“Saya Ricky, supirnya Tuan Albert.”
Di luar dugaan, Albert Arif bangkit. Menjabat tangan Andini. Memperkenalkan diri sebagai supir pribadi. Albert Fast terperangah menyaksikan tingkah laku Albert Arif.
“Supir kok makan semeja sama majikan?” tanya Andini angkuh.
“Majikan saya memang baik. Dia selalu ajak saya makan bareng,” jawab Albert Arif yakin.
Senyum sinis bermain di bibir tipis Andini. “Sayang ya...ganteng, tinggi, wajah kayak bule, tapi jadi supir. Harusnya kamu jadi model.”
Bukannya tersinggung, Albert Arif justru tersenyum. “Mungkin sudah rezeki saya.”
Selepas kepergian Andini, Albert Fast buru-buru minta maaf pada Albert Arif. Ia tahu, Andini tipe gadis angkuh dan suka meremehkan orang lain.
“Nggak apa-apa kok. Kamu harus terus perjuangkan cintanya,” kata Albert Arif ringan.
“Maaf juga aku sering membajak fasilitas kamu dan mengaku-ngaku sebagai kamu. Aku janji, begitu Andini sudah benar-benar jatuh cinta padaku, aku akan bongkar siapa aku sebenarnya.”
“Kamu saudaraku, Albert. Apa pun akan kulakukan untuk bantu kamu. Tenang saja.”
Hening. Hanya terdengar alunan biola dari panggung kecil di ujung ruangan. Saudara? Albert Fast dan Albert Arif memang terlahir sebagai saudara kembar. Namun mereka seperti langit dan bumi. Sangat kontras. Sangat jauh berbeda.