"Tidak apa-apa. Itu hak mereka. Kenyataannya, Calvin anaknya Mama Lola ini, memang lemah secara seksual. Garis keturunanku sudah terhenti sampai di sini."
Tak nampak kesedihan di wajah tampannya. Tegar, satu kesan yang terlihat.
"Calvin Sayang...jangan menilai negatif dirimu sendiri. Percayalah, setiap penyakit ada obatnya." Nyonya Lola berkata membesarkan hati.
Ruang makan luas dengan dominasi warna pastel itu senyap. Calvin merasakan adanya perubahan di sana. Bukankah biasanya makan malam selalu menjadi momen kebersamaan yang paling dinanti?
Makan malam bersama, satu kebiasaan keluarga yang dicetuskan oleh almarhum Tuan Febrian. Ayah kandung Calvin itu menekankan pada keluarganya untuk terbiasa makan malam bersama. Entah itu makan di luar atau di rumah. Asalkan kebersamaan tetap terjaga.
Momen ini sangat berguna. Waktu makan malam menjadi saat yang tepat untuk berdiskusi, bertukar cerita, bahkan berbicara dari hati ke hati. Tuan Febrian mewariskan kebiasaan positif di keluarga mereka.
Kini keluarga itu tak lengkap lagi. Calvin masih berumur empat belas tahun ketika menerima berita kehilangan pertama. Ketiga kakaknya-Cecilia, Celine, dan Caroline-meninggal dalam kecelakaan pesawat. Kepedihan seakan enggan berdamai dengan keluarga mereka. Dua tahun lalu, tepat di hari wisudanya, Calvin kehilangan Papanya. Tuan Febrian meninggal karena kanker hati. Penyakit itu pula yang kini menggerogoti tubuh Calvin.
Meski hanya tinggal berdua, Calvin dan Nyonya Lola tetap mempertahankan kebiasaan itu.
"Kalau Mama sudah tidak mau makan lagi, biar Calvin yang habiskan." kata Calvin seraya melirik mangkuk sup Nyonya Lola yang masih tersisa setengahnya.
"Kamu masih lapar?" Nyonya Lola bertanya keheranan. Tak biasanya putra bungsunya makan sebanyak itu.
"Sebaiknya kita jangan membuang-buang makanan, Ma."