“Pagi!” jawab anak-anak bersemangat.
“Kita kenalan dulu ya. Ayo, satu-satu maju ke depan. Siapa mau duluan?”
Murid di kelas ini cukup aktif. Mereka ekspresif dan tak segan bicara di depan banyak orang. Saat perkenalan, tahulah Albert kalau anak yang kehilangan kedua tangannya itu bernama Eryn.
“Kalian semua udah punya cita-cita belum?”
“Punya!”
Anak-anak berebutan menyebutkan cita-cita mereka. Ada yang ingin menjadi dokter, pilot, polisi, tentara, pengusaha, wartawan, dan masih banyak lagi. Hanya Eryn yang tetap diam. Albert menangkap itu semua. Dia berjalan ke bangku Eryn. Mengingat Eryn bertubuh mungil sementara Albert sendiri berpostur tinggi, ia lantas berlutut. Menyamakan tinggi tubuhnya dengan Eryn.
“Eryn mau jadi apa kalau sudah besar nanti?” tanya Albert.
Bukannya menjawab, Eryn justru menangis. Anak-anak menatapnya iba. Hati Albert tersentuh. Ia tak bisa melihat wanita menangis. Terlebih Eryn masih kecil. Diusap-usapnya rambut anak itu. Dirangkulnya hangat.
“Eryn nggak tahu mau jadi apa...Eryn pengen jadi dokter, tapi kan Eryn nggak punya tangan. Eryn nggak berguna! Nggak pantas punya cita-cita!” teriak Eryn frustasi.
Albert sudah siap dengan kemungkinan seperti ini. Ia telah terbiasa menghadapi anak-anak.
“Eryn, tiap orang harus punya cita-cita. Tiap orang juga berhak meraih cita-citanya. Termasuk kamu, Eryn. Eryn istimewa. Jadikan kekurangan Eryn sebagai kelebihan. Jangan menyerah...ya?”