Sejurus kemudian, Nyonya Calisa melangkah ke garasi. Memerintahkan supir untuk menyiapkan mobil.
"Jangan beri tahu Calvin, okey?" Ia berpesan. Disambuti anggukan supirnya.
Sedan metalik itu meluncur pergi. Nyonya Calisa duduk di samping Syarif. Bagi Syarif, ini seperti fatamorgana. Duduk nyaman di dalam mobil mewah bersama perempuan cantik. Mungkin ini kesempatan sekali seumur hidup. Pria berwajah jelek, berpakaian seadanya, dan tak punya masa depan jelas itu mau tak mau merasa beruntung.
"Ini untukmu." Nyonya Calisa menyerahkan dua paperbag berisi pakaian.
"Serius?"
"Iya. Itu baju-baju Calvin. Pakailah, penampilanmu pasti lebih baik."
Sedikit senyum simpul dan nada ramah menenangkan Syarif. Senangnya punya baju bagus. Entah sudah berapa tahun ia tak pernah membeli baju baru.
Tiba di Pasteur, Syarif kembali menanyai Nyonya Calisa. Meminta kejelasan atas ajakannya yang misterius.
"Calvin sakit, Syarif. Dia perlu donor hati."
Dua kalimat saja. Sudah menjadi penjelas.
"Calvin sakit apa?" tanya Syarif lagi, kaget bercampur penasaran.