Memulai hidup yang baru dimana kamu bisa mencapai mimpi mu, harapan dan cita-citamu mungkin menjadi keinginan beberapa orang kan? Itu adalah Eliene hal yang sangat dia inginkan agar terbebas dari bayang-bayang mereka yang selalu mengikuti dan mengganggunya.
“Jadi bagaimana dok? Apa keadaan saya sudah membaik?” Tanya Eliene yang tampak pasrah.
“Sudah ada sedikit kemajuan. Selama kamu rutin meminum obatnya kamu akan membaik.” Kata dokter itu sambil melihat data laporan kesehatannnya di komputer.
“Baik terimakasih dok.” Eliene mengangguk pelan seblum bangkit dari kursinya dan berjanlan keluar ruangan.
Beberapa orang berlalu-lalang melewatiku. Suasana rumah sakit yang khas dan aroma obat dari ruang apotek yang khas memenuhi hidungku. Banyak orang yang masih duduk menunggu untuk dipanggil dan ada juga yang baru datang ke meja pendaftaran. Kosong. Padahal kuarasa ada banyak orang di sekitarku namun aku masih merasa sendirian.
Aku berjalan ke meja apotek dan memberikan laporan kesehatanku kepada apoteker. Dia menyambutku dengan ramah dan menyuruhku untuk duduk menunggu. Aku berbalik dan duduk di kursi terdekat. Tiba-tiba suara dering Handphone mengangetkanku. Aku langsung mengambil Handphoneku dari dalam sakuku. “Mama” nama yang terlihat di layar handphoneku. Aku lamgsung mengangkatnya.
“Nak? Kamu sudah ke rumah sakit kan?” Katanya dengan nada khasnya yang lembut dan selalu khawatir denganku.
“Iyaa sudah maa. Ini lagi nunggu obat.”
“Yasudah setelah itu langsung pulangn ya. Jangan kemana-mana sampai mama pulang”
“Iya ma” Aku hanya bisa menurutinya.
Setelah mengobrol cukup lama aku mendengar suara apoteker yang memanggil namaku
“Atas nama Eilin ditunggu di tempat pengambilan obat” Apoteker itu memanggilku lewat speaker.
“Udahan ya ma dahh!” Aku berbicara dengan terburu-buru dan langsung menutup telepon dan bergegas ke meja apotek.
Apoteker yang sudah menungguku langsung memberikan obat kepadaku sambil menjelaskan kapan aku harus meminumnnya. Aku mengangguk sambil mendengar penjelasannya. Setelah dia selesai menjelaskan dia langsung memberikan sekantong plastik obat padaku. Aku langsung menerimanya dan pergi meninggalkan apotek dan berjalan ke luar rumah sakit.
“Elii!!” suara ramah Maura datang menghampiriku dan langsung menepuk pundakku.
“Maura? Kenapa kamu disini?” Saat melihatnya entah mengapa moodku langsung membaik.
“Kamu kan kemarin bilang mau ke rumah sakit. Kamu lupa lagi ya?” Maura tampak sedikit kecewa. Dia merangkul lengan nya di pundakku.
“Ohh iya. Kukira kamu tidak datang”
“Sudah lupakan. Ayo ke rumah ku! Ada teman baru yang datang loh!” Katanya dengan nada khasnya yang semangat.
“Gak bisa, aku harus pulang sekarang.”
“Sudahlah sekali ini saja!”
“Ugh.. baiklah” Aku hanya bisa pasrah dengan sikapnya yang selalu memaksaku. Tadi di sisi lain aku juga tidak ingin langsung pulang. Pergi sebentar tidak apa kan? Mama juga pasti tidak marah kan?
Maura langsung menarik tanganku dan membawaku ke rumahnya yang tidak jauh dari sini.
Suara kicauan burung di atas pepohonan. Pohon-pohon yang berdiri tinggi memenuhi tempat itu. Di sana terletak sebuah gubuk kecil yang sederhana.
“Ayo! Aku menemukan seekor rubah tadi” Kata Maura sambil menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam gubuk itu.
Aroma khas dari bambu-bambu yang sudah tua dan bau harum dari masakan di dapur. Ini adalah rumahnya. Tempat yang nyaman dan tenang jauh dari hiruk-pikuk kota. Lalu dia menyuruhku duduk di bangku kayu di ruang tamu. Aku hanya menurutinya.
Setiap kali aku kesini tak henti-hentinya aku merasa kagum dengan rumah ini. Walaupun hanya sebuah gubuk tua yang sederhana. Tapi aku menyukai suasana tenang dan damai disini. Rasanya aku seperti di dunia lain.
Maura pergi sebentar dan menyuruhku untuk tetap disini sampai dia kembali. Tak berselang beberapa menit dia kembali dengan sebuah rubah berwarna orange kecoklatan dia pelukannya. Rubah itu tampak tenang di dekapannnya. Seakan itu adalah rumah yang nyaman baginya.
“Lihat! Aku menemukan rubah ini di hutan saat aku mencari berry” Katanya sambil membawa rubah itu padaku. Perlahan dia meletakkan rubah itu di pangkuanku. Aku merasa sedikit kaget namun perlahan aku menyentuh bulunya yang lembut. Dia terlihat sangat lucu.
“Sepertinya dia menyukaimu.”
“Tidak mungkin kamu kan yang menemukannya lebih dulu”
“Yah dia sepertinya lebih nyaman denganmu” Ucapnya sebelum dia duduk di kursi sampingku.
“Kamu tau monster yang pernah aku beritahu kemarin?”
“Monster.. iya. Kenapa?”
“Mereka semakin ganas dan agresif. Aku dengar ada beberapa desa yang hancur karena mereka.”
“Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tinggal disana?”
“Mereka sudah di evakuasi ke tempat yang aman. Tapi tetap saja.. ada salah satu temanku disana..” Kata Maura dengan nada yang sedih. Dia memalingkan wajahnya berusaha menutupi wajah khawatir nya. Aku tahu perasaannya takut, sedih, dan khawatir.
“Dia pasti baik-baik saja. Coba kamu temui dia nanti.” Aku merangkul tanganku di bahunya perlahan berusaha menenangkannya.
“Iya aku akan menemuinya nanti.” Maura mengangguk perlahan.
“Hari sudah mulai malam. Aku akan menyiapkan makan malam” Kata Maura sambil beranjak dari bangkunya.
“Aku juga harus pulang.” Aku juga langsung beranjak dari bangku ku. Tapi Maura langsung menahan bahuku.
“Ini sudah sore lebih baik kamu menginap semalam disini.”
“Tapi-“ Saat aku hendak berbicara Maura langsung menutup mulutku dengan jari telunjuknya.
“Shhh akan bahaya jika kamu pergi sendiri di malam hari.”
“Yasudah hanya semalam.”
“Bagus! Aku akan menyiapkan makan malam.” Kata Maura sambil menepuk tangannya sekali. Dia tampak senang karena dapat menghabiskan waktu bersama mu dari pada harus sendirian terus.
Maura langsung berjalan ke dapur meninggalkanku sendiri di ruang tamu. Aku melihat sekitar sebentar dan berjalan ke arah jendela. Langit yang berwarna jingga dan matahari yang perlahan tenggelam. Pemandangan sore hari yang indah di tengah hutan. Hanya terdengar suara burung-burung dan serangga-serangga yang menemaniku.
Namun di balik pohon terlihat bayang-bayang hitam dengan senyuman yang mengerikan. Wajahnya tampak gelap dengan lima mata di wajahnya. Dia memiliki empat tanduk dan badan yang lebih besar dari ukuran badan manusia normal. Dia tersenyum ke arahku.
Bulu kudukku berdiri saat aku melihatnya dari kejauhan. Aku langsung berlari ke dapur menemui Maura.
“MAURA!! Kamu.. lihat.. Ada monster di luar...” Aku berbicara dengan tergesa-gesa aku bahkan tidak menyadari nadaku yang ketakutan.
“Hah? Monster? Mana ada monster disini Eli. Kamu ada-ada saja.” Maura yang menghiraukan omonganku langsung lanjut memasak.
“Percayalah padaku.. dia.. dia tersenyum padaku! Aku takut..” Aku menarik lengan bajunya memohon untuknya percaya. Tidak mungkin itu hanya imajinasi ku. Aku melihatnya dengan jelas. Dia sangat nyata.
“Sudah biarkan saja mereka. Kamu tetap disini aku akan memeriksa nya.” Maura berbicara dengan nada yang tenang sambil memegang pundakku.
Dia melepas tangannya dari pundakku dan berjalan pergi ke ruang tamu. Aku tetap berada di dapur. Aku ingin pergi dengannya tapi rasa takutku menahanku untuk tetap disini. Aku hanya bisa diam dan menunggu sampai dia kembali.
Langit perlahan berubah menjadi gelap. Bulan mulai menampakkan wajahnya bersamaan dengan bintang-bintang yang menemaninya.
Sudah berselang lama sejak Maura pergi. Rasa takut dan khawatirku yang tak kunjung reda. Khawatir dengan keadaan nya dan bertanya-tanya kenapa dia tak kunjung kembali. Aku ingin menyusulnya namun di sisi lain aku juga takut untuk keluar. Tidak. Aku harus menyusulnya.
Aku memberanikan diri berjalan ke ruang tamu. Kosong. Tak ada siapapun disini. Dimana? Dimana dia?
“Maura? Maura! MAURA! KAMU DIMANA?!” Panik, aku langsung berlari keluar gubuk itu.
Aku berlari ke dalam hutan sambil memanggil namanya. Jantung ku berdebar aku takut, takut, khawatir. Dimana dia?!
Perlahan terdengar suara langkah kaki yang mendekatiku. Aku langsung membalikkan badanku namun tak ada siapapun. Aku tersadar. Aku dimana? Ini dimana? Hanya ada pohon-pohon tinggi di sekitar ku. Aku tersesat. Tak ada siapapun disini. Gelap dan aneh, aku tidak mendengar suara hewan sekalipun. Hanya ada suara angin yang berbisik lembut di telingaku.
“Aku sudah menunggumu Eliene.” Terdengar seseorang dengan suara yang berat berbisik di telingaku. Tapi saat aku membalikkan badanku aku tidak melihat siapapun.
“Siapa? Siapa kamu?!”
Aku kembali mendengar suara itu namun kali ini dia tertawa dan suara tawanya memenuhi hutan. Lalu perlahan aku melihat sosok yang sama seperti di gubuk Maura.
Badannya besar dan berwarna hitam. Dia memiliki lima mata dan senyumannya yang mengerikan. Dia berdiri jauh dariku. Namun perlahan muncul sosok yang lain. Mereka memiliki badan yang tinggi dan kurus badannya berwarna hitam dan memiliki satu mata yang melihat ke arahku.
Juga beberapa sosok yang lain. Mereka memiliki dua kepala dan leher yang panjang. Wajah mereka tertutup dengan perban. Dan tubuh mereka yang menjadi satu.
Ada satu lagi sosok yang aneh dan mengerikan. Tubuhnya mirip seperti laba-laba namun berwarna hitam. Dia memiliki delapan mata yang berukuran kecil. Dan terdapat dua buah tangan yang menutupi mulutnya. Seakan menyuruhnya untuk tidak bersuara.
Aku mundur perlahan saat melihat semua monster itu di kegelapan. Mereka menakutkan dan sangat mengerilan. Tanpa pikir panjang aku langsung lari sejauh mungkin. Aku tidak tahu mereka akan mengejar ku atau tidak. Aku lari sekencang-kencangnya.
Suara mereka semakin mendekat. Suara amarah dan bisikan-bisikan.
“Eliene.. kemarilah..” Suara berat yang memanggilku. Dari suaranya terdengar amarah yang dia tahan. Dia menginginkanku.
“ELIENE KAMU TIDAK AKAN BISA LARI DARIKU!!” Suaranya yang awalnya tenang berubah saar dia meneriaku dengan keras.
“KEMARILAH!”
“SEKENCANG APAPUN KAMU LARI DARIKU KAMU TAK AKAN PERNAH BISA LEPAS DARIKU!!! CAMKAN ITU!!!!!!”
“Mau sampai kapan kamu lari seperti ini?!”
“SELAMANYA KAMU TIDAK AKAN LEPAS DARIKU!”
Suara itu perlahan semakin keras diiringi dengan suara tawa yang memenuhi telingaku.
Suasana hutan mulai suram. Gelap. Kabut dimana-mana menutupi pandanganku. Namun dari kejauhan aku melihat seseorang. Seseorang yang ku kenal. Seseorang yang selalu menemaniku selama ini.
“MAURA!” Teriakku sambil berlari ke arahnya.
Aku langsung memeluknya dengan erat dan menangis di dekapannnya. Air mata membasahi bajunya. Saat aku memeluknya aku merasakan cairan merah di tubuhnya. Saat aku tersadar aku langsung mundur beberapa langkah.
“Eli kenapa kamu meninggalkanku sendiri? Kamu.. saat aku berteriak kenapa kamu tidak menolongku? Ini semua karena mu.” Dia berbicara dengan nada yang sedih dan marah.
Saat aku melihatnya, tubuhnya sudah di penuhi dengan luka. Terdapat luka besar di mukanya. Dan ada banyak luka lain di tubuhnya. Darah masih mengalir dari luka-luka itu.
Aku hanya bisa terdiam melihatnya seperti ini. Tidak. Sejak kapan ini terjadi? Kenapa semua ini terjadi?!
“Ini semua salahmu.” Suara Maura terdengar sama dengan suara monster-monster itu.
“Tidak! Apa maksud dari semua ini?! Aku tidak melakukan apapun!”
Aku langsung berlari dengan kencang meninggalkannya. Aku lelah, aku tidak bisa bernapas.
“HENTIKAN SEMUA INI!! TINGGALKAN AKU SENDIRI!!!”
Entah berapa lama aku berlari. Aku tiba di sebuah taman. Dan ada beberapa orang yang berusaha menenangkanku. Mereka langsung menyuntikkan obat penenang padaku.
“Hey tenanglah!” Kata seorang dokter yang baru saja menyuntikkan obat penenang ke tubuhku.
“Apa kamu bisa mendengar suara ku?” Tanya dokter lainnya.
Saat aku mulai kembali sadar aku berada di sebuah taman di rumah sakit yang ku datangi setiap minggu. Dan orang-orang di depanku adalah dokter yang biasanya memeriksaku.
“Apa kamu sudah tenang? Halusinasimu semakin parah akhir-akhir ini.”
“Kamu bisa mendengar suara kami kan?”
“Kalian..” Aku perlahan membuka mataku. Dua orang dokter berdiri di hadapanku mereka tampak mengkhawathirkanku.
“Baguslah. Kami akan membawamu ke ruang inap.”
“TIDAK!! KALIAN TIDAK MELIHAT MONSTER-MONSTER ITU?!” Aku berbicara dengan panik sembari aku bangkit berdiri. Aku mundur beberapa langkah.
“Monster? Tenanglah! Mereka tidak ada disini.”
“Bohong.. Mereka nyata! Mereka.. terus mengejarku! Kalau sampai mereka tahu aku ada disini..” Aku tidak percaya jika mereka tiba-tiba menghilang begitu saja. Mereka nyata! Aku melihatnay denga mata kepalaku sendiri.
“Sayang tenanglah..” Suara lembut yang biasanya ku dengar. Itu suara mama.
“Ma? K-kenapa mama disini?” Ucapku, aku bingung. Kenapa mama bisa ada disini?
“Para dokter memanggil mama kemari. Sekarang kamu tenang dulu..”
“Ma percaya padaku.. aku melihat mereka.. mereka mengikuti ku dan berbisik tertawa dan dan..” Suaraku terbata-bata sambil aku menarik lengan baju mamaku. Aku berusaha untuk memberitahunya. Merekanyata. Ya mereka nyata…
“Tenanglah sayang mereka sudah pergi. Tidak ada yang akan mengikutimu lagi.” Mama langsung memelukku dan membelai rambutku dengan lembut. Dia berusaha untuk menenangkanku.
“Sebaiknya kita membawanya ke dalam. Kami akan merawatnya untuk sekarang sampai kondisinya membaik.”
“Terimakasih dok.” Kata mamaku sambil membelai rambutku.
“Ini sudah tugas kami. Anda bisa mendampingi selama perawatan dilakukan.”
Selama beberapa hari aku berada di rumah sakit sampai akhirnya aku di perbolehkan pulang. Dokter selalu mengingatkan untuk meminum obat rutinku. Agar aku tidak melihat mereka lagi.
Hari-hari berlalu kondisiku perlahan mulai membaik. Aku mulai melakukan kegiatan ku sehari-hari. Pergi ke sekolah dan yang lain-lain. Mereka sudah tidak mengganguku lagi. Setidaknya untuk sekarang..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H