Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Hati yang Rapuh

19 Oktober 2017   05:50 Diperbarui: 19 Oktober 2017   05:59 1526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Calisa menghela napas panjang. Tak tahukah suaminya betapa ia mencintainya? Betapa besar kekhawatirannya lantaran cinta yang besar pula?

"My Lovely Calvin, khawatir itu wajar. Kekhawatiran merupakan bentuk dari empati, perhatian, dan kasih sayang. Aku khawatir padamu karena kulihat kamu tidak baik-baik saja." jelas Calisa sabar.

Tidak, ini tidak benar. Seharusnya Calisa menyalahkannya, bersikap dingin, dan apatis padanya. Tapi mengapa yang terjadi justru sebaliknya? Rasanya Calvin tak layak mendapat perhatian Calisa. Ia telah menzhalimi wanita itu dengan kegagalannya melindungi Fransisca. Ia sudah membunuh anak yang dilahirkan wanita cantik itu. Apa balasannya? Perlakuan yang lembut dan penuh kasih. Tidakkah Calisa terlalu baik, terlalu sempurna? Ataukah ini hanya salah satu cara Calisa untuk menghukumnya? Kesalahan menghilangkan nyawa Fransisca mungkin saja tak termaafkan.

"Please Calvin, istirahatlah. Biar aku yang ikut ke pemakaman," bujuk Calisa.

"Big no...aku harus ikut."

Dua manusia keras kepala itu saling tatap. Masing-masing membenarkan pendapatnya sendiri. Mereka sadar, ini pun demi kebaikan satu di antara mereka. Calvin jelas-jelas sedang sakit. Kondisinya tak memungkinkan untuk mengantar Fransisca ke peristirahatan terakhirnya. Entah mengapa, Calvin harus sakit pada waktu yang tidak tepat.

Pada akhirnya Calvin menyerah. Ia tetap tinggal di rumah. Beristirahat dan memulihkan kondisi fisiknya yang jatuh. Sementara Calisa pergi ke pemakaman.

Persepsi lain tumbuh di hati Calvin. Ini pastilah salah satu taktik Calisa. Agar rasa bersalahnya makin dalam. Mana mungkin Calisa tulus mengkhawatirkannya? Bukankah kesalahannya tak termaafkan?

Tak lama kemudian, mereka berpisah. Ragu-ragu Calisa memeluk Calvin sebelum pergi. Ia tak sepandai Calvin dalam merangkai kata cinta. Hanya sanggup menatap dan membelai rambut suami super tampannya. Tanpa ada kata terucap. Calisa pasrah. Ia hanya bisa berharap, tatapan dan bahasa tubuhnya membuat Calvin percaya bahwa ia masih mencintainya. Apa pun yang terjadi, rasa cinta Calisa takkan berubah. Kematian Fransisca bukan alasan bagi Calisa berhenti mencintai Calvin.

Pemandangan yang mengharukan. Pria Tionghoa dan wanita berdarah campuran Sunda-Belanda berpelukan erat. Berbagi rasa cinta lewat pelukan. Mereka baru saja kehilangan seorang anak. Kini mereka berusaha saling menguatkan lewat pelukan hangat.

Puluhan mobil meluncur pergi. Rumah besar itu kembali diselimuti sunyi. Calvin melangkah menyusuri ruangan demi ruangan. Aura kematian masih terasa begitu kuat. Kesunyian yang dingin menyelimuti seluruh bagian di rumah itu. Mulai dari ruang tamu sampai garasi, halaman depan hingga kolam renang di halaman belakang. Kamar-kamar di lantai atas tak kalah menakutkan dan menyedihkan. Ruang terakhir yang dikunjungi Calvin adalah kamar Fransisca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun