“Bagaimana, ada tidak??” tanyaku mengolok.
“Bulan sabit ya?” ucapnya tiba-tiba.
“Eh, maksudnya apa?” aku sedikit kikuk mendengarnya. Aku membolak-balikkan tanganku mencari bulan sabit itu denganbingung tapi, aku sama sekali tak melihat apa-apa.
“Coba kita lihat dulu, apa artinya?” ucapnya sembari membuka buku tua yang kelihatan lusuh itu.
“Bu-lan saa-bit, ketemu!” ucapnya menunjuk sebuah halaman. Ia memintaku untuk membacanya. Aku menelan ludah melihat isi buku itu, tulisan itu benar-benar tak bisa kukenali. Aku menggeleng pasrah, huruf itu hanya terdiri dari garis-garis vertikal dengan siratan horizontal yang sama sekali tak aku mengerti.
“Aku tidak bisa membacanya,” ucapku memberikan buku itu pada Bima.
“Kamu tidak bisa membacanya? Baiklah akan kubacakan,” ucapnya seolah tak percaya jika aku benar-benar tak bisa membaca tulisan ini.
“Cresentia. Simbol keagungan, penguasa atas segala elemen. Pemilik sayap putih dari negeri bulat nan biru yang terdampar di tepi pantai terlilit akar. Seseorang yang sedang bersama pengendali api, yang berlari terseret lelah,” matanya tiba-tiba tertuju padaku. Tak lama, ia melanjutkan membaca buku aneh itu.
“Putri tercantik dari segala penjuru yang menyelinap pada gua berbatu kapur. Tubuhnya dibalut dedaunan hijau maha cantik, tertata lubang pada senyumnya. Terlindung kecantikannya atas segala jagat raya. Bola matanya terbentuk dari aurora, rambutnya hasil siratan ekor komet, keelokannya dibentuk oleh cincin-cincin saturnus. Ia dilindungi semesta. Saat laut bermandikan cahaya bulan purnama, di situ sang putri akan mandi.” Bima menutup buku itu.
“Kamu adalah pengendali semua elemen,” ucapnya sembari menyimpan buku tua itu ke sebuah rak kapur pada gua.
“Aku masih tak mengerti, aku juga tak melihat ada tanda-tanda pada tanganku,” Ucapku sembari menggaruk kepala.