Siang itu, mereka bertemu di sebuah restoran seafood. Albert Fast baru saja mendapat pekerjaan lagi, dan ia ingin merayakannya bersama Albert Arif.
“Kamu tidak boleh begitu. However, dia tetap ibu kita.” Albert Arif berkata sehalus mungkin.
“Bukan, dia bukan ibuku! Ibuku hanyalah Mama Marina Hanifa!” Albert Fast menyebut ibu kandung mereka yang telah meninggal sewaktu mereka berumur tiga tahun.
Albert Arif menghela napas. Sabar menghadapi sikap keras hati kembarannya. Meski kembar identik, meski passion mereka sama, sifat mereka jauh berbeda.
“Albert...kamu ke sini juga! Kok nggak ajak aku? Tahu gitu tadi aku jemput kamu!”
Seorang gadis berwajah oriental dan bertubuh ramping mendekat. Merangkul Albert Fast. Mencium pipinya.
“Iya, Sayang. Maaf aku lupa. Abis kerjaan di kantor banyak banget. Meeting sama klien lagi.”
“Ooooh gitu...gimana meeting-nya? Sukses? Perusahaan kamu menang tender?”
Sandiwara ini dimainkan dengan sangat baik. Ya, Albert Fast memang pemuda aneh. Ia sering mengaku-ngaku sebagai Albert Arif, CEO Bratawijaya Corp sekaligus fotografer terkenal itu. Ia pun membajak credit card, rekening, dan mobil pribadi milik Albert Arif. Semua orang mempercayainya. Semua ini ia lakukan demi merebut hati Andini, seorang entrepreneur sukses yang menjadi pujaan hatinya. Awalnya Albert Arif tak mengerti alur permainan Albert Fast. Pada akhirnya, ia mengikuti permainan tersebut demi rasa sayang dan solidaritas pada kembar identiknya.
“Albert, ini siapa?” tunjuk Andini pada Albert Arif.
Sesaat Albert Fast kebingungan. Pria Indo bertubuh semampai itu belum tahu bagaimana caranya mengenalkan Albert Arif pada Andini. Tetiba saja...