“Jika kamu mau melihatnya, mandilah malam ini di laut lepas. Malam ini adalah malam bulan purnama,” ucapnya. Bergegas ia membuka tutup pintu gua itu dan mempersilakan Cita keluar.
“Jangan ada kain yang menyemat di tubuhmu,” ucap Bima mengingatkan.
“Bodoh!!! Mana mungkin aku melakukan itu. Dasar pria mesum!!” ucapku membeludak.
“Terserah jika kamu tidak mau melihat tandanya sih, tak apa-apa,” ucap Bima keluar gua itu.
“Baiklah aku akan melakukannya tapi, jangan berani-berani kamu melihatku dalam keadaan terbuka, kecuali kamu sudah siap mati,” teriakku mengancam.
“Mati?” Bima tersenyum simpul.
Tubuhku benar-benar terbuka sekarang, tak ada sehelai benang pun membalut. Bergegas kuterjang laut lepas yang dingin ini. Airnya menutup seluruh tubuhku seiring dengan kakiku yang memijak bertambah dalam. Telapak tanganku kini terukir cahaya dengan bentuk bulan sabit. Iya sekarang aku melihatnya.
Perlahan air ini berubah memadai benang-benang yang memintal tubuhku. Warnanya putih dibiaskan bulan. Aku takut tapi, aku juga sangat menikmati apa yang terjadi padaku saat ini ditambah lagi ketika kulihat hamparan sayap putih terbuka di balik punggungku. Aku benar-benar tak percaya ini semua terjadi hingga akhirnya kuputuskan mencubit pipiku sendiri untuk meyakinkan ini mimpi ataukah nyata. Rasanya ternyata sakit.
Kutatap wajah Bima di kejauhan garis pantai itu, ia terduduk mengamatiku. Aku mulai berpikir yang tidak-tidak, jangan-jangan ia melihat. Arghhh aku benar-benar malu.
“Hei!!! Mengapa kau memperhatikanku dari tadi? Bukankah kita sepakat tadi?” ucapku teriak.
“Aku tidak mau kamu sampai melakukan hal bodoh. Kamu itu belum bisa terbang, jadi jangan pernah bermain-main dengan sayap itu,” ucapnya dengan dingin.