Mohon tunggu...
Mia Rosmayanti
Mia Rosmayanti Mohon Tunggu... -

semuanya adalah tentang rasa lelah dan jenuh. khayalan yang terlalu sayang untuk hilang begitu saja.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Apel

27 Agustus 2015   19:53 Diperbarui: 27 Agustus 2015   19:53 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tubuh itu terbalut kilatan cahaya dari mesin penangkap gambar. Tubuh idealnya didukung kaki yang jenjang, membuat ia dapat berpose sempurna dengan pakaian yang menutupi pahanya seperempat bagian. Wajahnya manis disorot lampu dari berbagai sudut, mengepak jelas wajah itu bukan wajah murni pribumi. Ayahnya berasal dari Swiss, sementara ibunya asli Bogor. Cita.


“Sekali lagi ya!” ucap fotografer. Cita mengangguk.


Segera fotografer itu mengacungkan jempol, pertanda semuanya berakhir. Cita bergegas mengemasi barang-barang pribadinya dan pergi ke toilet wanita itu.


Ia berdiri di hadapan bias wajahnya itu. Kaca itu begitu sempurna menghadapkan Cita pada pandangannya. “Hay!!” sapa Cita pada sosok di dalam kaca itu.
“Akhirnya kita bisa bertemu lagi, ya?” kaca itu tetap saja tak bereaksi.

Sosok di dalam kaca itu selalu mengikuti apapun yang Cita katakan dan perbuat. Tak bereaksi dan semuanya sepi. Ia tatapi kaca itu sembari meratap dengan mata kosong. Selalu saja begitu, sendirian dan sendirian. Hanya kaca ini yang menemaninya setiap ia selesai berpose. Hingga dentuman itu terdengar.
Dummmm!!

Cahaya itu mencuat begitu dalam memantul pada kaca tepat ke mata Cita. Semuanya bergetar, reruntuhan debu menghiasi ruangan kecil itu. Cita memandang ke sekitar ruangan itu, dilihatnya tembok beton itu retak dengan halus. Hingga suara itu kembali terdengar, bahkan lebih keras sebelumnya.
Duuummmm!!!! Krakkkkkk....
Cita terhempas condong pada kaca itu dan memeluknya. Ledakan itu menyapu seluruh ruangan. Tubuh Cita berubah menjadi sandaran atap itu, hingga seluruh ruangan itu runtuh. Cita merasakan gelap dengan bau anyir yang menggenang.


***


Mataku terbuka dengan perlahan, tubuhku merasakan sakit menahan reruntuhan ini. Kutatap sahabatku pecah berkeping, aku sendirian lagi. Aku sesak menghirup debu dari reruntuhan ini. Aku pikir, sebentar lagi penyakit asmaku akan segera kambuh. Aku bangun melawan tulang-tulangku yang terasa bergeser ini. Kulontarkan reruntuhan ini mengaduh, mataku berpijar.


Semuanya runtuh. Di sepanjang jalan ini kulalui, kutatap semuanya runtuh. Kota ini sangat sunyi, api dan asap mengepul. Kudapati rambut itu terurai dibalik reruntuhan. Kuangkat reruntuhan itu dan kutemui wajahnya tak lagi berupa. Tuhan, tubuhku bergetar. Yang kulihat semuanya kosong, tak ada yang dapat kutanyai tentang apa yang terjadi.


Tangisku mengalir lagi, lengan ini kurasa nyeri. Kutengok ujung tangan ini berhias cairan merah kental dengan bau khas. Burung-burung hitam itu dengan anggunnya mematuk bagian tubuh seorang anak di tepi jalan itu. Tidak, anak itu kejang memberontak, ia masih hidup. Bergegas aku berlari dengan setengah lunglai, aku kembali jatuh tersandung tubuh berambut putih itu. Tanganku tinggal sejengkal lagi meraih tangan anak itu. Anak itu terdiam molek, aku salah. Ia bergerak bukan karena masih hidup tapi, ia sekarat.


Tanganku menyapa keringat deras ini. Tuhan, 'aku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?'
Aku kembali tertutup kalut. Kuhirup udara penuh asap ini, aku butuh air. Batuk ini sudah tidak main-main lagi, leherku tersayat ketika batuk karena terlalu kering. Air, aku melihatnya dengan kilauan itu di tempat bocah molek itu tergeletak. Tanganku merangkak meraihnya. Dingin.


Aku merasa nyawaku sudah kembali dari dunia yang tak jelas. Tubuhku terasa amat ringan sekarang. Kakiku terangkat dari bumi ini. Aku mengira ini hanya karena aku terlalu banyak mengonsumsi obat setan itu.


“Tidakkkkk!!!!!” teriakku saat sadar aku makin jauh dari pijakanku.


Aku mengambang bagai kertas yang dihembus angin. Aku mual dan merasakan takut yang teramat sangat. Kutatap hamparan kotaku yang hancur makin mengecil. Aku lemas dan pasrah di atas. Kutatap lautan biru membuka mulutnya.
Tubuh ini tiba-tiba terasa berat, aku tak dapat lagi bergerak. Aku kini merasa dipermainkan gravitasi bumi tua ini. Aku tak dapat lagi bergerak, kram seluruh tubuh mulai menyerang. Lautan itu digulung ombak, mereka menyambutku dengan arus ganas .
Byuuurrrr


Lautan yang menelanku atau justru aku yang menelan lautan? Entahlah aku juga bingung. Terbentur tubuh ini di dasar yang gelap, tidak ada cahaya yang bisa menembus dalamnya dasar ini. Ikan-ikan berkepala dengan lampu itu menghampiriku, gigi runcingnya terlihat bagai tersenyum menatapku. Ia makin mendekat, aku terbawa gulungan air ini dengan pasrah.


Tubuh lemah ini dilontarkan dari laut menuju tanah berpasir. Di sini aku kembali dililit akar tunggang bakau ini, lagi-lagi sepi. Aku tersenyum beku melihatnya. Aku bergerak setelah sadar kepiting itu masuk dan mencapit bagian vitalku.


“Dasar kepiting mesum!!!” hujatku sambil melepaskan kepiting itu.


Kujilat pemandangan ini, arusnya sangat tenang dan indah. Seolah aku sendiri tak percaya kalau beberapa waktu lalu ada pusaran yang memuntahkanku. Beranjak aku bangkit dari rumpun bakau ini. Tiba-tiba kepalaku terasa seperti dikenai sesuatu. Kulihat di pasir itu, cangkang kerang berukuran kecil itu.


Kepalaku berbalik ke arah belakang sambil mengelus kepala yang terasa lumayan sakit ini. Kulihat seseorang lari masuk hutan itu begitu cepat. Tak mau kalah darinya, kulalui ilalang ini dengan cekatan yang menggores kaki tanpa alas ini. Ia hilang bagai angin, aku hanya bisa terdiam mengamati jurang yang terpapar di mataku.
Tuhan ada satu lagi yang membuat mataku tercengang, ular itu besar sekali. Ular itu semakin mendekat hingga kibasan itu datang membawaku lari. Kutemukan orang yang tadi dengan jahil melempariku dengan cangkang kerang itu. Aku tertawa puas dan lega.


Tubuhnya tinggi dan kekar, dari belakang sini kulihat ia tersenyum simpul. Aku tak tahu berapa lama lagi aku harus berlari yang jelas, kakiku sudah tidak kuat lagi. Aku duduk tersungkur, ia tetap saja berlari. Sampai akhirnya ia sadar telah menyeretku dengan jarak yang lumayan jauh. Ia terduduk menatapku dengan kaki yang membekas ini.


“Ularnya dari tadi tidak mengejar kok!” aku nyengir memampangkan gigi gingsul yang ada pada bagian atas kanan gusiku ini.


“Lesung pipimu tajam!” ucapnya sembari menyentuh pipiku. Aku hanya tersenyum menanggapinya.


Bergegas ia mengangkat tubuhku. Ia berlari dengan gesit membawa tubuhku yang ringan ini ke sebuah gua kapur dekat pantai itu. Ia mendudukanku di dekat kayu bekas perapian itu. Ia pergi dan kembali datang sembari membawa dedaunan itu membalut setiap goresan yang ada di tubuhku. Seusainya, ia menggesekkan batang kayu itu untuk menghangatkan gua yang lembap ini.
Waktu terus saja berjalan, malam mulai datang. Sesegera ia menutup gua itu dengan batu yang tinggal ia dorong dari samping gua bagian dalam itu. Ia duduk di dekat perapian itu dan memberiku ikan yang sudah ia tangkap sebelumnya. Aku menerimanya dengan senang hati.


“Aku Cita!” teriakku padanya.


“Bima!” sahutnya.


“Oh ya? Woww. Seperti namamu, kau begitu kuat.” Ucapku dengan kagum. Tangannya menjulur pada api itu.


“Hey! Nanti tanganmu bisa terbakar!” teriakku sedikit cemas.


“Apa seperti ini yang namanya terbakar itu?” tanyanya dengan polos sembari memperlihatkan api yang sudah berontak di tangannya. Aku terpaku melihatnya, ia benar-benar tak merasakan sakit atau panas yang kuterjemahkan dari rautnya.


“Aku pengendali api,” ucapnya sembari memadamkan api di tangannya itu.


“Hahaha. Aku serasa hidup di negeri dongeng.” Tawaku mengalun.


“Kamu pengendali apa?” tanyanya sambil mendekat.

“Hei. Aku hanya manusia!” jawabku sontak.

“Coba kulihat tanganmu.” Aku mengulurkan tanganku dengan senang hati.

“Bagaimana, ada tidak??” tanyaku mengolok.

“Bulan sabit ya?” ucapnya tiba-tiba.

“Eh, maksudnya apa?” aku sedikit kikuk mendengarnya. Aku membolak-balikkan tanganku mencari bulan sabit itu denganbingung tapi, aku sama sekali tak melihat apa-apa.


“Coba kita lihat dulu, apa artinya?” ucapnya sembari membuka buku tua yang kelihatan lusuh itu.


“Bu-lan saa-bit, ketemu!” ucapnya menunjuk sebuah halaman. Ia memintaku untuk membacanya. Aku menelan ludah melihat isi buku itu, tulisan itu benar-benar tak bisa kukenali. Aku menggeleng pasrah, huruf itu hanya terdiri dari garis-garis vertikal dengan siratan horizontal yang sama sekali tak aku mengerti.


“Aku tidak bisa membacanya,” ucapku memberikan buku itu pada Bima.


“Kamu tidak bisa membacanya? Baiklah akan kubacakan,” ucapnya seolah tak percaya jika aku benar-benar tak bisa membaca tulisan ini.


Cresentia. Simbol keagungan, penguasa atas segala elemen. Pemilik sayap putih dari negeri bulat nan biru yang terdampar di tepi pantai terlilit akar. Seseorang yang sedang bersama pengendali api, yang berlari terseret lelah,” matanya tiba-tiba tertuju padaku. Tak lama, ia melanjutkan membaca buku aneh itu.


“Putri tercantik dari segala penjuru yang menyelinap pada gua berbatu kapur. Tubuhnya dibalut dedaunan hijau maha cantik, tertata lubang pada senyumnya. Terlindung kecantikannya atas segala jagat raya. Bola matanya terbentuk dari aurora, rambutnya hasil siratan ekor komet, keelokannya dibentuk oleh cincin-cincin saturnus. Ia dilindungi semesta. Saat laut bermandikan cahaya bulan purnama, di situ sang putri akan mandi.” Bima menutup buku itu.


“Kamu adalah pengendali semua elemen,” ucapnya sembari menyimpan buku tua itu ke sebuah rak kapur pada gua.


“Aku masih tak mengerti, aku juga tak melihat ada tanda-tanda pada tanganku,” Ucapku sembari menggaruk kepala.


“Jika kamu mau melihatnya, mandilah malam ini di laut lepas. Malam ini adalah malam bulan purnama,” ucapnya. Bergegas ia membuka tutup pintu gua itu dan mempersilakan Cita keluar.


“Jangan ada kain yang menyemat di tubuhmu,” ucap Bima mengingatkan.


“Bodoh!!! Mana mungkin aku melakukan itu. Dasar pria mesum!!” ucapku membeludak.


“Terserah jika kamu tidak mau melihat tandanya sih, tak apa-apa,” ucap Bima keluar gua itu.


“Baiklah aku akan melakukannya tapi, jangan berani-berani kamu melihatku dalam keadaan terbuka, kecuali kamu sudah siap mati,” teriakku mengancam.


“Mati?” Bima tersenyum simpul.


Tubuhku benar-benar terbuka sekarang, tak ada sehelai benang pun membalut. Bergegas kuterjang laut lepas yang dingin ini. Airnya menutup seluruh tubuhku seiring dengan kakiku yang memijak bertambah dalam. Telapak tanganku kini terukir cahaya dengan bentuk bulan sabit. Iya sekarang aku melihatnya.


Perlahan air ini berubah memadai benang-benang yang memintal tubuhku. Warnanya putih dibiaskan bulan. Aku takut tapi, aku juga sangat menikmati apa yang terjadi padaku saat ini ditambah lagi ketika kulihat hamparan sayap putih terbuka di balik punggungku. Aku benar-benar tak percaya ini semua terjadi hingga akhirnya kuputuskan mencubit pipiku sendiri untuk meyakinkan ini mimpi ataukah nyata. Rasanya ternyata sakit.


Kutatap wajah Bima di kejauhan garis pantai itu, ia terduduk mengamatiku. Aku mulai berpikir yang tidak-tidak, jangan-jangan ia melihat. Arghhh aku benar-benar malu.


“Hei!!! Mengapa kau memperhatikanku dari tadi? Bukankah kita sepakat tadi?” ucapku teriak.


“Aku tidak mau kamu sampai melakukan hal bodoh. Kamu itu belum bisa terbang, jadi jangan pernah bermain-main dengan sayap itu,” ucapnya dengan dingin.


“Aku bisa kok!” bandelku dengan ceroboh mengontrol sayap ini dengan tak seimbang, aku kembali masuk ke laut ini.


“Sudahlah! Ayo cepat ke sini,” ucap Bima dengan agak putus asa.


“Bagaimana dengan sayapku? Aku tak bisa menghilangkannya!” ucapku sedikit ragu karena Bima memintaku untuk ke hamparan pasir itu lagi.


“Kalau kamu mau tahu, lekaslah ke sini. Nanti kamu akan segera mengetahui caranya,” ucapnya sembari menjulurkan tangan kekarnya itu.


Aku berjalan mendekat ke arahnya. Air laut yang sedari tadi membalut tubuhku segera tertinggal seiring banyaknya langkahku. Tepat saat kakiku memijak pasir tanpa air itu, sayapku lenyap. Aku loncat kegirangan melihat keajaiban yang terjadi padaku, aku tak pernah membayangkan bahwa nantinya aku akan memiliki sayap. Bima hanya menatap tingkahku yang kekanak-kanakan dengan tawa geli.


“Hei!! Kenapa menertawakanku?” tanyaku memasang muka judes sembari duduk di sampingnya.


“Sepertinya kamu sangat senang memiliki sayap itu,” ucapnya menatap bulan yang bersinar dalam-dalam.


“Tentu saja, dengan sayap ini aku bisa pergi ke mana pun aku mau,” ucapku penuh semangat.


Aku duduk di bawah remang-remang cahaya bulan ditemani Bima. Aku baru merasakan memiliki orang yang bisa aku ajak bicara saat ini, bukan lagi berbicara pada bayangan sendiri saat berdiri di depan kaca. Aku merasa aneh dengan semua yang terjadi hari ini tapi, aku memutuskan untuk tidak memikirkan bahkan mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya. Aku sangat menikmati semua ini hingga mataku terlelap di bahu kekar milik Bima. Aku bisa merasakan degupan jantung yang teramat keras saling berpacu antara jantung milikku dan miliknya.


Hingga tiba-tiba Bima menjatuhkanku dari bahunya. Aku tersentak kaget melihat Bima berdiri dengan tatapan kaku menuju bulan, mataku sontak ikut mencari tahu. Bulan itu terhadang oleh makhluk bersayap hitam pekat, matanya merah menyala. Iblis.

“Oh!! Jadi ada titisan Dewi Bulan yang baru di sini?” ucap iblis itu sembari mendekat. Bima masih diam. Walaupun diam, aku bisa melihat jelas bahwa Bima tetap berjaga-jaga.


“Emmmm.. Dia siapa?” ucapku ragu sembari bangkit tapi, Bima mendorongku dan membuatku kembali tersungkur ke tanah berpasir ini.

“Jangan bergerak!!” ucapnya memperingatkanku.

“Oh, kalian manis sekali!!” olok iblis itu makin mendekat.


“Kau tidak memberi tahu apa-apa Bima?” iblis itu mengitari kepala kami.


Bima menghempaskan tubuhnya ke udara dan sayapnya mengembang dengan sempurna. Aku hanya diam melihat pertarungan dua makhluk bersayap dengan warna yang berbeda. Lagi-lagi Bima melontarkan api dari tangannya ke arah iblis itu namun, berkali kali juga iblis itu bisa menghindarinya. Api bertemu dengan api membuat mereka seolah saling melawan diri sendiri. Api itu menggeliat di sayap putih Bima, ia terjatuh di hadapanku.


“Bima!!” aku bangkit mendekat.


“Jangan mendekat!” ucapnya kembali mendorongku.


“Aku tidak mau! Mana bisa aku membiarkanmu luka, aku juga punya sayap. Aku akan menolongmu,” ucapku dengan yakin mendorong tubuh ini ke udara.


“Jangan bodoh!! Kau belum bisa mengendalikannya,” ia berteriak dengan wajah sakit.


“Terlambat. Lihat, aku bisa mengambang,” ucapku dengan gugup menggerakkan sayap baruku.


“Awas!!!” teriaknya. Aku menyadari sebuah bola api mengarah kepadaku, aku menghindar tetapi, itu ternyata merusak keseimbanganku. Aku terbentur tanah berpasir ini dengan keras.


“Hahaha... hanya seperti itu kemampuan titisan bulan. Sangat buruk!!” iblis itu mendekat ke arahku. Ia kembali melontarkan bola api itu ke arahku, aku benar-benar takut dan hanya tertunduk.


Arggghhh!!
Suara itu membuat mataku terbuka, wajah Bima tepat di hadapanku. Kulihat sayapnya melindungiku dari api-api yang terus saja terlontar. Aku melihatnya kesakitan.


“Ayo hisap darahku! Aku tak akan bertahan lama lagi melindungimu seperti ini. Kamu harus bangkit” ucapnya menahan sakit.


“Mana mungkin! Aku ini bukan vampir. Aku tidak menghisap darah!” ucapku panik melihat api itu semakin bertubi-tubi.
Bima memelukku dan membuat kepalaku tepat di lehernya. Kepalaku mendadak pusing, gigiku mulai bertaring. Aku menggigit bibirku sendiri untuk menahannya.


“Tidak a-pa-apa, lakukanlah ku mohon. Aku sudah tidak kuat lagi. Argghhh!” Bima membelaiku dengan hangat, ia sangat kesakitan. Dengan gemetar aku mendekatkan gigi taringku ke lehernya, aku meminum cairan merah kental itu. Seketika aku bangkit dan terbang dengan gesitnya.


Iblis itu menjajakiku dengan api. Aku hanya menjulurkan tanganku ke arah iblis itu dan ajaib, tanda bulan sabitku bersinar dan mengeluarkan kristal-kristal es runcing. Kristal es itu mengenai tepat di pusat jantung iblis, seketika iblis itu terbakar dan lenyap. Bergegas aku menghampiri Bima yang tergeletak dengan sayap terbakar itu.


Aku memeluk Bima dan seketika sayap-sayapnya menghilang. Aku tidak tahu harus melakukan apa hingga akhirnya bintang-bintang di langit membentuk tulisan tentang bagaimana cara menyembuhkan Bima. Aku segera melakukan instruksi langit itu.
Kuangkat laut dan membungkuskannya ke tubuh Bima, air itu seperti jeli yang membawa Bima melayang. Mulutku terbuka lebar takjub dengan sihirku. Sekarang kuhadapkan tanganku menuju tubuh Bima yang lunglai tertutup matanya, cahaya memancar dari tanganku membias air yang membalut sekujur tubuh Bima. Airnya menghilang dan Bima pun tersadar.


“Selamat!” ucapnya tersenyum simpul.


“Aku? Untuk apa?” tanyaku sedikit linglung.


“Karena kamu sudah bisa mengendalikan kekuatanmu,” ucapnya mengusap kepalaku.


“Tapi.. Sebenarnya aku ini apa? Kenapa aku menghisap darah? Aku ini menakutkan.” Ucapku tertunduk dengan tangis. Bima membalasku dengan pelukan itu lagi.


“Kamu memang menakutkan bagi iblis-iblis itu tapi, tidak dengan aku,” ucapnya coba menghiburku.


“Apa tidak masalah aku menghisap darahmu tadi? Apa kamu sakit?” tanyaku cemas menanti leher Bima.


“Aku menikmatinya. Aku suka kamu mengendus leherku karena aku...” ucapnya tiba-tiba berhenti.


“Aku akan mengabdikan diriku untukmu! Setiap kali kamu akan menggunakan kekuatanmu maka kamu harus menghisap darahku. Itu sudah ketentuannya tapi, jangan salah paham! Aku hanya menjalankan tugasku,” ucapnya sembari menutup telinganya.


Aku menyentuh dadanya dengan berdebar. Kurasakan degupannya berdetak terlalu cepat hingga memacuku berdebar dengan cepat juga. Aku merasakan keindahannya, kupeluk ia dengan erat.


“Hatimu berdebar! Tapi, semakin kamu menutup telingamu maka debaran itu akan semakin kencang terdengar. Berhentilah menutup telingamu,” ucapku sembari melepasnya dan bergegas menuju gua kapur itu. Aku kembali duduk di dekat perapian itu. Kulihat Bima masuk dan kembali menutup pintu gua itu.


“Bima, bolehkah aku menanyakan sesuatu?” ucapku dengan sedikit canggung.


“Tanyakanlah! Maaf karena aku tidak memberi tahumu apa-apa,” ucapnya sembari duduk di seberang api itu.


“Apa maksud dari semua yang aku dapatkan ini? Sayap, kekuatan, menghisap darah. Aku masih bingung,” aku mendesah ragu.


“Semua itu kamu dapatkan karena kamu terpilih. Tugas kamu adalah melindungi tempat ini, taman keabadian. Kamu akan melawan iblis-iblis seperti tadi yang jumlahnya tidak sedikit. Kita berdua adalah generasi selanjutnya yang akan melindungi tempat ini. Hanya kita berdua!” ucapnya terpotong.


“Aku sangat bersyukur kamu ada di sini, aku merasa senang ketika melihatmu terdampar. Aku tidak sendirian lagi,” lanjutnya.
“Mengapa aku yang dipilih?” tanyaku penasaran.


“Karena kamu selalu merasa kesepian, aku juga selalu merasa kesepian. Aku sering melihatmu berdiri di depan kaca sambil berbicara dengan gambarmu karena itulah aku rasa kamu cocok menjadi partnerku. Aku selalu menunggumu mati dan waktu itu terjadi. Bom yang meledak layaknya kembang api itu telah membawamu ke sini,” jelasnya.


“Aku sudah mati?” tanyaku kaget.


“Iya. Kau sudah bukan manusia lagi,”


“Aku mati? Tidak mungkin!!” elakku.


Aku benar-benar tak percaya dengan semua cerita ini. Walaupun demikian, hari-hariku memang telah berbeda sekarang ini. Aku terus bersama Bima dan melawan iblis-iblis yang tiap hari bermunculan dan berusaha merusak tempat ini. Berkali-kali aku menghisap darah Bima dan bertarung bersamanya. Aku bahkan selalu membaca kitab-kitab kuno untuk mengetahui semua kebenaran yang terjadi di sini. Aku benar-benar sudah mati.


Aku tak pernah diperbolehkan ke bumi untuk melihat keluargaku. Aku hanya bisa melihatnya dengan bantuan mutiara hitam yang terdapat di gua kapur tempatku tinggal. Bima yang selalu menemaniku ke mana pun aku pergi. Bahkan kami sudah menjalin hubungan cinta, cinta kami berbeda dari manusia. Kami selalu memiliki dan tak pernah mengubah perasaan kami.
Suatu hari aku benar-benar depresi karena menginginkan buah kesukaanku di bumi. Apel. Bima terus berusaha mencarikan buah kenikmatan itu di tempat abadi ini tapi percuma, ia tak pernah menemukannya untukku. Hingga hari itu keajaiban datang. Aku menemukan pohon buah apel saat aku dan Bima kelelahan akibat bertarung. Bima memetiknya untukku dan kumulai dengan satu gigitan. Aku muntah.


Apel ini benar-benar tidak seenak apel di bumi. Aku sekarang sadar kalau aku bukan lagi manusia. Aku harus berjuang keras melindungi tempat ini dan di sini tidak mudah. Bahkan untuk menikmati apel pun aku tak lagi bisa.


Apel di sini terasa pahit karena itulah rasa aslinya, sementara apel di bumi sudah diubah iblis menjadi manis untuk menipu dan menjerumuskan manusia pada dosa. Aku kini telah mengetahui kebenarannya melalui semua kitab yang aku baca. Sayangnya aku sudah mati sekarang, jadi aku tidak bisa memberi tahukan manusia tentang kebenaran apel itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun