Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bisakah Langit dan Bumi Bersatu?

26 Februari 2017   07:28 Diperbarui: 26 Februari 2017   08:28 1193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

The road is long

With many a winding turn

That leads us to who knows where

Who knows when

But I'm strong

Strong enough to carry him

He ain't heavy, he's my brother

So on we go

His welfare is of my concern

No burden is he to bear

We'll get there

For I know

He would not encumber me

He ain't heavy, he's my brother

If I'm laden at all

I'm laden with sadness

That everyone's heart

Isn't filled with the gladness

Of love for one another

It's a long, long road

From which there is no return

While we're on the way to there

Why not share

And the load

Doesn't weight me down at all

He ain't heavy, he's my brother

He's my brother

He ain't heavy, he's my brother (The Hollies-He Ain’t Heavy, He’s My Brother).

**     

Terlahir sebagai kembar identik tidak membuat Albert Fast dan Albert Arif memiliki kehidupan yang sama. Albert Arif hidup berlimpah kemewahan. Ia tak pernah kekurangan materi dan kasih sayang. Pendidikan tinggi, karier sukses, popularitas, dan otak brilian ia miliki. Apa lagi yang kurang?

Kontras dengan Albert Fast. Hidup serba kekurangan membuatnya tak mampu melanjutkan studi ke universitas. Pekerjaannya? Tak menentu. Ia sering berpindah-pindah pekerjaan. Dipecat bukan lagi hal baru. Namun, Albert Fast telah terbiasa dengan hidup yang keras.

Semuanya gara-gara ulah istri kedua Papa. Ia merekayasa kasus kecelakaan, hingga membuat Albert Fast terpisah dari keluarga kandungnya. Albert Fast dianggap sudah meninggal. Kenyataannya, itu tidak benar. Bertahun-tahun kemudian, Albert Arif berhasil menemukan saudara kembarnya. Berulang kali ia membujuk Albert Fast agar kembali ke rumahnya.

“Aku tidak akan kembali sampai perempuan itu pergi dari rumah kita!” kata Albert Fast tegas.

Siang itu, mereka bertemu di sebuah restoran seafood. Albert Fast baru saja mendapat pekerjaan lagi, dan ia ingin merayakannya bersama Albert Arif.

“Kamu tidak boleh begitu. However, dia tetap ibu kita.” Albert Arif berkata sehalus mungkin.

“Bukan, dia bukan ibuku! Ibuku hanyalah Mama Marina Hanifa!” Albert Fast menyebut ibu kandung mereka yang telah meninggal sewaktu mereka berumur tiga tahun.

Albert Arif menghela napas. Sabar menghadapi sikap keras hati kembarannya. Meski kembar identik, meski passion mereka sama, sifat mereka jauh berbeda.

“Albert...kamu ke sini juga! Kok nggak ajak aku? Tahu gitu tadi aku jemput kamu!”

Seorang gadis berwajah oriental dan bertubuh ramping mendekat. Merangkul Albert Fast. Mencium pipinya.

“Iya, Sayang. Maaf aku lupa. Abis kerjaan di kantor banyak banget. Meeting sama klien lagi.”

“Ooooh gitu...gimana meeting-nya? Sukses? Perusahaan kamu menang tender?”

Sandiwara ini dimainkan dengan sangat baik. Ya, Albert Fast memang pemuda aneh. Ia sering mengaku-ngaku sebagai Albert Arif, CEO Bratawijaya Corp sekaligus fotografer terkenal itu. Ia pun membajak credit card, rekening, dan mobil pribadi milik Albert Arif. Semua orang mempercayainya. Semua ini ia lakukan demi merebut hati Andini, seorang entrepreneur sukses yang menjadi pujaan hatinya. Awalnya Albert Arif tak mengerti alur permainan Albert Fast. Pada akhirnya, ia mengikuti permainan tersebut demi rasa sayang dan solidaritas pada kembar identiknya.

“Albert, ini siapa?” tunjuk Andini pada Albert Arif.

Sesaat Albert Fast kebingungan. Pria Indo bertubuh semampai itu belum tahu bagaimana caranya mengenalkan Albert Arif pada Andini. Tetiba saja...

“Saya Ricky, supirnya Tuan Albert.”

Di luar dugaan, Albert Arif bangkit. Menjabat tangan Andini. Memperkenalkan diri sebagai supir pribadi. Albert Fast terperangah menyaksikan tingkah laku Albert Arif.

“Supir kok makan semeja sama majikan?” tanya Andini angkuh.

“Majikan saya memang baik. Dia selalu ajak saya makan bareng,” jawab Albert Arif yakin.

Senyum sinis bermain di bibir tipis Andini. “Sayang ya...ganteng, tinggi, wajah kayak bule, tapi jadi supir. Harusnya kamu jadi model.”

Bukannya tersinggung, Albert Arif justru tersenyum. “Mungkin sudah rezeki saya.”

Selepas kepergian Andini, Albert Fast buru-buru minta maaf pada Albert Arif. Ia tahu, Andini tipe gadis angkuh dan suka meremehkan orang lain.

“Nggak apa-apa kok. Kamu harus terus perjuangkan cintanya,” kata Albert Arif ringan.

“Maaf juga aku sering membajak fasilitas kamu dan mengaku-ngaku sebagai kamu. Aku janji, begitu Andini sudah benar-benar jatuh cinta padaku, aku akan bongkar siapa aku sebenarnya.”

“Kamu saudaraku, Albert. Apa pun akan kulakukan untuk bantu kamu. Tenang saja.”

Hening. Hanya terdengar alunan biola dari panggung kecil di ujung ruangan. Saudara? Albert Fast dan Albert Arif memang terlahir sebagai saudara kembar. Namun mereka seperti langit dan bumi. Sangat kontras. Sangat jauh berbeda.

“Kita memang saudara, tapi seperti langit dan bumi. Kamu langit, aku bumi.” Albert Fast berujar perlahan.

“Maksudnya?”

“Kamu kaya, aku miskin. Kamu sukses dan terkenal, aku hanya orang biasa. Kamu baik, aku jahat. Kamu punya segalanya, aku tidak punya apa-apa. Kita tidak cocok sebagai saudara. Apakah bumi di bawah dan langit di atas sana juga bersaudara?”

Underestimate, Albert Arif menyimpulkan. Saudara kembarnya merasa tidak percaya diri. Perbedaan kehidupan mereka terlalu mencolok. Ingin sekali Albert Arif mengembalikan keadaan. Membuat Albert Fast hidup layak dan bahagia. Sayangnya, Albert Fast menolak pulang ke rumah selama Papa masih bersama istri keduanya.

Itulah sebabnya sejak awal Albert Arif tak pernah marah tiap kali Albert Fast membajak semua fasilitas mewahnya. Ia bahkan memberikan perhatian dan bantuan dalam berbagai bentuk untuk saudara kembarnya. Ia memastikan Albert Fast bahagia dan tidak pernah kekurangan. Jalannya masih panjang untuk membawa Albert Fast kembali ke rumah. Tapi ia pantang menyerah. Albert Arif akan terus berusaha sampai Albert Fast mau kembali ke rumah.

**    

Kaulihat aku di sini seutuhnya

Sendiri merasa bahagia karenamu

Setelah air mata

Kehilangan dan kecewa

Kini hanya satu yang kupercaya

Kau membuatku bahagia

Jika memang ini saatnya

Mimpiku akan menjadi nyata

Kupercaya kuatnya cinta

Semua akan menjadi

Indah pada waktunya

Hadirmu semangat jiwaku karenamu

Kelembutan cintamu semua jawaban yang kudambakan

Kini hanya satu yang kupercaya

Kau membuatku bahagia

Jika memang ini saatnya

Mimpiku akan menjadi nyata

Kupercaya kuatnya cinta

Semua akan menjadi

Indah pada waktunya

Takkan ada kata

Yang mampu lukiskan perasaanku saat ini

Kupercaya kuatnya cinta

Semua akan menjadi

Kupercaya kuatnya cinta

Semua akan menjadi

Indah pada waktunya

Semua akan menjadi

Indah pada waktunya (Delon-Indah Pada Waktunya).

**    

“Chika, kenapa kamu menangis? Ada apa?”

Jika Albert Fast terlibat affair dengan gadis kaya dan arogan, Albert Arif justru menaruh hati pada sesosok gadis sederhana berhati tulus. Perkenalan mereka tak terduga. Berawal dari musibah yang menewaskan kedua orang tua Chika. Albert Arif hadir bagaikan malaikat penolongnya. Membantunya bangkit dari kesedihan, memberikan rumah, mencarikan pekerjaan, dan melindungi Chika dari orang-orang yang berbuat jahat padanya.

Baru saja Albert Arif mendapati Chika menangis di ruang tamu. Tumpukan baju yang sudah rusak dan robek bertebaran di lantai.

“Aku...aku baik-baik saja,” lirih Chika.

“Nggak mungkin. Pasti terjadi sesuatu. Cerita sama aku, Chika.” Pinta Albert Arif lembut.

Chika enggan membuka suara. Ia terus menangis. Mengumpulkan kembali baju-bajunya yang rusak.

“Chika...” bujuk Albert Arif, suara barithonnya begitu lembut.

“Tapi Albert janji ya, jangan bilang siapa-siapa.”

“Iya, aku janji.”

Seraya menyapu air matanya, Chika berkata. “Tadi Nada datang ke sini. Dia marah-marah sama aku. Katanya, aku ini perempuan miskin tapi materialistis. Aku nggak pantas buat pria idaman semua wanita seperti kamu itu. Nada menyuruhku menjauhi kamu. Terus...dia menggunting semua bajuku.”

Mendengar itu, Albert Arif menjadi marah. Ternyata wanita di masa lalunya kembali berulah. Ia tak henti-hentinya meneror Chika, sama seperti Mamanya. Membuat Chika menderita nampaknya telah menjadi hobi baru Nada.

“Chika, Nada sudah keterlaluan. Aku harus mengingatkan dia.”

“Jangan, kasihan dia...”

“Chika, kenapa kamu masih mengasihani Nada? Dia jelas-jelas membencimu, dia ingin kamu menderita.”

“Albert, aku yakin Nada orang yang baik. Hanya saja hatinya masih ditutupi kebencian. Tapi kebencian pun ada batasnya. Suatu saat berkurang, lalu habis. Setelah kebencian habis, cinta yang menggantikannya.”

Lagi-lagi Albert Arif dibbuat terpesona oleh jalan pikiran Chika. Hati gadis cantik itu sangat lembut. Sangat tulus. Ia selalu berpikir positif pada semua orang. Bahkan orang yang berbuat jahat padanya.

“Jika kebencian bisa habis, apa cinta juga begitu?” tanya Albert Arif.

Cinta tidak akan habis. Meski cinta diberikan pada semua orang, ia akan terus mengalir. Bukannya habis, ia akan terus bertambah.”

Penilaiannya tak pernah salah. Begitu pula penilaian Papanya. Chika figur wanita berhati tulus, lembut, dan menebarkan aura positif. Beruntung sekali pria yang kelak menjadi pendamping hidupnya.

“Kamu baik sekali, Chika. Kamu orang baik dan tulus. Orang baik mungkin banyak, tapi orang baik yang berhati tulus sangat sedikit.” Puji Albert Arif tulus.

Chika hanya menundukkan wajah. Tak sanggup melihat sepasang mata teduh itu.

“Sekarang kamu ikut aku. Kita beli baju.”

Ajakan Albert Arif memecah lamunannya. Tangannya telah diraih oleh pria rupawan beraksen British itu. Chika menurut. Mereka melangkah keluar rumah. Dengan gallant, Albert Arif membukakan pintu mobilnya untuk Chika.

Lima belas menit kemudian, mereka telah duduk nyaman di dalam Mercy hitam itu. Melaju melewati ruas-ruas tol dalam kota. Albert Arif mengajak Chika ke butik. Membelikan banyak pakaian untuk sang gadis berhati tulus. Mulai dari gaun sampai piyama, mulai dari kardigan sampai outer, semuanya ia belikan.

“Albert, apa semua ini tidak terlalu banyak?” desah Chika tak enak hati.

“Justru aku merasa masih kurang. Kita ke butik kenalannya Mama. Di sana pilihan bajunya lebih banyak.” Sahut Albert Arif antusias.

“Jangan...aku tidak ingin merepotkanmu,” cegah Chika buru-buru.

Baju-baju baru dan mahal itu dibawa ke meja kasir. Mata Chika membulat tak percaya melihat nominal yang tertera di struk belanja. Totalnya menyentuh angka dua juta. Bagi orang seperti Chika, uang dua juta sudah sangat banyak. Sayang jika hanya digunakan untuk membeli baju.

“Hei, kenapa?” Albert Arif tertawa kecil melihat raut wajah Chika.

“Baju-baju di sini mahal. Maaf ya,” gumam Chika sedih.

“Jangan minta maaf. Aku suka bisa memberikan sesuatu buat kamu.

Selesai membeli baju, mereka tak langsung pulang. Terlintas dalam benak Albert Arif untuk menjadikan Chika sebagai modelnya. Sebagai fotografer ternama yang telah menghasilkan banyak karya, Albert Arif mampu membedakan mana wajah fotogenik dan mana yang tidak. Terlebih ia pernah menjadi model dengan jam terbang yang tinggi. Pengetahuan itu sudah dikuasainya.

Di taman yang indah, mereka mulai mencari spot strategis. Chika mengenakan wrap dress tube top berwarna merah. Awalnya ia menolak, namun luluh juga berkat bujukan Albert Arif.

Dari balik lensa kameranya, Albert Arif terus menatapi Chika. Terpesona melihat senyumnya, postur tubuhnya, rambut panjangnya, mata beningnya, hidung bangirnya, dan bibir indahnya. Ia mulai memotret objek indah itu. Model terindah yang pernah dipotretnya. Foto ini akan menjadi masterpiece berikutnya.

Chika berpose seperti yang diinstruksikan Albert Arif. Pertama gugup, malu-malu, canggung. Lalu larut bersama dinamika pemotretan itu. Bahkan bisa menikmatinya. Kegugupan Chika berangsur hilang. Tergantikan kebahagiaan dan kepercayaan diri.

Sedih hatinya terhapus sudah. Begini rasanya dipotret fotografer dan model terkenal.

“Chika, kamu cantik.” Albert Arif berkata lembut. Mendekati Chika. Menunjukkan foto-foto hasil jepretannya.

Hati gadis cantik itu berdesir hangat. Begitu pula hati sang fotografer. Banyak model cantik dan seksi yang dikenalnya. Namun baru kali ini Albert Arif memuji kecantikan modelnya.

“Pantas saja Papa bilang kalau kamu cocok jadi menantunya.”

“Astaghfirulah...tidak mungkin, Albert. Langit dan bumi tidak bisa bersatu.” Bantah Chika salah tingkah. Wajahnya merona kemerahan.

“Jika ada bumi, selalu ada langit.” Jawab Albert Arif tenang.

Langit mencintai bumi, maka semesta mendukungnya. Cinta langit pada bumi semakin kuat. Bumi pun ingin membalas cinta langit. Lantas, bisakah langit dan bumi bersatu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun