Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Seperti Tinta Biru

24 November 2016   14:43 Diperbarui: 24 November 2016   14:50 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Menjadi duta kampus dan ikut banyak organisasi. Memangnya kamu tidak kelelahan? Kamu bisa bagi waktu, kan?” tanya Albert penuh perhatian.

“Bisa, Albert. Pokoknya tiap detik waktu yang tersisa tidak boleh disia-siakan. Kamu sendiri? Kenapa tidak ikut BEM atau organisasi mahasiswa lainnya?”

Jika dipikir-pikir, Albert memiliki dunia yang berbeda dengan Maurin. Ia pintar, introvert, dan study-oriented. Berbeda dengan gadis bermata kelabu itu yang menyukai tantangan dan social-oriented. Latar belakang keluarga mereka pun jauh berbeda. Namun, bagaimana mereka bisa dipertemukan?

Momen indah itu terjadi sebulan lalu. Menatapi koleksi dress-nya di lemari pakaian, Maurin terus mengenang pertemuannya dengan Albert. Tanpa sadar mendekap erat dress kombinasi biru langit malam dan baby blue itu. Pakaian yang akan selalu mengingatkannya pada sosok Arif Albert.

“Gadisku, kenapa kamu belum siap-siap? Hedy udah mau datang lho,” tegur Mamanya.

Maurin tersentak kaget. Cepat-cepat mengembalikan lagi dress birunya ke tempat semula. Sebagai gantinya, mengambil gaun panjang berwarna soft pink. Mengenakannya, lalu beranjak ke depan cermin.

“Kamu kenapa? Kangen sama Arif ya? Dia baik-baik saja, kan?” Mama bertanya lembut.

“Baik kok,” jawab Maurin ringan. Enggan bercerita masalah yang sebenarnya. Yang pasti, ia senang Mamanya peduli pada pemuda tampan calon rohaniwan itu.

“Terkadang Mama kasihan padanya,” kata Mama tiba-tiba. Refleks gerakan tangan Maurin yang tengah menyapu wajahnya dengan make up terhenti. Ditatapnya wanita separuh abad itu kebingungan.

“Arif itu mengingatkan Mama pada Papamu. Terbiasa hidup di rumah asrama yang notabenenya jauh dari keluarga, kekurangan kasih sayang, dan tidak bahagia. Dulu Papamu juga begitu. Sebelum akhirnya bertemu Mama, dan kami menikah. Mama tidak buta, Gadisku. Mama bisa melihat dan merasakan itu saat bertemu dengannya. Kehidupan di Seminari Tinggi pastilah ketat dan cukup berat.”

Maurin tertegun mendengar ucapan Mamanya. Ia tersadar. Bukankah Papa juga seperti itu? Masa mudanya dihabiskan dengan tinggal dan bersekolah di sebuah lembaga yang dikelola sebuah yayasan Katholik. Mama dan Papanya berasal dari latar belakang keluarga yang jauh berbeda. Karakter mereka pun seperti bumi dan langit. Lalu Tuhan mempertemukan keduanya di kantor yang sama setelah Papa keluar dari lembaga pendidikan itu. Berawal dari satu kantor itulah mereka memutuskan menikah dan membangun keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun