"Untuk apa kamu menyiapkan wasiat?!" teriak istrinya histeris. Merebut kertas itu, bersiap merobeknya.
"Tidak ada yang tahu umur manusia, Sayang. Sebelum meninggal, setidaknya aku masih sempat mewariskan sesuatu dan menuliskan beberapa hal."
Mata si wanita bergulir cepat membaca isi surat itu. Pembagian harta yang adil untuk dirinya dan Clara, putri tunggal mereka. Sisa harta lainnya diwariskan untuk membantu anak-anak pengidap kanker dan panti asuhan. Sistematis, pikirnya kagum. Di bagian akhir surat, terdapat satu permintaan yang sangat luar biasa: Calvin Wan meminta Dinda Calisa menikah lagi setelah ia meninggal.
"Tidak Calvin, tidak! Kamu pasti sembuh!" Setengah terisak wanita rupawan berdarah Sunda-Belanda itu menepisnya. Air mata jatuh membasahi lembaran surat wasiat yang dipegangnya.
Pelukan erat mengiringi tangisnya. Pria tampan itu mendekapnya hangat. Membuat sang wanita menghirup wangi Hugo Boss dari tubuh prianya.
"Kamu harus menikah lagi, Calisa. Segera setelah kepergianku. Carilah penggantiku. Yang baik, saleh, perhatian, penyayang, dan terutama...mau menerima Clara." bujuknya lembut.
"Tidak ada, Calvin! Demi Allah tidak ada! Kamu takkan terganti!"
"Aku ingin melihatmu dan Clara bahagia. Kebahagiaan itu akan kalian dapatkan jika aku sudah pergi dan setelah kamu menemukan penggantiku."
Menghela nafas sejenak, ia meneruskan. "Aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama."
"Apa maksudmu?"
Mulailah kotak kenangan terbuka. Mengalirkan pedihnya cerita.