Janji harus ditepati. Begitulah prinsip Tuan Calvin. Pria tampan itu keluar dari pekerjaannya demi Clara. Bersedia mengubah jalan hidup demi memperbanyak waktu untuk putri tunggalnya yang jelita.
Clara tak hanya butuh materi. Ia pun memerlukan kasih sayang, perhatian, dan waktu. Jika tetap bertahan pada pekerjaannya sebagai business development manager, Tuan Calvin takkan punya banyak waktu untuk Clara. Sebaliknya, kini waktunya jauh lebih banyak. Independent worker nampaknya menjadi pilihan terbaik.
Soal finansial? Nampaknya ia tak perlu risau. Bisnis cafe yang dijalankannya bersama Nyonya Calisa sudah lebih dari cukup. Sebelum resign, Tuan Calvin telah menyiapkan dana cadangan bila terjadi hal yang tak diinginkan sewaktu-waktu. Segala risiko dipertimbangkan. Butuh waktu setahun bagi Tuan Calvin untuk memikirkan semuanya. Bermula dengan diskusi pada diri sendiri, lalu berdiskusi dengan orang lain. Akhirnya, keberanian itu bangkit. Keberanian untuk resign dan mengubah jalan hidup. Demi cintanya pada Clara.
Tuan Calvin mempunyai pendirian yang kuat. Ia tak mudah terpengaruh. Silakan orang mau menilai apa. Toh dirinya yang menjalani. Dirinya pula yang menanggung risiko.
Segala sesuatu pasti ada hikmahnya. Kini setelah resign, Tuan Calvin lebih fokus membesarkan dan mendidik Clara. Mendampingi anak cantik itu meraih masa depan. Mempersiapkan masa depan Clara dengan baik. Clara tak hanya butuh Bunda. Ia pun butuh Ayahnya. Sebab Clara sangat dekat dengan Tuan Calvin.
Clara adalah prioritas utama. Begitu inginnya ia menentingkan Cclara di atas kepentingannya sendiri. Sampai-sampai Tuan Calvin keluar dari rumah sakit lebih cepat. Kembali ke rumah, kembali mengasuh Clara dengan penuh kasih sayang.
Pagi ini, setelah menyelesaikan pekerjaan dan artikel untuk media citizen journalism, Tuan Calvin menemani Clara belajar. Dengan sabar memberikan materi-materi pelajaran. Homeschooling memudahkan Tuan Calvin memantau langsung perkembangan putrinya. Syukurlah Clara tergolong anak yang cerdas. Dapat menyerap dengan cepat berbagai materi pelajaran. Tuan Calvin, Nyonya Calisa, dan guru pendampingnya tak pernah kesulitan mengajari Clara.
Suasana belajar pun kondusif. Membuat Clara semakin mudah dalam proses. Meski homeschooling, Clara tak pernah mengalami hambatan dalam bersosialisasi. Ia punya banyak teman. Clara berinteraksi dengan teman-temannya di tempat les piano, sekolah modeling, dan lembaga tahfidzh Quran. Tiap kali mengikuti kegiatan non akademis yang berfungsi mengasah talentanya, Clara selalu mendapat banyak teman. Tuan Calvin dan Nyonya Calisa menanamkan sifat percaya diri di hatinya. Beruntungnya lagi, lingkungan sangat mendukung perkembangan psikologis Clara. Bullying, makian, dan hinaan tak pernah dirasakannya. Sebaliknya, Clara dikagumi dan menjadi inspirasi untuk teman-temannya.
Selesai belajar, Tuan Calvin mengajak Clara ke kamar bermain. Menemani gadis kecilnya bermain. Di ruangan berukuran sedang dan bercat pastel itu, semua mainan tersedia. Meminjam mainan orang lain bukanlah kebiasaan Clara. Tuan Calvin melarangnya. Larangan Tuan Calvin cukup beralasan. Di rumah, Clara sudah punya semua jenis mainan yang diinginkannya. Praktis, Clara tak pernah tertarik dengan mainan orang lain.
Memiliki anak perempuan adalah keinginan yang telah lama terpendam. Kini harapan itu terkabul. Tuan Calvin sangat mensyukurinya. Salah satu caranya bersyukur adalah merawat Clara sebaik-baiknya. Menjaga, merawat, mendidik, dan melindunginya. Selain Nyonya Calisa, Clara adalah hartanya yang paling berharga. Ia akan menjaga kedua hartanya itu sepenuh jiwa.
Sebaliknya, Clara pun mencintai Tuan Calvin. Ayah adalah gravitasi hidupnya. Tempatnya mencurahkan cinta, kasih, dan rasa terima kasih. Tak heran bila Clara sangat sulit dipisahkan dengan Tuan Calvin.
"Ayah, boleh Clara tanya sesuatu?" Gadis kecil berambut panjang itu menatap Ayahnya ragu. Sebentuk pertanyaan sudah siap ia lontarkan.
"Boleh, Clara." Tuan Calvin mempersilakan, balas memandang mata anak perempuannya. Penuh perhatian, menanti sang buah hati bicara.
"Akhir-akhir ini, Ayah sering sakit ya?"
Tuan Calvin terhenyak. Satu hal yang paling dihindarinya tiap kali bersama Clara: membahas penyakitnya. Cukup satu kali Tuan Calvin membicarakan penyakitnya di depan Clara. Itu pun lewat surat. Surat cinta yang khusus ditulisnya untuk putrinya dua setengah tahun lalu. Kini Clara bertanya lagi tentang penyakitnya.
"Iya, Sayang. Tapi Clara tak perlu khawatir. Ayah akan sembuh." jawab Tuan Calvin akhirnya.
Clara menyandarkan kepalanya di dada Tuan Calvin. "Ayah...cepat sembuh ya? Clara nggak mau kehilangan Ayah. Clara hanya mau bersama Ayah Calvin Wan."
Jujur, tulus, dan diucapkan dengan hati. Tuan Calvin trenyuh. Ia merengkuh Clara ke pelukannya. Andai saja tubuhnya tak digerogoti kanker ganas. Andai saja ia tak perlu waswas setiap saat. Tubuh ini hanya rapuh dan menunggu. Menunggu waktu kematian yang tepat. Kecuali ada donor hati sebagai penyelamat. Sampai saat ini, Tuan Calvin belum mendapatkan donor hati.
** Â Â Â
Langkah kaki Nyonya Calisa terhenti. Lewat celah pintu ruang bermain Clara, ia melihatnya. Tuan Calvin memeluk Clara. Ia tak ingin mengganggu keduanya. Biarkan saja mereka punya waktu berdua. Sama seperti dirinya, Clara berhak memiliki Tuan Calvin. Alhasil, Nyonya Calisa bersikap dewasa. Memberi kesempatan ayah dan anak itu berdua saja. Mengesampingkan rasa cemburu yang menyeruak pelan ke sudut hatinya.
Satu sisi lain Nyonya Calisa yang jarang diketahui: pencemburu. Namun kecemburuannya masih dalam batas wajar. Nyonya Calisa pandai mengelola perasaan. Termasuk mengelola rasa cemburu.
Rasa cemburu luas maknanya. Seperti juga rasa cinta. Dulu, wanita berdarah campuran Sunda-Belanda itu sering merasa cemburu pada Mamanya. Tiap kali Mamanya terlalu memperhatikan anak orang lain, Nyonya Calisa pastilah cemburu. Namun ia lebih sering menyimpannya dalam hati. Seperti biasa, Nyonya Calisa ingin menghindari konflik.
Pada sepupu-sepupu, sahabat, dan teman-teman dekatnya pun Nyonya Calisa pernah cemburu. Orang-orang terdekatnya memahami sifat Nyonya Calisa yang satu ini. Cemburunya Nyonya Calisa adalah tanda sayang. Bukan cemburu dalam arti negatif. Toh Nyonya Calisa tidak hanya cemburu dalam masalah relasi antara pria dan wanita saja. Ia akan cemburu bila merasa benar-benar menyayangi dan menyukai orang-orang yang dicemburuinya itu. Dan bukankah rasa cemburu bisa dikelola? Love is never without jealousy. Terlahir sebagai anak tunggal, terbiasa nyaman dalam limpahan materi dan kasih sayang, mungkin itulah penyebab Nyonya Calisa merasakan cemburu di kesempatan-kesempatan tertentu. Sisi lain Nyonya Calisa yang pencemburu diimbangi dengan sifatnya yang lain: romantis dan penyayang.
Pernah suatu kali Nyonya Calisa dibuat kesal dengan komentar seorang blogger wanita di artikel Tuan Calvin. Tanpa ragu, wanita cantik itu bertanya.
"Calvin, siapa itu Mimy?"
"Mimy hanya teman di media jurnalisme itu, Calisa."
Tuan Calvin termasuk satu dari sedikit orang yang memahami kepribadian Nyonya Calisa. Meski takut seks, benci poligami, tertutup, sensitif, perasa, sulit mempercayai orang lain, dan sedikit keras kepala, ternyata Nyonya Calisa punya rasa cemburu juga.
Tapi itu dulu. Sekarang, setelah Tuan Calvin jatuh sakit dan mempunyai anak istimewa seperti Clara, Nyonya Calisa menjadi lebih bijak. Tak mudah lagi merasa cemburu. Lebih pengertian, peka, dan mengalah. Sering sekali Nyonya Calisa mengalah demi putrinya. Clara jauh lebih membutuhkan Tuan Calvin.
Kembali dipandanginya suami dan anaknya bergantian. Air matanya menetes. Tuan Calvin terlihat semakin rapuh dan kurus. Kanker itu menggerogotinya perlahan-lahan. Meski demikian, kanker hati takkan mampu merenggut ketampanannya. Tekad berkobar kuat di benaknya. Ia harus segera menemukan donor hati. Tuan Calvin harus sembuh.
Tetiba ia teringat sesuatu. Tadi pagi Tuan Calvin memintanya memberikan baju-bajunya yang sudah tidak dipakai untuk orang yang membutuhkan. Meski ini bukan Hari Jumat dan di luar waktu khusus untuk berbagi, tetap saja itu amanah. Kebaikan wajib dilakukan setiap hari.
Buru-buru Nyonya Calisa kembali ke kamarnya. Mengambil dua paperbag berisi penuh pakaian. Semua itu milik Tuan Calvin. Jelas sekali pakaian branded dan mahal. Akan tetapi, Tuan Calvin tak pernah ragu memberikannya pada orang lain.
Diambilnya dua paperbag itu. Dilangkahkannya kaki meninggalkan rumah. Sesaat Nyonya Calisa berpikir-pikir. Pada siapa ia harus memberikan semua pakaian ini? Bersedekah atau beramal kebaikan harus tepat sasaran. Berbagi pada orang kaya yang tidak membutuhkan nampaknya bukan anjuran terbaik. Alhasil, Nyonya Calisa ingin memberikannya pada orang tidak mampu yang benar-benar membutuhkan.
"Nyonya, mau kemana?" sapa salah seorang asisten rumah tangga saat berpapasan di halaman.
"Mau kasih baju-baju ini. Tapi saya bingung harus kasih ke siapa." sahut Nyonya Calisa.
"Oh, bajunya Tuan alvin. Aduh bagus-bagus ya? Tuan memang baik banget. Hmm...bentar, Nyonya. Kayaknya kasih aja bajunya ke orang itu. Kasihan, tiap hari dia ke sini. Kerjaannya nyariin barang bekas terus."
Alis Nyonya Calisa terangkat. Tanda tanya bercampur kecemasan menyelusup ke hatinya.
"Siapa? Ada yang suka cari barang bekas ke rumah ini?" tanya Nyonya Calisa, tak dapat menyembunyikan kekhawatiran. Firasatnya tak enak.
"Ada, Nyonya. Nah...itu orangnya. Panjang umur." tunjuk si asisten rumah tangga ke arah gerbang rumah.
Mata bening Nyonya Calisa mengikuti telunjuk asisten rumah tangganya. Sedetik. Lima detik. Tujuh detik. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Orang yang dimaksud itu adalah Syarif.
** Â Â Â
"Maafkan aku...yang tak sempurna untuk dirimu." Syarif bernyanyi perlahan. Ia tak seperti Tuan Calvin yang memiliki suara bagus, pintar main piano, dan mantan leader grup musik Sound of Sky. Bernyanyi sekedarnya untuk menghibur hati yang kesepian, hanya itu yang bisa dilakukannya.
Dua setengah tahun terakhir, Syarif sangat kesepian. Reza semakin sibuk dengan pekerjaannya di cafe. Istrinya telah lama meninggal. Putri kandungnya direbut orang lain. Hidup sendiri memang tidak enak. Sepi, sunyi, dan tanpa harapan. Tak ada senyuman tulus, sapaan lembut, belaian, pelukan, dan support dari orang terdekat. Semua yang disayanginya telah pergi.
Setiap hari, Syarif mencari barang bekas di dekat rumah Tuan Calvin. Memanfaatkan pertemanan dengan petugas keamanan di kompleks perumahan elite itu. Paling tidak, rindunya sedikit terobati. Ia bisa melihat Clara, meski dari kejauhan.
Tak ada peluang lagi bagi Syarif untuk bersama Clara. Lewat salah satu asisten rumah tangga di sana, tahulah Syarif jika Tuan Calvin mengundurkan diri dari pekerjaannya dan fokus mengasuh Clara. Tujuh hari dalam seminggu, dua puluh empat jam dalam sehari, Clara lekat dalam perlindungan Tuan Calvin. Tak membiarkan orang luar menyentuhnya. Tertutup sudah kesempatan Syarif untuk bersama Clara.
Takdir tak pernah berpihak padanya. Syarif hanya mampu mensyukurinya. Menelan pahitnya takdir.
Pagi ini, Syarif kembali mencari barang bekas di dekat rumah Tuan Calvin. Tak banyak yang ditemukannya. Kompleks perumahan elite ini terlalu bersih dan rapi. Mereka punya petugas kebersihan sendiri yang efektif mengurusi lingkungan. Meski begitu, Syarif menikmati pencariannya. Ia di sini bukan untuk bekerja saja. Melainkan punya tujuan lain: memuaskan rindu.
Gerbang rumah besar itu terbuka. Syarif menahan napas. Tepat di depannya, berdiri Nyonya Calisa. Keduanya beradu pandang. Wajah mereka sama pucatnya.
"Mau apa kamu ke sini?" Suara Nyonya Calisa tak lebih dari bisikan.
"Mau kerja. Cari barang bekas. Sekalian lihat Clara dari jauh. Apa dia benar-benar disayangi Ayahnya yang sempurna itu atau tidak." Syarif menjawab datar.
"Katanya, tiap hari kamu ke sini. Benarkah?"
"Iya. Maaf kalau kehadiranku mengganggu." Syarif tahu diri. Kehadirannya tak diinginkan di keluarga kaya ini.
Sesaat hening. Nyonya Calisa menatap wajah Syarif. Ia baru saja memikirkan sebuah ide. Entah, mungkin ini petunjuk dari Allah.
"Syarif, mau ikut aku ke rumah sakit?"
Kerutan muncul di kening Syarif. "Siapa yang sakit?"
"Nanti kujelaskan. Ayo."
Sejurus kemudian, Nyonya Calisa melangkah ke garasi. Memerintahkan supir untuk menyiapkan mobil.
"Jangan beri tahu Calvin, okey?" Ia berpesan. Disambuti anggukan supirnya.
Sedan metalik itu meluncur pergi. Nyonya Calisa duduk di samping Syarif. Bagi Syarif, ini seperti fatamorgana. Duduk nyaman di dalam mobil mewah bersama perempuan cantik. Mungkin ini kesempatan sekali seumur hidup. Pria berwajah jelek, berpakaian seadanya, dan tak punya masa depan jelas itu mau tak mau merasa beruntung.
"Ini untukmu." Nyonya Calisa menyerahkan dua paperbag berisi pakaian.
"Serius?"
"Iya. Itu baju-baju Calvin. Pakailah, penampilanmu pasti lebih baik."
Sedikit senyum simpul dan nada ramah menenangkan Syarif. Senangnya punya baju bagus. Entah sudah berapa tahun ia tak pernah membeli baju baru.
Tiba di Pasteur, Syarif kembali menanyai Nyonya Calisa. Meminta kejelasan atas ajakannya yang misterius.
"Calvin sakit, Syarif. Dia perlu donor hati."
Dua kalimat saja. Sudah menjadi penjelas.
"Calvin sakit apa?" tanya Syarif lagi, kaget bercampur penasaran.
"Kanker hati. Satu-satunya jalan adalah donor hati."
Syarif terdiam. Tak menyangka dengan kondisi ini. Rupanya, orang kaya tak sebahagia dugaannya. Bisa saja mereka lebih secara materi. Namun soal lain? Hanya mereka yang tahu.
Mereka sampai di Rumah Sakit Hassan Sadikin. Berjalan di samping Nyonya Calisa, Syarif mulai berpikir. Sekaranglah takdir berpihak padanya.
** Â Â Â
Sesaat saja Tuan Calvin berbaring di ranjangnya. Kanker itu kembali berulah. Membuatnya kesakitan. Memaksanya beristirahat sejenak. Tiba-tiba Nyonya Calisa datang. Mendekat, lalu memeluknya.
"Calvin, aku sudah mendapat donor hati." bisiknya.
Kedua mata Tuan Calvin terbuka. Ia menatap istrinya tak percaya.
"Are you sure?"
Nyonya Calisa mengangguk. Matanya berbinar bahagia. Sungguh ia bahagia dengan hasil tes itu. Tingkat kecocokan sudah diperoleh. Tunggu apa lagi?
"Ayo Calvin, kita temui orangnya. Dia menunggu di ruang tamu." ajak Nyonya Calisa.
Keduanya beranjak ke ruang tamu. Begitu melihat siapa yang ada di sana, Tuan Calvin terperangah.
"Kamu?"
"Ya, aku. Syarif." ucap pria yang duduk di sofa itu.
Sebenarnya, Syarif tak kalah kaget. Melihat perubahan drastis pada fisik Tuan Calvin. Benaknya menarik benang konklusi. Pria berdarah keturunan yang tetap tampan dalam sakitnya, begitulah kesimpulan yang dirangkainya. Dalam sekali lihat, tahulah Syarif kalau Tuan Calvin sakit. Sakit yang benar-benar parah. Menggerogoti tubuhnya dari dalam.
"Sayang, dia yang akan mendonorkan hatinya untukmu." ujar Nyonya Calisa, tersenyum lembut.
"Calisa...kamu yakin?" lirih Tuan Calvin.
"Seratus persen. Dokter sudah melihat hasil tesnya, dia bahkan meyakinkanku."
Keheningan yang berlalu sangat menyakitkan. Terasa mencekam. Nyonya Calisa beralih menatap Syarif.
"Kamu mau mendonorkan hatimu kan? Syarif, sekarang kamu sudah lihat sendiri bagaimana kondisi suamiku. Calvin benar-benar sakit, Syarif."
Ucapan Nyonya Calisa terdengar lembut dan penuh harap. Syarif memandang sepasang suami-istri yang sangat serasi itu bergantian.
"Kalian pikir aku mau mendonorkan hati dengan Cuma-Cuma?" Pertanyaan skeptis itu meluncur begitu saja.
"Apa yang kamu inginkan, Syarif? Berapa pun kamu minta..." Tuan Calvin balik bertanya.
Detik-detik kian menegangkan. Syarif sangat menikmatinya. Takdir telah berpihak padanya. Tersenyum penuh kemenangan, ia mengajukan syarat.
"Aku akan mendonorkan hatiku dengan satu syarat. Kembalikan Clara padaku."
** Â Â
DestinySpeakd with many voices so eventually
We're obliged to make some choices
Oh destiny
Who I thought I owned completely (Gloria Estefan-Destiny).
** Â Â
https://www.youtube.com/watch?v=o4jh3q1PLcg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H