Takdir tak pernah berpihak padanya. Syarif hanya mampu mensyukurinya. Menelan pahitnya takdir.
Pagi ini, Syarif kembali mencari barang bekas di dekat rumah Tuan Calvin. Tak banyak yang ditemukannya. Kompleks perumahan elite ini terlalu bersih dan rapi. Mereka punya petugas kebersihan sendiri yang efektif mengurusi lingkungan. Meski begitu, Syarif menikmati pencariannya. Ia di sini bukan untuk bekerja saja. Melainkan punya tujuan lain: memuaskan rindu.
Gerbang rumah besar itu terbuka. Syarif menahan napas. Tepat di depannya, berdiri Nyonya Calisa. Keduanya beradu pandang. Wajah mereka sama pucatnya.
"Mau apa kamu ke sini?" Suara Nyonya Calisa tak lebih dari bisikan.
"Mau kerja. Cari barang bekas. Sekalian lihat Clara dari jauh. Apa dia benar-benar disayangi Ayahnya yang sempurna itu atau tidak." Syarif menjawab datar.
"Katanya, tiap hari kamu ke sini. Benarkah?"
"Iya. Maaf kalau kehadiranku mengganggu." Syarif tahu diri. Kehadirannya tak diinginkan di keluarga kaya ini.
Sesaat hening. Nyonya Calisa menatap wajah Syarif. Ia baru saja memikirkan sebuah ide. Entah, mungkin ini petunjuk dari Allah.
"Syarif, mau ikut aku ke rumah sakit?"
Kerutan muncul di kening Syarif. "Siapa yang sakit?"
"Nanti kujelaskan. Ayo."