“Kenapa kamu bisa jatuh cinta pada calon Romo?”
Maurin menatap wajah Hedy. Seraut wajah rupawan. Gen yang sukses diwarisinya dari Keluarga Tanuwijaya. Wajah yang kini menyiratkan beban, penyesalan, simpati, dan kesedihan.
“Kenapa Kakak sedih? Ini kan pilihanku. Atau...Kakak ada masalah lain? Gimana kondisi Tante Alila? Sudah membaik?” Maurin mengalihkan pembicaraan.
Nyonya Alila Tanuwijaya, ibu Hedy, sudah beberapa bulan ini sakit parah. Ia harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Di sela kesibukannya, Hedy tak pernah absen menjaga sang Mama.
“Sudah. Jangan bahas itu sekarang.” Kata Hedy datar.
“Lalu?”
“Maurin, aku tidak merestui jika kamu terus menunggu dan memberi perhatian pada Albert. Jauhi dia. Tinggalkan dia.”
Demi mendengar perkataan Hedy, Maurin terperangah. Tak disangkanya Hedy berkata setajam itu.
“Kenapa, Kak?” tanyanya.
“Aku kasihan padamu. Kamu layak mendapatkan cinta dari pria yang jauh lebih baik. Dia tidak cukup baik untukmu. Jika dia pria yang baik, hari itu juga dia langsung meminta maaf dan berusaha mengontakmu. Tapi dia tak punya inisiatif apa pun.” Hedy menjelaskan.
“Dia yang paling mengerti aku, Kak. Mengerti luar-dalam. Dia...”