Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Hati yang Rapuh

19 Oktober 2017   05:50 Diperbarui: 19 Oktober 2017   05:59 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Biar aku yang memandikan jenazah Fransisca," ujar Calvin lirih.

"Calvin, tunggu!" seru seorang wanita dari atas tangga.

Kemunculan istrinya sungguh tak terduga. Langkah Calvin terhenti. Masih memeluk erat jenazah Fransisca. Dilihatnya Calisa yang cantik, dengan gaun hitam panjang membalut sempurna lekak-lekuk tubuhnya, berjalan menuruni anak tangga. Selangkah demi selangkah, Calisa mendekat. Kian dekat, kian dekat, Calvin dapat melihat bekas air mata di wajah cantik istrinya. Matanya memerah. Rona kesedihan terukir jelas tanpa bisa tertutupi lagi.

"Kita akan mandikan jenazah Fransisca bersama-sama. Dia bukan hanya anakmu, tapi anakku juga." ucap Calisa.

"Calisa, are you sure?" tanya Calvin lembut.

Calisa mengangguk. Di wajahnya, terpancar ketegaran dan tekad kuat. Mungkin ia tengah berjuang dengan dirinya sendiri untuk melepaskan himpitan beban kesedihan. Entah siapa yang lebih hancur setelah kematian Fransisca, Calvin atau Calisa.

Sepasang suami-istri berlainan etnis dan budaya itu meninggalkan ruang tamu. Diiringi tatapan haru sejumlah pelayat. Haru melihat ketegaran dan keikhlasan mereka.

Selama memandikan jenazah Fransisca, tak dapat dipungkiri lagi. Calvin sering kali melayangkan tatapan pada Calisa. Lagi-lagi ia lihat wajah sendu berurai air mata itu, tatapan muram itu, tangan yang gemetar saat mengusapkan sabun ke tubuh Fransisca yang kini tak bernyawa. Semua detail terekam jelas di benak Calvin.

Calisa membantunya memandikan jenazah Fransisca dalam diam. Tidak sedikit pun bicara. Hanya air matanya yang terus mengalir. Menandakan kesedihan itu belum pergi dari hatinya. Andai Calisa tahu, kesedihan tanpa kata ini sangat menyiksa bagi Calvin. Kebisuan Calisa seolah menjadi bentuk protes yang paling menyakitkan. Seakan Calisa ingin menyalahkannya atas kematian Fransisca.

Jika dipikir-pikir, Calvin memang layak disalahkan. Paling tidak, ia punya andil besar atas kematian putrinya sendiri. Berawal dari acara dies natalis sekolah internasional itu. Fransisca terpilih menjadi anggota paduan suara yang menyanyikan beberapa lagu di acara puncak. Semula, segalanya berjalan lancar. Show yang sempurna dari paduan suara anak-anak sekolah internasional. Cantiknya Fransisca dengan pakaian indah dan riasan make up natural. Kejutan kecil yang dikirimkan Calvin di tengah-tengah waktu jeda antara penampilan pertama dan kedua. Sekotak kue kesukaan Fransisca, kejutan kecil dari Calvin, mempermanis hari itu.

Ironisnya, bahagia tak berlangsung lama. Tergantikan oleh kesedihan tanpa ujung. Calvin terlambat menjemput putri cantiknya. Alhasil, Fransisca tergoda menerima tawaran temannya untuk pulang bersama. Jarak sekolah dengan rumah cukup dekat. Baru tiga langkah menyeberangi jalan, mobil maut itu datang. Ganas menabrak Fransisca. Tubuh kecil itu terlempar menghantam jalan beraspal. Darah berceceran, rasa sakit luar biasa. Nyawa Fransisca tak tertolong. Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun