“Dua hari yang lalu. Kamu sudah dua kali baca Alkitab ya? Waktu kelas 6 SD dan bulan kemarin?” Hedy balik bertanya. “Iya. Kakak tahu itu ternyata.”
Sesaat hening. Hedy menundukkan pandang, berusaha tidak melihat pigura foto yang bersandar manis di atas piano. Hatinya serasa sakit tiap kali melihatnya. Jika bisa, ingin sekali ia pergi sendiri ke Seminari Tinggi dan melancarkan aksi ketidaksukaannya pada pemuda bernama Albert itu. Namun ia menahan diri. Ia masih menghargai Maurin dan tidak ingin merusak persahabatan mereka.
“Maurin, kumohon kamu pikirkan lagi kata-kataku. Aku ingin kamu bahagia,” Hedy berujar perlahan.
“Aku tidak bisa janji, Kak. Rasa empatiku terlalu besar untuk Albert. Aku juga mencintainya dengan caraku sendiri. Albert pasti punya alasan, aku tahu itu. Aku hanya perlu menunggu.”
Menunggu, lagi-lagi kata itu. Hedy menarik nafas panjang. Sampai kapan gadis ini akan menunggu dalam ketidakpastian?
“Terserah kamu. Yang penting aku sudah mengingatkanmu. Besok aku ke kampusmu ya. Kamu mau kubawakan apa?” tawar Hedy.
“Tidak usah. Kak Hedy mau ke kampus saja sudah cukup bagiku.”
**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H