Kata-kata itu terucap sempurna dari bibir Nyonya Calisa. Tulus tanpa tendensi. Anak kecil pun tahu kalau Nyonya Calisa sungguh-sungguh mencintai Tuan Calvin dan menyayangi Clara.
"Terserah apa kata kamu. Pokoknya, besok kamu harus datang ke pertemuan keluarga. Ajak Calvin juga. Tapi jangan bawa Clara." perintah Nyonya Lidya.
"Iya, Mama. Toh Clara tidak bisa ikut. Dia menginap beberapa hari di villa dengan Mama Lola. Bicara tentang Mama Lola, kuharap Mama bisa seperti beliau. Lembut, sabar, dan mau menerima apa adanya."
"Jangan harap. Mamamu ini bukan Lola Purnama yang sok sempurna dan sok suci itu." Nyonya Lidya menjawab ketus. Kesal karena dibanding-bandingkan dengan wanita cantik berdarah Tionghoa yang dianggapnya sebagai rival itu.
"Hmm...semoga Allah membuka mata hati Mama. Aku harus merawat Calvin. Dia sakit lagi. Selamat malam, Ma."
Nyonya Calisa menutup telepon. Beranjak kembali ke lantai atas.
** Â Â
Kamar tidur dengan dominasi warna putih itu sudah menyerupai ruang rawat VIP di rumah sakit. Lengkap dengan peralatan medis. Hanya ranjangnya saja yang tak berubah.
Di sanalah Tuan Calvin terbaring lemah tak berdaya. Sel-sel kanker kembali berulah. Muak dengan rumah sakit, ia menolak menjalani perawatan di sana. Tim dokter dipanggil, lalu memeriksa pasien istimewa mereka.
Tuan Calvin belajar menyimpan rasa sakit. Ia tak ingin menampakkan kesakitannya di depan siapa pun. Ia tak ingin membuat orang-orang yang menyayanginya bersedih.
Sakit luar biasa di perutnya menghisap habis kekuatannya. Tuan Calvin menggigit bantal, menahan rasa sakit. Helaan nafasnya begitu lemah. Elektrokardiograf berpacu pelan.