“Menjadi duta kampus dan ikut banyak organisasi. Memangnya kamu tidak kelelahan? Kamu bisa bagi waktu, kan?” tanya Albert penuh perhatian.
“Bisa, Albert. Pokoknya tiap detik waktu yang tersisa tidak boleh disia-siakan. Kamu sendiri? Kenapa tidak ikut BEM atau organisasi mahasiswa lainnya?”
Jika dipikir-pikir, Albert memiliki dunia yang berbeda dengan Maurin. Ia pintar, introvert, dan study-oriented. Berbeda dengan gadis bermata kelabu itu yang menyukai tantangan dan social-oriented. Latar belakang keluarga mereka pun jauh berbeda. Namun, bagaimana mereka bisa dipertemukan?
Momen indah itu terjadi sebulan lalu. Menatapi koleksi dress-nya di lemari pakaian, Maurin terus mengenang pertemuannya dengan Albert. Tanpa sadar mendekap erat dress kombinasi biru langit malam dan baby blue itu. Pakaian yang akan selalu mengingatkannya pada sosok Arif Albert.
“Gadisku, kenapa kamu belum siap-siap? Hedy udah mau datang lho,” tegur Mamanya.
Maurin tersentak kaget. Cepat-cepat mengembalikan lagi dress birunya ke tempat semula. Sebagai gantinya, mengambil gaun panjang berwarna soft pink. Mengenakannya, lalu beranjak ke depan cermin.
“Kamu kenapa? Kangen sama Arif ya? Dia baik-baik saja, kan?” Mama bertanya lembut.
“Baik kok,” jawab Maurin ringan. Enggan bercerita masalah yang sebenarnya. Yang pasti, ia senang Mamanya peduli pada pemuda tampan calon rohaniwan itu.
“Terkadang Mama kasihan padanya,” kata Mama tiba-tiba. Refleks gerakan tangan Maurin yang tengah menyapu wajahnya dengan make up terhenti. Ditatapnya wanita separuh abad itu kebingungan.
“Arif itu mengingatkan Mama pada Papamu. Terbiasa hidup di rumah asrama yang notabenenya jauh dari keluarga, kekurangan kasih sayang, dan tidak bahagia. Dulu Papamu juga begitu. Sebelum akhirnya bertemu Mama, dan kami menikah. Mama tidak buta, Gadisku. Mama bisa melihat dan merasakan itu saat bertemu dengannya. Kehidupan di Seminari Tinggi pastilah ketat dan cukup berat.”
Maurin tertegun mendengar ucapan Mamanya. Ia tersadar. Bukankah Papa juga seperti itu? Masa mudanya dihabiskan dengan tinggal dan bersekolah di sebuah lembaga yang dikelola sebuah yayasan Katholik. Mama dan Papanya berasal dari latar belakang keluarga yang jauh berbeda. Karakter mereka pun seperti bumi dan langit. Lalu Tuhan mempertemukan keduanya di kantor yang sama setelah Papa keluar dari lembaga pendidikan itu. Berawal dari satu kantor itulah mereka memutuskan menikah dan membangun keluarga.