Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Hati yang Rapuh

19 Oktober 2017   05:50 Diperbarui: 19 Oktober 2017   05:59 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

9 Desember bukan hanya hari ulang tahunnya. Melainkan hari kematian orang-orang yang dicintainya. Bagaimana itu bisa terjadi? Entahlah, skenario hidup rancangan The Best Planner Allah SWT sangat misterius dan sulit ditebak. Manusia beriman hanya bisa mengikuti dan menerima apa pun kehendakNya.

Kematian selalu terjadi di awal bulan dua belas. Tepatnya di hari kesembilan. Kematian sang Papa menjadi awal. Kehilangan pertama yang menggoreskan luka mendalam. Disusul kehilangan sahabat terdekat. Satu kehilangan luar biasa yang mengguncangkan jiwanya. Kepedihan hidup seakan belum mau berdamai dengan pria baik hati itu. Kehilangan ketiga melengkapi derita. Hari ini, tepat tanggal 9 Desember, di usianya yang ke-31 tahun, ia kehilangan putri tunggalnya. Putri semata wayang yang telah mewarnai hidupnya lima tahun terakhir.

"Kematian adalah sesuatu yang pasti," ungkap Ustadz Swandito disambuti anggukan para pelayat.

"Setiap makhluk bernyawa pasti akan menghadapi kematian. Hanya saja, kita tidak tahu kapan waktunya. Allahlah sang pemilik rahasia umur setiap makhluk yang hidup di dunia. Mari kita doakan Fransisca Elizabeth Noura Calvin, semoga Ananda Fransisca mendapat tempat terbaik di sisi Allah dan dilapangkan kuburnya."

Para pelayat berpakaian hitam itu bergumam mengamini. Doa-doa tercurah untuk Fransisca. Anak cantik berumur lima tahun yang harus pergi begitu cepat. Nyawanya terenggut paksa akibat kecelakaan. Mobil maut dan pengemudinya yang tak bertanggung jawab itu, telah merenggut nyawa Fransisca.

Sejak pagi, ratusan karangan bunga simbol bela sungkawa dikirimkan. Satu per satu pelayat berdatangan. Rumah besar berlantai dua bernuansa broken white yang biasanya sepi itu dipenuhi lantunan Yasin. Nuansa duka melingkupi seisi rumah. Perabotan mewah, lukisan mahal, lantai marmer, jam dinding kuno di ruang tengah, ornamen kayu yang menghiasi tepi balkon, lemari-lemari penuh pajangan kristal, puluhan pot berisi bunga, dan beberapa mobil mewah keluaran terbaru yang terparkir di garasi menjadi saksi bisu kedukaan itu. Keluarga besar berduka, para pelayat terbawa dalam arus duka yang sama.

Di antara mereka, ayah Fransiscalah yang paling berduka. Ya, pria baik hati yang lahir di tanggal 9 Desember itu. Pria yang menyematkan namanya di belakang nama Fransisca. Kini putrinya telah pergi. Pergi ke tempat dimana tak satu pun orang yang bisa memanggilnya kembali.

"Calvin, sabar ya? Ikhlaskan Fransisca," bisik Nyonya Thalita. Wanita 75 tahun yang masih terlihat cantik itu memeluk putra bungsunya erat.

Bagaimana pun penghiburan yang ia terima, tetap tak mampu membasuh luka hati lantaran kehilangan. Luka di hati Calvin terlanjur dalam. Sangat sulit terobati.

"Kamu harus kuat. Fransisca pasti tak mau melihat ayahnya bersedih." lanjut Nyonya Thalita. Sekuat tenaga ditahannya kelenjar air mata untuk berproduksi. Bila ia ingin menguatkan putranya, dirinya sendiri pun harus kuat dan tegar.

Pelan-pelan Calvin melepas pelukan Mamanya. Sejurus kemudian ia bangkit. Melangkah mendekati meja tempat jenazah putrinya berada. Saatnya ia melakukan tugas terakhir sebagai seorang ayah. Dengan lembut, Calvin mengangkat jenazah Fransisca. Para pelayat yang berkumpul di ruang tamu menatapnya tak percaya. Trenyuh dengan sikap Calvin.

"Biar aku yang memandikan jenazah Fransisca," ujar Calvin lirih.

"Calvin, tunggu!" seru seorang wanita dari atas tangga.

Kemunculan istrinya sungguh tak terduga. Langkah Calvin terhenti. Masih memeluk erat jenazah Fransisca. Dilihatnya Calisa yang cantik, dengan gaun hitam panjang membalut sempurna lekak-lekuk tubuhnya, berjalan menuruni anak tangga. Selangkah demi selangkah, Calisa mendekat. Kian dekat, kian dekat, Calvin dapat melihat bekas air mata di wajah cantik istrinya. Matanya memerah. Rona kesedihan terukir jelas tanpa bisa tertutupi lagi.

"Kita akan mandikan jenazah Fransisca bersama-sama. Dia bukan hanya anakmu, tapi anakku juga." ucap Calisa.

"Calisa, are you sure?" tanya Calvin lembut.

Calisa mengangguk. Di wajahnya, terpancar ketegaran dan tekad kuat. Mungkin ia tengah berjuang dengan dirinya sendiri untuk melepaskan himpitan beban kesedihan. Entah siapa yang lebih hancur setelah kematian Fransisca, Calvin atau Calisa.

Sepasang suami-istri berlainan etnis dan budaya itu meninggalkan ruang tamu. Diiringi tatapan haru sejumlah pelayat. Haru melihat ketegaran dan keikhlasan mereka.

Selama memandikan jenazah Fransisca, tak dapat dipungkiri lagi. Calvin sering kali melayangkan tatapan pada Calisa. Lagi-lagi ia lihat wajah sendu berurai air mata itu, tatapan muram itu, tangan yang gemetar saat mengusapkan sabun ke tubuh Fransisca yang kini tak bernyawa. Semua detail terekam jelas di benak Calvin.

Calisa membantunya memandikan jenazah Fransisca dalam diam. Tidak sedikit pun bicara. Hanya air matanya yang terus mengalir. Menandakan kesedihan itu belum pergi dari hatinya. Andai Calisa tahu, kesedihan tanpa kata ini sangat menyiksa bagi Calvin. Kebisuan Calisa seolah menjadi bentuk protes yang paling menyakitkan. Seakan Calisa ingin menyalahkannya atas kematian Fransisca.

Jika dipikir-pikir, Calvin memang layak disalahkan. Paling tidak, ia punya andil besar atas kematian putrinya sendiri. Berawal dari acara dies natalis sekolah internasional itu. Fransisca terpilih menjadi anggota paduan suara yang menyanyikan beberapa lagu di acara puncak. Semula, segalanya berjalan lancar. Show yang sempurna dari paduan suara anak-anak sekolah internasional. Cantiknya Fransisca dengan pakaian indah dan riasan make up natural. Kejutan kecil yang dikirimkan Calvin di tengah-tengah waktu jeda antara penampilan pertama dan kedua. Sekotak kue kesukaan Fransisca, kejutan kecil dari Calvin, mempermanis hari itu.

Ironisnya, bahagia tak berlangsung lama. Tergantikan oleh kesedihan tanpa ujung. Calvin terlambat menjemput putri cantiknya. Alhasil, Fransisca tergoda menerima tawaran temannya untuk pulang bersama. Jarak sekolah dengan rumah cukup dekat. Baru tiga langkah menyeberangi jalan, mobil maut itu datang. Ganas menabrak Fransisca. Tubuh kecil itu terlempar menghantam jalan beraspal. Darah berceceran, rasa sakit luar biasa. Nyawa Fransisca tak tertolong. Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Sebuah kematian yang tragis. Calvin berulang kali menyalahkan diri sendiri. Sungguh, rapat-rapat di kantornya tak sebanding dengan nyawa Fransisca. Mengapa ia harus menukar nyawa anak tunggalnya sendiri dengan karier dan kepentingan bisnis? Buat apa jabatan tinggi, harta berlimpah, namun Fransisca pada akhirnya tak bisa menikmati?

Duka Calvin belum apa-apa dibandingkan Calisa. Begitu mendengar kabar meninggalnya Fransisca, wanita blasteran Sunda-Belanda itu jatuh pingsan. Shock mendapati putri kandungnya, anak yang ia lahirkan lima tahun lalu dengan taruhan nyawanya sendiri, kaku tanpa napas kehidupan. Sedih bercampur dengan kehilangan menyerbu hati Calisa.

Jenazah Fransisca selesai dimandikan. Calvin dan Calisa menatap lekat-lekat wajah putri mereka. Fransisca sangat cantik. Ia memiliki perpaduan wajah oriental dan Kaukasia yang diwarisi dari Mommy-Daddynya. Sepasang mata biru Fransisca sama persis seperti mata Calisa. Kulit putih dan wajah bulatnya sempurna, mirip sekali dengan Calvin.

Tanpa diduga, Calisa mencium kening Fransisca. Satu bulir air mata jatuh di wajahnya. Calvin tak tahan lagi. Ia meraih tangan Calisa. Digenggamnya tangan wanita itu erat.

"Calisa, maafkan aku." Calvin berbisik.

"Gara-gara aku, Fransisca meninggal. Aku benar-benar minta maaf."

Calisa melepas genggaman tangan Calvin dengan lembut. Perlahan ia tersadar. Suhu panas mengalir dari tangan Calvin.

"Kamu demam, Calvin. Sebaiknya kamu tidak usah ke pemakaman. Istirahatlah." kata Calisa datar.

"Aku ingin mengantar Fransisca ke peristirahatan terakhirnya, Calisa." Calvin berkeras, mengabaikan kesehatannya sendiri.

"Are you ok?" Satu pertanyaan Calisa yang menjadi bahasa cinta di antara mereka. Ini bukanlah pertanyaan biasa. Melainkan satu dari beberapa kalimat yang menjadi bahasa cinta mereka berdua.

"I'm ok, thanks. Kenapa kamu terus mengkhawatirkanku?" Tertangkap nada protes dalam suara bass Calvin.

Calisa menghela napas panjang. Tak tahukah suaminya betapa ia mencintainya? Betapa besar kekhawatirannya lantaran cinta yang besar pula?

"My Lovely Calvin, khawatir itu wajar. Kekhawatiran merupakan bentuk dari empati, perhatian, dan kasih sayang. Aku khawatir padamu karena kulihat kamu tidak baik-baik saja." jelas Calisa sabar.

Tidak, ini tidak benar. Seharusnya Calisa menyalahkannya, bersikap dingin, dan apatis padanya. Tapi mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Rasanya Calvin tak layak mendapat perhatian Calisa. Ia telah menzhalimi wanita itu dengan kegagalannya melindungi Fransisca. Ia sudah membunuh anak yang dilahirkan wanita cantik itu. Apa balasannya? Perlakuan yang lembut dan penuh kasih. Tidakkah Calisa terlalu baik, terlalu sempurna? Ataukah ini hanya salah satu cara Calisa untuk menghukumnya? Kesalahan menghilangkan nyawa Fransisca mungkin saja tak termaafkan.

"Please Calvin, istirahatlah. Biar aku yang ikut ke pemakaman," bujuk Calisa.

"Big no...aku harus ikut."

Dua manusia keras kepala itu saling tatap. Masing-masing membenarkan pendapatnya sendiri. Mereka sadar, ini pun demi kebaikan satu di antara mereka. Calvin jelas-jelas sedang sakit. Kondisinya tak memungkinkan untuk mengantar Fransisca ke peristirahatan terakhirnya. Entah mengapa, Calvin harus sakit pada waktu yang tidak tepat.

Pada akhirnya Calvin menyerah. Ia tetap tinggal di rumah. Beristirahat dan memulihkan kondisi fisiknya yang jatuh. Sementara Calisa pergi ke pemakaman.

Persepsi lain tumbuh di hati Calvin. Ini pastilah salah satu taktik Calisa. Agar rasa bersalahnya makin dalam. Mana mungkin Calisa tulus mengkhawatirkannya? Bukankah kesalahannya tak termaafkan?

Tak lama kemudian, mereka berpisah. Ragu-ragu Calisa memeluk Calvin sebelum pergi. Ia tak sepandai Calvin dalam merangkai kata cinta. Hanya sanggup menatap dan membelai rambut suami super tampannya. Tanpa ada kata terucap. Calisa pasrah. Ia hanya bisa berharap, tatapan dan bahasa tubuhnya membuat Calvin percaya bahwa ia masih mencintainya. Apa pun yang terjadi, rasa cinta Calisa takkan berubah. Kematian Fransisca bukan alasan bagi Calisa berhenti mencintai Calvin.

Pemandangan yang mengharukan. Pria Tionghoa dan wanita berdarah campuran Sunda-Belanda berpelukan erat. Berbagi rasa cinta lewat pelukan. Mereka baru saja kehilangan seorang anak. Kini mereka berusaha saling menguatkan lewat pelukan hangat.

Puluhan mobil meluncur pergi. Rumah besar itu kembali diselimuti sunyi. Calvin melangkah menyusuri ruangan demi ruangan. Aura kematian masih terasa begitu kuat. Kesunyian yang dingin menyelimuti seluruh bagian di rumah itu. Mulai dari ruang tamu sampai garasi, halaman depan hingga kolam renang di halaman belakang. Kamar-kamar di lantai atas tak kalah menakutkan dan menyedihkan. Ruang terakhir yang dikunjungi Calvin adalah kamar Fransisca.

Pintu kayu berpernis mengilap itu terbuka. Wangi citrus membelai lembut indera penciuman, khas pewangi ruangan kesukaan Fransisca. Karpet tebal berwarna biru menutupi sebagian besar lantai kamar. AC masih menyala. Refleks Calvin meraih remote dan mematikannya. Ranjang berukuran queen size berdiri di tengah kamar. Lengkap dengan bedcover dan bantal-bantal lucu berwarna pink. Warna favorit Fransisca pula. Satu sisi dinding kamar dipasangi wallpaper, sisi lainnya dipenuhi pigura foto. Sebagian besar foto Fransisca dan foto keluarga. Menampilkan kebersamaan Calvin, Calisa, dan Fransisca. Momen-momen tak terlupakan dalam lima tahun kehidupan Fransisca diabadikan lewat semua foto itu.

Setumpuk kecil buku pelajaran dan kertas catatan tersusun rapi di meja belajar. Lembaran kertas di tumpukan teratas bertuliskan sebuah puisi pendek dalam Bahasa Inggris. My Daddy, itulah judul puisinya. Calvin membaca puisi itu sekilas. Tulisan tangan Fransisca sangat rapi. Puisi indah yang diberi nilai 'Excellent' oleh gurunya. Ini pastilah salah satu tugas sekolah. Fransisca mengerjakannya dengan sepenuh hati.

Bagian tengah kertas puisi itu basah. Tubuh Calvin gemetar, bukan karena rasa dingin akibat demam yang dideritanya. Melainkan karena shock, kesedihan, dan penyesalan mendalam. Buliran kristal bening jatuh membasahi kertas yang dipegangnya. Di depan siapa pun, Calvin Wan nampak tegar. Ketegaran yang tersembunyi di balik sikap dingin. Akan tetapi, saat ia sendirian, kesedihan tertumpah begitu saja.

Meletakkan kembali kertas itu ke tempat semula, Calvin beralih membuka lemari pakaian. Menatapi tumpukan baju milik Fransisca yang tersusun rapi. Tak salah lagi, Calisa yang merapikannya. Ia mengenali susunan baju yang sangat khas istrinya. Koleksi dress Fransisca sangat banyak. Beberapa yang paling baru bahkan belum sempat dipakai. Masih segar dalam ingatan Calvin, beberapa bulan lalu putri cantiknya itu menyumbangkan beberapa potong pakaiannya untuk anak-anak yatim-piatu. Ia sendiri yang melakukannya tanpa diminta. Terbiasa melihat Calvin dan Calisa berbagi pada orang-orang tidak mampu, Fransisca tergerak melakukan hal serupa. Baju-baju yang masih bagus menjadi perantara. Ia berikan pada beberapa anak seusianya yang kurang beruntung.

"Kamu anak baik, Sayang. Cepat sekali kamu pergi..." Tanpa sadar Calvin berbisik, menarik salah satu dress di antara tumpukan baju lainnya. Mengurai dress cantik berwarna putih itu, memeluknya. Merasakan wangi khas Fransisca melekat di sana. Wangi vanilla yang lembut. Kelak Calvin akan merindukan wangi itu.

Lemari-lemari lainnya pun ia buka. Ditatapinya koleksi aksesoris, perhiasan, sepatu, tas, dan boneka kepunyaan Fransisca. Beberapa jepit rambut lucu beraksen bunga rose belum sempat disentuh. Pemiliknya lebih dulu meninggal sebelum sempat memakainya. Boneka-boneka beraneka warna dengan berbagai ukuran memenuhi lemari besar di samping meja belajar. Semua boneka Fransisca dinamai. Kermit dan Aurora adalah dua boneka favoritnya. Fransisca selalu memeluk boneka-boneka itu tiap kali rindu Calvin.

Kini semuanya tinggal kenangan. Fransisca telah pergi. Tak mungkin ia kembali. Calvin hanya bisa mendoakannya. Ia berjanji takkan pernah berhenti mendoakan Fransisca.

Meninggalkan kamar Fransisca, Calvin beranjak ke studio musik. Ini ruangan favorit dirinya, Calisa, dan Fransisca. Mereka sering bernyanyi dan bermain musik di sini. Tiap kali ada waktu senggang, studio musik adalah pelarian mereka.

Piano berdenting lembut. Dimainkan oleh tangan-tangan yang dialiri kesedihan. Suara bass yang menyanyikan lirik-lirik lagunya terdengar lembut dan penuh penghayatan.

Tuhan tolonglah hapus dia dari hatiku

Kini semua percuma

Takkan mungkin terjadi

Kisah cinta yang selalu aku banggakan

Kauhempas semua rasa yang tercipta untukku

Takkan pernah melihat betapa ku mencoba jadi yang terbaik untuk dirimu

Oh mengapa tak bisa dirimu

Yang mencintaiku tulus dan apa adanya

Aku memang bukan manusia sempurna

Tapi ku layak dicinta

Karena ketulusan

Kini biarlah waktu yang jawab semua

Tanya hatiku

Takkan pernah melihat betapa ku mencoba jadi yang terbaik untuk dirimu

Oh mengapa tak bisa dirimu

Yang mencintaiku tulus dan apa adanya

Aku memang bukan manusia sempurna

Tapi ku layak dicinta

Karena ketulusan

Kini biarlah waktu yang jawab semua

Oh mengapa tak bisa dirimu

Yang mencintaiku tulus dan apa adanya

Aku memang bukan manusia sempurna

Tapi ku layak dicinta

Karena ketulusan

Kini biarlah waktu yang jawab semua

Waktu yang jawab semua

Tanya hatiku (Pasto-Tanya Hati).

**       

"Hakim memutuskan...perceraian atas nama Calvin Wan dan Calisa Karima."

Ruang sidang dipenuhi atmosfer kemarahan dan kekecewaan. Sebagian besar yang hadir tak terima. Benarkah Calvin dan Calisa resmi bercerai? Belum kering tanah makam Fransisca, keduanya memutuskan berpisah. Tepatnya Calvin yang menceraikan Calisa. Sebagai wanita berhati lembut dan sabar, Calisa hanya bisa menerima dengan ikhlas. Ia anggap keputusan Calvin adalah yang terbaik. Meski hatinya jauh lebih hancur dan terluka.

Para hadirin yang menyaksikan persidangan tak terima. Justru Calvin dan Calisa yang paling tabah menerima keputusan itu. Mereka kini telah resmi berpisah. Bukan karena tak lagi saling mencintai, namun karena adanya hati yang retak dan kesalahpahaman di salah satu pihak.

Di teras gedung pengadilan, Calvin dan Calisa sejenak berhenti melangkah. Saling pandang penuh arti. Masih terasa betapa dalamnya cinta dari tatapan keduanya.

"Calisa, aku ingin kita berpisah baik-baik." Calvin memulai, menatap lurus kedua mata biru Calisa.

"Aku pun menginginkannya. Semoga di atas sana Fransisca bisa mengerti keputusan orang tuanya." balas Calisa.

Sebuah tusukan menghujam hati Calvin. Perih dan menyakitkan. Calisa mengungkit-ungkit soal Fransisca. Ini pasti strategi untuk menghukumnya. Menjebak Calvin dalam perasaan bersalah. Ah, andai saja Calvin sadar. Calisa sama sekali tidak bermaksud menghukum dan menyalahkannya. Bahkan Calisa tetap mencintainya, apa pun yang terjadi. Sayang sekali, mata hati Calvin sudah ditutupi penyesalan sehingga tak melihat tulusnya cinta Calisa.

"I'm not perfect, Calisa. Sudah kukatakan dari awal. Maaf jika aku mengecewakanmu selama ini." ujar Calvin sedih.

Di luar, langit mendung. Bersiap memuntahkan hujan. Akhir bulan Desember yang suram. Sesuram hati mereka.

"Calvin, boleh aku minta sesuatu sebelum kita benar-benar berpisah dan melanjutkan kehidupan sendiri?"

"Tentu. Katakan saja."

Calisa menggigit bibirnya sebelum berucap. "Ciumlah keningku...untuk terakhir kali."

Dalam gerakan slow motion, Calvin mendekat. Jarak yang terbentang di antara mereka makin menipis. Calisa dapat melihat betapa tampannya wajah Calvin Wan. Mengamati lekuk sempurna wajah belahan jiwanya. Belahan jiwa yang kini berstatus sebagai mantan suaminya.

Calvin mencium lembut kening Calisa. Mantan istrinya itu memejamkan mata. Sadar sesadar-sadarnya jika ini adalah ciuman terakhir. Ya Allah, betapa beratnya Calisa harus berpisah dengan Calvin. Dia baru saja kehilangan anak, sekarang ia harus kehilangan lagi. Calisa merasakan dengan pasti, dimana persisnya Calvin menyentuh keningnya dengan bibirnya. Sensasi kehangatan yang takkan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Selamat tinggal Calvin Wan, selamat tinggal pria penyabar, setia, dan konsisten yang telah lama mendampinginya.

**      

Calvin melangkah menyusuri koridor rumah sakit. Satu tangannya memegang amplop berisi hasil tes dari laboratorium. Ia datangi dokter pribadinya. Hasil tes ini harus dijelaskan sekarang juga.

Belum sampai di ruangan dokter, ia dikejutkan oleh kehadiran teman lama. Saling berangkulan dan berjabat tangan dengan akrabnya. Sang teman lama tersenyum, memandangi Calvin dari atas sampai bawah.

"Long time no see...terakhir kita ketemu empat belas tahun lalu, sehari setelah Fransisca meninggal." ungkapnya.

Ya, itu benar. Calvin tersenyum tipis mendengar nama almarhumah putrinya disebut-sebut. Tanpa terasa, empat belas tahun berlalu sejak kematian Fransisca. Jika ia masih hidup, kini umurnya 19 tahun.

"Luar biasa kamu, Calvin. Umur 45 tapi masih super ganteng kayak dulu. Apa sih rahasianya? Calisa pasti senang kalau ketemu kamu lagi sekarang. Oh iya, dia masih sendiri lho."

Calisa masih sendiri? Benarkah itu? Serasa tak percaya mendengarnya. Semestinya, mudah bagi Calisa untuk mencari pengganti dirinya. Berbeda dengan Calvin yang memutuskan tetap hidup sendiri setelah bercerai.

Banyak perubahan yang terjadi selama empat belas tahun terakhir. Trauma dengan meninggalnya Fransisca, Calvin mundur dari jabatannya sebagai business development manager. Sejak saat itu ia menjadi trader dan freelancer. Tak hanya itu. Kini Calvin Wan dikenal sebagai blogger tampan yang konsisten dengan target one day one article di sebuah media citizen journalism yang cukup ternama. Namanya makin dikenal banyak orang karena tulisan-tulisannya seputar ekonomi, bisnis, politik, dan humaniora. Pemikirannya yang brilian ia tuangkan dalam tulisan. Konsisten menulis membuat Calvin berhubungan baik dengan sesama blogger lainnya. Namun mereka tak pernah tahu jika blogger yang mereka kagumi itu, menulis demi melupakan kesedihan. Demi melupakan kesedihan pula, Calvin mengubah rumah kenangannya yang dulu ia tempati bersama Calisa dan Fransisca menjadi rumah singgah khusus anak pengidap kanker. Rumah Cinta, itulah namanya. Calvin mengelola Rumah Cinta dan merawat anak-anak penderita kanker itu dengan penuh kasih sayang. Sama seperti Fransisca, anak-anak angkatnya memanggil Calvin dengan sebutan 'Ayah'. Apa pun Calvin lakukan untuk bangkit dari kesedihannya. Meski demikian, ia selalu mengingat dan mendoakan Fransisca.

Hanya satu hal yang tak pernah berubah selama empat belas tahun terakhir: Calvin selalu demam dan sakit tiap tanggal 9 Desember. Tepat di hari ulang tahunnya, sekaligus hari kematian Fransisca. Itulah yang tak pernah berubah. Begitu berat tekanan psikologis yang dihadapi Calvin sampai-sampai ia harus sakit pada tanggal yang sama tiap tahunnya.

Tiba di ruangan, dokter pribadinya menyambut dengan senyuman hangat. Ramah menanyakan keadaannya. Memuji tulisan terbarunya. Hari ini, Calvin menulis tentang kemajuan teknologi dan tekanan di dunia kerja.

"Tadi Calisa juga hubungi saya via WA. Dia share tulisanmu, saya baca dan ternyata memang bagus ulasannya." kata sang dokter antusias.

"Calisa?" ulang Calvin setengah tak percaya.

"Iya, Calisa. Mantan istrimu. Dia selalu memperhatikanmu dari jauh, Calvin. Selalu..."

Hati Calvin kembali resah. Mengapa hari ini ia mendengar nama Calisa disebut lebih dari satu kali? Mengapa pula banyak fakta tentang Calisa yang ia dapatkan?

"Sudahlah. Nanti kalau memang takdirnya, kalian pasti bertemu. Malah rujuk kalau bisa. Mana hasil lab-nya?"

**      

9 Desember kembali berhujan. Melawan demam dan rasa sakitnya, Calvin nekat berziarah ke makam putrinya. Meletakkan sebuket bunga mawar putih kesukaannya. Tak seperti Calisa yang menyukai white lily, Fransisca lebih suka mawar. Menurut Fransisca, mawar jauh lebih cantik dari lily.

Hujan seakan menjadi air mata kesedihan. Seakan belum cukup penderitaan hidupnya, Calvin kembali dihadapkan pada sebuah vonis. Infertilitas sekunder. Kesulitan memperoleh keturunan kedua. Bila pun Calvin menikah lagi, ia takkan bisa mempunyai anak. Penyebabnya karena stress, faktor psikologis, usia, dan pemakaian beberapa obat-obatan dalam jangka panjang. Obat-obat anti depresan yang pernah dipakainya mematikan harapannya untuk memiliki anak lagi. Calvin boleh saja tetap terlihat tampan di atas usia 40 tahun, namun ketampanan fisik tak menjamin kondisi kesehatannya sempurna pula. Buktinya, usia dan kesehatan Calvin sudah tak memungkinkan lagi untuk mendapatkan keturunan kedua.

Di sinilah Calvin melabuhkan kesedihannya. Ia sandarkan hati yang rapuh di makam putrinya. Mengelus lembut nisan Fransisca, Calvin mulai bercerita. Ia ceritakan kegundahan dan kesedihannya. Rindu pada Calisa pun tak luput dia ceritakan.

"Daddy rindu Mommy, Sayang. Sekarang Daddy sudah tidak bersama Mommy lagi. Daddy harap, Fransisca tidak kecewa. Maafkan Daddy, Sayang." lirih Calvin.

Hujan kian deras. Rinai hujan yang turun membasahi tanah menambah suasana sendu di sekeliling pemakaman. Tetesan hujan ibarat air mata yang merepresentasikan kesedihan.

"Daddy punya alasan untuk menceraikan Mommy. Setelah Fransisca meninggal, Daddy menyesal. Mommy pasti marah dan tidak bisa memaafkan Daddy. Dari pada membuat Mommy tersiksa, lebih baik Daddy berpisah." Calvin menyeka matanya.

"Daddy mencintai Mommy, sama seperti Daddy cinta Fransisca. Cinta tak selamanya harus memiliki kan, Sayang?"

Air matanya terjatuh. Tepat di atas nisan berukiran nama Fransisca. Kali ini Calvin tak menyekanya. Membiarkan saja. Bukankah tak semua air mata itu buruk? Siapa bilang air mata hanya milik wanita? Pria pun berhak mengekspresikan kesedihan dan kehilangan mereka dalam bentuk air mata.

"Sekali lagi, Daddy minta maaf. Semua ini salah Daddy. Tapi Fransisca harus tahu. Daddy cinta sekali sama Fransisca. Daddy juga sangat mencintai Mommy. Meski telah lama berpisah, meski mungkin saja Mommy tidak mencintai Daddy lagi..."

"Aku masih mencintaimu, Calvin."

Sebuah suara sopran bercampur isak tangis mengalihkan perhatiannya. Seorang wanita cantik berambut panjang dan bergaun hitam baru saja tiba. Berlutut di samping Calvin. Mata birunya dialiri kristal-kristal bening. Wajahnya sedih dan terluka.

"Calisa?" bisik Calvin, menatap lekat wanita pengisi relung hatinya.

"Sekarang aku tahu alasanmu menceraikanku. Sungguh Calvin, kamu telah salah paham." Calisa terisak. "Aku tidak pernah menyalahkanmu atas meninggalnya Fransisca. Apa pun yang terjadi, rasa cintaku takkan berubah. I still love you, Calvin Wan."

Calvin menundukkan wajah. Benarkah Calisa masih mencintainya bila tahu kondisinya kini?

"Kamu yakin?" tanya Calvin setelah terdiam sejenak.

"Of course. Sekali pun vonis infertilitas sekunder itu menimpamu..."

"Bagaimana kamu tahu?"

"Oh Love...aku selalu memperhatikanmu dari jauh. Aku tahu banyak hal tentangmu."

Sebuah penerimaan yang tulus. Walau kondisi tak lagi sama. Walau mereka kelak akan rujuk, mereka hidup tanpa anak. Hidup dalam kesepian. Hanya berdua saja. Namun Calisa menerima kenyataan itu. Ia siap kembali memberikan diri dan waktunya untuk Calvin. Sekali pun keadaan Calvin tak sama seperti dulu.

Tanpa kata, Calvin merengkuh Calisa dalam pelukannya. Empat belas tahun mereka terpisah. Kini mereka bertemu lagi. Akankah dua hati yang rapuh kembali menyatu? Bisakah dua pemilik hati itu saling menguatkan dalam kerapuhan? Salah satunya telah sakit dan tak berdaya, satunya lagi dapat menguatkan dan menyembuhkan sakitnya.

**      

Rasa kehilangan itu sulit digambarkan. Hanya bisa dirasakan. Namun, rasa kehilangan takkan terlalu berat bila dibagi dengan orang yang tepat. Jangan ragu berbagi rasa bersama seseorang yang layak dipercaya dan dicinta.

Salam,

Hanya sekadar berbagi

Calvin Wan berbagi

Laptop ditutup. Bersamaan dengan ditutupnya lembar kedukaan dalam hidupnya. Tubuh Calvin boleh saja rusak, vonis mandul bisa saja jatuh menimpanya. Tetapi kali ini ia tidak perlu menghadapinya sendirian. Empat belas tahun terpisah, kini Calisa kembali lagi ke sisinya. Menemaninya menjalani sisa hidup, meski dengan keadaan yang jauh berbeda. Cinta, dapat menguatkan kerapuhan dan menyembuhkan luka.

**      

https://www.youtube.com/watch?v=NwbK59hfPwE

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun