Masih segar dalam ingatannya ucapan sang istri cantik sore tadi. Istri cantiknya itu menolak kembali dengan cinta pertamanya. Bahkan ia berjanji takkan menikah lagi bila terjadi sesuatu yang tak diinginkan dengan pria pendamping hidupnya.
Jujur, hatinya sangat tersentuh. Sebesar itukah cinta istrinya untuknya? Pantaskah ia menerima cinta setulus itu?
Dia hanyalah pria mandul yang tak punya harapan. Jangankan meneruskan keturunan, menjaga dirinya tetap sehat saja sangat susah. Ia merasa dirinya tak berguna. Tak sehebat pria-pria lainnya di luar sana.
"Hei...kenapa lagi? Ada yang sakit? Ada yang mengganggu pikiranmu? Ceritakan padaku, Sayang."
Panjang umur. Baru saja terlintas di pikiran, sang istri tetiba datang ke balkon. Meletakkan dua cangkir berisi teh, lalu duduk di sisinya.
"Calisa?"
"Ya?"
"Jika aku meninggal nanti, kamu boleh menikah lagi."
Mata wanita cantik 32 tahun itu melebar. Sorot ketakutan terpancar di sana.
"Calvin, please...jangan bahas itu."
Bukannya menjawab, pria berwajah oriental itu malah mengulurkan selembar kertas. Surat wasiat yang telah lama disiapkannya.
"Untuk apa kamu menyiapkan wasiat?!" teriak istrinya histeris. Merebut kertas itu, bersiap merobeknya.
"Tidak ada yang tahu umur manusia, Sayang. Sebelum meninggal, setidaknya aku masih sempat mewariskan sesuatu dan menuliskan beberapa hal."
Mata si wanita bergulir cepat membaca isi surat itu. Pembagian harta yang adil untuk dirinya dan Clara, putri tunggal mereka. Sisa harta lainnya diwariskan untuk membantu anak-anak pengidap kanker dan panti asuhan. Sistematis, pikirnya kagum. Di bagian akhir surat, terdapat satu permintaan yang sangat luar biasa: Calvin Wan meminta Dinda Calisa menikah lagi setelah ia meninggal.
"Tidak Calvin, tidak! Kamu pasti sembuh!" Setengah terisak wanita rupawan berdarah Sunda-Belanda itu menepisnya. Air mata jatuh membasahi lembaran surat wasiat yang dipegangnya.
Pelukan erat mengiringi tangisnya. Pria tampan itu mendekapnya hangat. Membuat sang wanita menghirup wangi Hugo Boss dari tubuh prianya.
"Kamu harus menikah lagi, Calisa. Segera setelah kepergianku. Carilah penggantiku. Yang baik, saleh, perhatian, penyayang, dan terutama...mau menerima Clara." bujuknya lembut.
"Tidak ada, Calvin! Demi Allah tidak ada! Kamu takkan terganti!"
"Aku ingin melihatmu dan Clara bahagia. Kebahagiaan itu akan kalian dapatkan jika aku sudah pergi dan setelah kamu menemukan penggantiku."
Menghela nafas sejenak, ia meneruskan. "Aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama."
"Apa maksudmu?"
Mulailah kotak kenangan terbuka. Mengalirkan pedihnya cerita.
** Â Â Â
Bagi mereka yang terbiasa dekat dengan ayah kandungnya, tentu tak mudah saat sang ayah pergi untuk selamanya. Makin tak mudah lagi saat melihat ibu mereka akan menikah lagi dengan pria lain. Pria tak dikenal yang mesti dipanggil dengan sebutan "Ayah".
Hati Calvin menolak. Tak terima dengan keputusan Nyonya Lola. Selama makan malam itu, Calvin bersusah payah menahan diri. Mengesampingkan perasaannya sejenak. Ia tak ingin merusak kehangatan dan kebersamaan dengan Nyonya Lola.
"Gimana kerjaan kamu, Sayang?" tanya Nyonya Lola penuh perhatian. Menuangkan sup ke dalam mangkuk.
"Lancar, Ma."
"Bagus. Lalu...kekasihmu? Siapa itu namanya? Aurelie? Kalian masih berhubungan?"
"Tidak lagi, Ma. Keluarganya tidak mau anak satu-satunya bersama pria infertil. Begitu kata mereka."
Mendengar itu, Nyonya Lola refleks meletakkan sendoknya. Selera makannya hilang tertelan kesedihan dan empati.
"Oh...I'm sorry to hear that. Maafkan Mama, Sayang. Mama tidak bermaksud membuatmu sedih."
Calvin tersenyum penuh pengertian. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Ma. Sejak awal, aku sudah tahu konsekuensinya."
"Seharusnya mereka tidak perlu sekasar itu!" Nyonya Lola setengah memprotes, mengambil gelas berisi air putih.
"Tidak apa-apa. Itu hak mereka. Kenyataannya, Calvin anaknya Mama Lola ini, memang lemah secara seksual. Garis keturunanku sudah terhenti sampai di sini."
Tak nampak kesedihan di wajah tampannya. Tegar, satu kesan yang terlihat.
"Calvin Sayang...jangan menilai negatif dirimu sendiri. Percayalah, setiap penyakit ada obatnya." Nyonya Lola berkata membesarkan hati.
Ruang makan luas dengan dominasi warna pastel itu senyap. Calvin merasakan adanya perubahan di sana. Bukankah biasanya makan malam selalu menjadi momen kebersamaan yang paling dinanti?
Makan malam bersama, satu kebiasaan keluarga yang dicetuskan oleh almarhum Tuan Febrian. Ayah kandung Calvin itu menekankan pada keluarganya untuk terbiasa makan malam bersama. Entah itu makan di luar atau di rumah. Asalkan kebersamaan tetap terjaga.
Momen ini sangat berguna. Waktu makan malam menjadi saat yang tepat untuk berdiskusi, bertukar cerita, bahkan berbicara dari hati ke hati. Tuan Febrian mewariskan kebiasaan positif di keluarga mereka.
Kini keluarga itu tak lengkap lagi. Calvin masih berumur empat belas tahun ketika menerima berita kehilangan pertama. Ketiga kakaknya-Cecilia, Celine, dan Caroline-meninggal dalam kecelakaan pesawat. Kepedihan seakan enggan berdamai dengan keluarga mereka. Dua tahun lalu, tepat di hari wisudanya, Calvin kehilangan Papanya. Tuan Febrian meninggal karena kanker hati. Penyakit itu pula yang kini menggerogoti tubuh Calvin.
Meski hanya tinggal berdua, Calvin dan Nyonya Lola tetap mempertahankan kebiasaan itu.
"Kalau Mama sudah tidak mau makan lagi, biar Calvin yang habiskan." kata Calvin seraya melirik mangkuk sup Nyonya Lola yang masih tersisa setengahnya.
"Kamu masih lapar?" Nyonya Lola bertanya keheranan. Tak biasanya putra bungsunya makan sebanyak itu.
"Sebaiknya kita jangan membuang-buang makanan, Ma."
Tanpa kata lagi, Nyonya Lola mendorong mangkuknya ke samping kanan. Calvin mengambilnya. Memakan setengah porsi sup yang tersisa.
Sudut mata Nyonya Lola mengerling sang putra bungsu. Ia tersadar. Menyisakan makanan bukanlah hal yang baik.
"Terima kasih ya, Sayang. Sudah mengingatkan Mama. Selamanya, kamu tetap anak Mama yang terbaik." puji Nyonya Lola hangat.
"Sama-sama. Mama bisa saja kalau memuji. Pujian itu menakutkan. Bisa membuat orang jatuh dalam kesombongan."
"Tidak, tidak. Pujian itu baik untuk memotivasi seseorang. Bahkan calon Papa barumu tak ragu memujimu di depan Mama."
Calon Papa baru? Calvin memuntahkan kembali makanannya. Nyonya Lola terlihat khawatir.
"Calvin, are you ok? Mama kira efek samping kemo sudah hilang sejak kemarin." Nyonya Lola memberikan air putih. Memastikan Calvin meminumnya.
"Mama yakin...dengan rencana pernikahan itu?" Calvin kesulitan menemukan kata, setengah tak percaya. Terus terang, ia tak suka dengan pria yang dikenalkan Mamanya sebagai calon Papa baru.
"Insya Allah, Calvin. Mama sudah mantap. Mama yakin dengan pilihan itu."
Hati Calvin dipenuhi rasa kecewa. Semudah itu Nyonya Lola menggantikan posisi Tuan Febrian. Tidakkah Nyonya Lola ingin memikirkan ulang pilihannya?
** Â Â Â
Sejak saat itu, sikap Calvin berubah drastis. Ia sangat jarang di rumah. Sebagian besar waktunya ia habiskan untuk bekerja. Bahkan di akhir pekan sekalipun. Rumah hanya dianggapnya sebagai tempat beristirahat untuk sesaat. Pagi-pagi sekali ia berangkat ke kantor. Lewat tengah malam baru kembali ke rumah.
Sekejap saja Calvin berubah menjadi workaholic. Jadwal kemoterapi terlewatkan demi urusan pekerjaan. Obat-obatan dari dokter tak pernah disentuh.
Pelampiasan, itulah tujuan Calvin yang sebenarnya. Hatinya hancur dengan rencana pernikahan Nyonya Lola. Calvin tak bisa terima hadirnya orang baru dalam keluarga. Orang ketiga yang tak dikenal baik.
Jangan kira Nyonya Lola menutup mata. Ia melihat perubahan sikap anaknya. Wanita anggun dan cantik itu mencoba mencari cara untuk mengetahui alasannya. Ia paham betul sifat Calvin. Tanpa alasan kuat, riskan Calvin berubah seperti itu.
Sulit bagi Nyonya Lola untuk berkomunikasi dengan Calvin. Ponselnya tak pernah aktif. Chat via Whatsapp tak pernah dibuka. E-mail dibiarkan begitu saja tanpa dibalas. Sering kali Nyonya Lola menunggu Calvin pulang dari kantor hingga larut malam. Namun Calvin selalu saja menghindari Mamanya. Enggan berbicara dari hati ke hati. Benar-benar berbeda dari figur Calvin Wan yang dikenalnya.
Makin dekat hari pernikahan, makin ganjil sikap Calvin. Ia membatasi dirinya untuk berbicara dengan Nyonya Lola. Ia pun menutup diri dari teman-temannya. Misterius, apa yang sebenarnya terjadi?
Akhir pekan berikutnya, Nyonya Lola nekat datang ke kantor. Kali ini Calvin tak bisa menghindar lagi. Satu-satunya penyelesaian hanyalah bicara dari hati ke hati.
"Kenapa kamu berubah, Sayang? Apa yang terjadi?" tanya Nyonya Lola cemas.
"Menurut Mama begitu?" Calvin balik bertanya.
Lobi kantor itu sunyi. Memudahkan privasi mereka.
"Iya. Mama sadar kalau kamu berubah. Teman-temanmu pun tahu itu. Ada apa, Calvin?"
Tetap saja Calvin enggan membuka diri. Sudah jadi sifatnya terus-menerus menutup diri dan menyembunyikan perasaan. Nyonya Lola memegang halus tangan putra bungsunya. Menatap lurus kedua matanya.
"Calvin, jangan buat Mama sedih. Siapa yang tak sedih melihat sikap anaknya berubah total tepat seminggu sebelum pernikahan?"
Tiga kata terakhir meluapkan emosi Calvin. Ia melepaskan tangan Nyonya Lola. Berkata dengan nada tajam. "Jangan sebut-sebut pernikahan itu. Sampai kapan pun, aku tak rela Mama menikah dengan laki-laki itu."
Sedetik kemudian, Nyonya Lola paham. Inilah letak permasalahannya.
"Kamu tidak suka Mama menikah dengan Dokter Yunus?"
"Tidak. Dokter Yunus bukan pasangan hidup yang baik untuk Mama. Lagi pula, kenapa Mama semudah itu menggantikan Papa?" ungkap Calvin sedih.
Perlahan tapi pasti, kesedihan mengaliri hatinya. Membekukan jiwanya. Memahat luka. Calvin terluka, sempurna terluka oleh keputusan Mamanya.
"Papa takkan terganti..." lirih Calvin.
"Keputusan Mama membuatku kecewa. Mudah sekali Mama memberikan cinta untuk pria lain. Seharusnya cinta itu hanya milik Papa. Sayang sekali, cinta itu telah retak dan terbagi."
Sejurus kemudian Calvin berbalik. Berjalan cepat ke basement. Sia-sia Nyonya Lola mencegahnya pergi.
Nyonya Lola Purnama, wanita kuat itu, berdilema. Manakah yang harus dipilihnya? Tetap menikah dengan Dokter Yunus atau fokus dengan satu-satunya anak yang masih dimilikinya?
** Â Â Â
Kenekatan membawa Calvin pada perjalanan panjang. Mengemudikan mobilnya memasuki gerbang Tol Pasteur, ia memutuskan satu hal: berziarah ke San Diego Hills.
Calvin mengemudikan mobilnya dalam kecepatan tinggi. Tak peduli lagi pada kondisi kesehatannya. Tak peduli pada jarak yang ditempuhnya.
Siapa bilang tempat pemakaman itu menyeramkan? Tidak semua tempat pemakaman bernuansa seram dan memprihatinkan. San Diego Hills buktinya.
Berlokasi di Karawang, San Diego Hills menyajikan konsep pemakaman mewah dan eksklusif. Fasilitasnya lengkap di sini. Mulai dari taman, kolam renang, gedung serba guna, Restoran La Collina, danau buatan, kapel, dan tempat ibadah. Bukan hanya keluarga yang boleh berkunjung ke San Diego Hills. Masyarakat umum dibolehkan datang. Mereka bisa berjalan-jalan di taman, danau, makan di restorannya, atau berenang di kolam renang.
Ide awal pembuatan San Diego Hills berasal dari CEO Lipo Grup, Mochtar Riyadi. Saat itu, Mochtar berkunjung ke makam orang tuanya di Jawa Timur. Prihatin melihat kondisi pemakaman yang suram dan tak terurus, terpikir olehnya untuk membuat taman pemakaman dengan konsep yang berbeda. Mewah, nyaman, indah, dan jauh dari kata suram. San Diego Hills adalah realisasinya.
Di tempat pemakaman mewah itu, Calvin mencurahkan perasaannya. Mengunjungi Mercy Mansion. Berdoa dengan khusyuk untuk Papa dan kakak-kakaknya. Tiga kali ia membacakan Yasin. Memohon pada Allah untuk kelapangan kubur dan tempat terbaik.
"Papa..." Calvin bergumam lirih, mengelus nisan Tuan Febrian.
"Cinta itu telah retak."
Keindahan di pemakaman itu tak mengurangi pedih hatinya. Calvin menghela nafas berat.
"Aku tidak tahu kenapa Mama setega itu. Mama justru memilih menikahi pria lain setelah Papa meninggal. Ikhlaskah Papa di surga sana?"
Calvin benar-benar sedih. Ia kehilangan harapan, keluarganya takkan sama lagi. Setelah pernikahan itu, bisa saja Nyonya Lola melupakannya. Tidak lagi menyayangi dan mencintainya. Cinta Nyonya Lola akan tercurah untuk Dokter Yunus.
Lama sekali Calvin berlutut di depan keempat makam itu. Menyandarkan hatinya yang terluka parah. Tenggelam dalam pikirannya.
Ia tak pernah siap memiliki sosok pengganti Papa dalam hidupnya. Bagaimana jika Dokter Yunus jahat? Bagaimana jika Dokter Yunus hanya mempermainkan Mamanya? Calvin sulit mempercayai orang lain.
Timbul sebersit kemungkinan lain yang lebih menyakitkan. Mungkinkah pernikahan Nyonya Lola dan Dokter Yunus bertujuan untuk meneruskan keturunan? Nyonya Lola ingin mempunyai anak lagi. Masih sanggupkah wanita berdarah keturunan itu mengandung dan melahirkan anak dalam usia yang tak lagi muda?
Ini semua salahnya. Calvin mulai yakin, ini gegara vonis mandul yang menimpanya. Andai saja ia bisa menikah dan meneruskan keturunan. Andai saja ia tidak sakit dan divonis mandul. Mungkin Nyonya Lola takkan menerima lamaran Dokter Yunus.
Rasa bersalah bercampur dengan amarah. Ia marah pada dirinya sendiri. Menyesali kondisi kesehatannya, kanker yang mengganas, dan kemandulannya. Ketidakberdayaan ini memaksa Nyonya Lola menikah lagi.
Lalu, benarkah pernikahan hanya bertujuan menghasilkan keturunan? Tak adakah tujuan yang lebih mulia dari itu? Jika pernikahan hanya bertujuan untuk mendapatkan anak, apa artinya pria dan wanita mandul tak boleh menikah? Sungguh tidak adil.
Tak semua pria dan wanita memiliki kondisi seksual yang baik. Keadaan-keadaan tertentu membuat mereka infertil, tak bisa melahirkan atau memiliki keturunan, atau lemah secara seksual. Sayangnya, masih banyak orang yang memprioritaskan kesuburan. Kesuburan seolah menjadi harga mati dalam pernikahan.
** Â Â Â
Para tamu undangan mulai berdatangan. Ballroom hotel dipenuhi atmosfer kebahagiaan. Perhelatan penuh cinta baru saja dimulai.
Fokus para tamu tertuju ke pelaminan. Mengagumi pesona Nyonya Lola yang masih terlihat awet muda. Serasi dengan Dokter Yunus yang tetap terlihat gagah dan tampan. MC mengucapkan selamat datang. Tak sedikit tamu undangan yang ingin berfoto dengan kedua mempelai.
Di backstage, ketegangan justru terjadi. Calvin merebut setelan jas yang seharusnya dipakai oleh temannya. Entah dorongan apa yang membuatnya nekat melakukan itu.
"Kali ini, biarkan aku jadi wedding singer. Okey?" pinta Calvin.
Adica, yang pekerjaannya dirampas begitu saja, menatap Calvin penuh tanda tanya.
"No way...ini pekerjaanku, Calvin. Apa kata management nanti?" tolak Adica.
"Itu urusanku. Toh aku sering jadi pianis dan kerja freelance di management kalian. Come on, Adica. Kamu tidak akan rugi apa-apa. Justru aku akan membayar dengan harga tinggi untuk pekerjaan ini."
Bujukan Calvin berhasil. Adica mengalah. Pria itu berbaik hati memberi kesempatan pada teman baiknya untuk menjadi wedding singer.
"Kenapa kamu malah jadi wedding singer? Seharusnya kamu ada di samping ibumu..." selidik Adica.
"Aku tak siap mendampinginya di sana. Di sisi lain, aku ingin menyaksikan Mama berbahagia. So, ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan." Calvin menjelaskan.
Setelahnya ia memulai tugasnya. Wedding singer tergolong pekerjaan baru. Biasanya, Calvin menjadi pianis untuk mengisi waktu senggangnya.
Ratusan tamu undangan dibuat terpesona. Langsung saja kehadiran wedding singer yang tampan dan masih muda merebut atensi mereka. Pesona Dokter Yunus terlupakan begitu saja.
Awalnya, semua baik-baik saja. A Thousand Years dan All of Me masih menjadi lagu favorit di pesta pernikahan. Begitu pula Cinta Sejati, Marry Your Daughter, dan Kunci Hati.
Sampai akhirnya, Nyonya Lola menyadari sesuatu. Calvin datang untuknya. Putra kesayangannya, buah hatinya, satu-satunya harta yang paling berharga untuknya, datang di momen bahagia. Meski kebahagiaan di satu pihak. Sebab Calvin sama sekali tak berbahagia dengan pernikahan Mamanya.
Mata Nyonya Lola berkaca-kaca. Senang dan terharu mendapati kehadiran Calvin. Bahkan mendengarkan suara bassnya yang bagus itu menyanyikan lagu-lagu indah nan romantis.
Sungguh, Nyonya Lola terharu. Embun bening yang menepi di mata sipitnya dan ekspresi haru yang terlukis di wajah teduhnya mengguncangkan hati Calvin. Perasaannya tak menentu. Mungkin ia harus merelakan Mamanya dimiliki orang lain. Berdamai dan menerima, itulah yang akan dilakukan Calvin.
Ikhlas, ikhlas, dan ikhlas. Cinta itu memang telah retak. Cinta yang sejati akan membiarkan orang yang dicintai bahagia walau bukan dengan kita.
Sedih jauh lebih dominan. Di tengah-tengah pesta, tetiba saja Calvin membawakan lagu favoritnya. Lagu yang mengantarkan pada perpisahan dan kehilangan mendalam.
Ingatkah dulu semua kenangan kitaÂ
Waktu kita bersama, waktu kau cemburuÂ
Kini kau menghilangÂ
Seakan semua tak pernah ada
Sesaat saja tak kauizinkan tuk buktikanÂ
Semua pasti berubahÂ
Andai saja ada kesempatan kau berikanÂ
Kita masih bersama
Bagaimana harus kulupakan semuaÂ
Saat hati memanggil namamuÂ
Atau harus kurelakan kenyataan
Kita memang tak sejalanÂ
Namun kau adalah pemilik hatikuÂ
Sesaat saja tak kauizinkan tuk buktikan
Semua pasti berubahÂ
Andai saja ada kesempatan kau berikanÂ
Kita masih bersamaÂ
Bagaimana harus kulupakan semua
Saat hati memanggil namamuÂ
Atau harus kurelakan kenyataanÂ
Kita memang tak sejalan
Namun kau adalah pemilik hatikuÂ
Bagaimana harus kulupakan semuaÂ
Saat hati memanggil namamu
Atau harus kurelakan kenyataanÂ
Kita memang tak sejalanÂ
Namun kau adalah pemilik hatiku (Calvin Jeremy-Pemilik Hatiku).Â
Berat, sangat berat. Namun itulah kenyataannya. Mulai sekarang, Calvin harus ikhlas. Ikhlas Mamanya dimiliki pria lain. Ikhlas hidup dalam kesendirian dan kesakitan tanpa cinta.
Semua ini terlalu berat untuk dijalani. Sekuat apa pun, Calvin tetaplah punya kelemahan. Kekuatan ada batasnya.
Tanpa bisa dicegah, air bening meluncur bebas dari pelupuk mata Calvin. Dua bulirnya jatuh tepat ke atas tuts piano. Sisanya membekas di pipi dan ujung hidungnya. Mungkin air mata bisa menjadi obat penawar racun kesedihan. Bahkan Calvin yang kuat itu bisa larut dalam kesedihan. Perasaannya tertumpah dalam lagu yang ia bawakan.
** Â Â
Malam itu, Calvin mencurahkan perasaannya lewat tulisan. Layar laptop menampilkan sederet kata yang telah ditulisnya. Beberapa kali ia menghapus kata yang kurang tepat. Isi hatinya tercurah dalam dokumen itu.
Apakah cinta yang telah retak dapat diperbaiki? Mungkinkah cinta yang selama ini bertahan kuat hanya diberikan untuk satu orang telah terbagi?
Bagi saya, cinta itu telah retak. Pernikahan kedua itu menjadi buktinya. Luka di hati saya semakin dalam. Namun, ada satu pelajaran berharga yang dapat diambil dari momen ini: cinta sejati adalah membiarkan orang yang kita cintai berbahagia, walau tak bersama kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H