Tetap saja Calvin enggan membuka diri. Sudah jadi sifatnya terus-menerus menutup diri dan menyembunyikan perasaan. Nyonya Lola memegang halus tangan putra bungsunya. Menatap lurus kedua matanya.
"Calvin, jangan buat Mama sedih. Siapa yang tak sedih melihat sikap anaknya berubah total tepat seminggu sebelum pernikahan?"
Tiga kata terakhir meluapkan emosi Calvin. Ia melepaskan tangan Nyonya Lola. Berkata dengan nada tajam. "Jangan sebut-sebut pernikahan itu. Sampai kapan pun, aku tak rela Mama menikah dengan laki-laki itu."
Sedetik kemudian, Nyonya Lola paham. Inilah letak permasalahannya.
"Kamu tidak suka Mama menikah dengan Dokter Yunus?"
"Tidak. Dokter Yunus bukan pasangan hidup yang baik untuk Mama. Lagi pula, kenapa Mama semudah itu menggantikan Papa?" ungkap Calvin sedih.
Perlahan tapi pasti, kesedihan mengaliri hatinya. Membekukan jiwanya. Memahat luka. Calvin terluka, sempurna terluka oleh keputusan Mamanya.
"Papa takkan terganti..." lirih Calvin.
"Keputusan Mama membuatku kecewa. Mudah sekali Mama memberikan cinta untuk pria lain. Seharusnya cinta itu hanya milik Papa. Sayang sekali, cinta itu telah retak dan terbagi."
Sejurus kemudian Calvin berbalik. Berjalan cepat ke basement. Sia-sia Nyonya Lola mencegahnya pergi.
Nyonya Lola Purnama, wanita kuat itu, berdilema. Manakah yang harus dipilihnya? Tetap menikah dengan Dokter Yunus atau fokus dengan satu-satunya anak yang masih dimilikinya?