anak-anak yatim-piatu. Ia sendiri yang melakukannya tanpa diminta. Terbiasa melihat Calvin dan Calisa berbagi pada orang-orang tidak mampu, Fransisca tergerak melakukan hal serupa. Baju-baju yang masih bagus menjadi perantara. Ia berikan pada beberapa anak seusianya yang kurang beruntung.

"Kamu anak baik, Sayang. Cepat sekali kamu pergi..." Tanpa sadar Calvin berbisik, menarik salah satu dress di antara tumpukan baju lainnya. Mengurai dress cantik berwarna putih itu, memeluknya. Merasakan wangi khas Fransisca melekat di sana. Wangi vanilla yang lembut. Kelak Calvin akan merindukan wangi itu.

Lemari-lemari lainnya pun ia buka. Ditatapinya koleksi aksesoris, perhiasan, sepatu, tas, dan boneka kepunyaan Fransisca. Beberapa jepit rambut lucu beraksen bunga rose belum sempat disentuh. Pemiliknya lebih dulu meninggal sebelum sempat memakainya. Boneka-boneka beraneka warna dengan berbagai ukuran memenuhi lemari besar di samping meja belajar. Semua boneka Fransisca dinamai. Kermit dan Aurora adalah dua boneka favoritnya. Fransisca selalu memeluk boneka-boneka itu tiap kali rindu Calvin.

Kini semuanya tinggal kenangan. Fransisca telah pergi. Tak mungkin ia kembali. Calvin hanya bisa mendoakannya. Ia berjanji takkan pernah berhenti mendoakan Fransisca.

Meninggalkan kamar Fransisca, Calvin beranjak ke studio musik. Ini ruangan favorit dirinya, Calisa, dan Fransisca. Mereka sering bernyanyi dan bermain musik di sini. Tiap kali ada waktu senggang, studio musik adalah pelarian mereka.

Piano berdenting lembut. Dimainkan oleh tangan-tangan yang dialiri kesedihan. Suara bass yang menyanyikan lirik-lirik lagunya terdengar lembut dan penuh penghayatan.

Tuhan tolonglah hapus dia dari hatiku

Kini semua percuma

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun