Sakit fisik dan sakit psikis bukan hal baru lagi untuk Tuan Calvin. Ia terbiasa merasakannya.
"Hei Calisa...yah, kamu datang lagi sama pria tak berguna ini. Kapan sidang cerainya? Nanti aku datang..." sapa salah seorang sepupu. Menepuk pundak Nyonya Calisa, tersenyum sinis pada Tuan Calvin.
"Jaga bicaramu. Sampai kapan pun, aku akan tetap bersama Calvin." Nyonya Calisa menautkan kedua alisnya. Marah lantaran suaminya dihina.
"Calvin kan mandul. Sakit-sakitan lagi. Kapan sembuhnya?" timpal sang sepupu sadis.
Gelas berisi jus apel di tangan Nyonya Calisa bergetar. Ia menatap sepupunya penuh kebencian. Pedih hatinya mendengar hinaan yang dilayangkan untuk Tuan Calvin.
"Dengarkan aku. Bagaimana pun kondisi Calvin, aku akan selalu di sampingnya. Hanya maut yang bisa memisahkan kami."
"Oh, kalo gitu...tunggu sampai kamu mati ya, Calvin? Pasien kanker cepat mati kok. Umurnya paling lama juga lima tahun."
Tuan Calvin sangat terpukul. Hatinya hancur. Seburuk itukah dirinya di mata keluarga Nyonya Calisa? Bukankah dulu dirinya dibanggakan, disayangi, dan dipuji? Cepat sekali situasi berbalik.
"Calisa...ada tamu spesial untukmu." panggil Nyonya Lidya senang.
Sebuah sedan hitam meluncur mulus memasuki halaman rumah. Pintunya terbuka, dan turunlah seorang pria dari dalamnya. Nyonya Calisa dan Tuan Calvin terperangah. Pria itu adalah masa lalu. Wahyu, cinta pertama Nyonya Calisa.
** Â Â Â