I. Pendahuluan
Tidak ada seorang pun yang berkeinginan untuk terlibat dalam permasalahan atau konflik dengan orang lain, namun itu bukan hal yang dapat selalu kita hindari. Tentu saja, konflik dapat timbul dimana saja dan kapan saja dengan berbagai macam alasan. Dan sebuah konflik dapat menghasilkan sebuah sengketa. Dan dengan adanya sebuah sengketa, dibutuhkan juga jalan keluar.
Terdapat suatu sebutan yang dikenal sebagai suatu salah satu cara untuk menyelesaikan konflik, yaitu Alternative Dispute Resolution (ADR), yang juga dikenal dalam Bahasa Indonesia sebagai Alternatif Penyelesaian Senketa (APS). Istilah ini juga dapat dikenal sebagai Cooperation Conflict Management, namun jauh lebih dikenal sebagai ADR.
Alternatif Penyelesaian Senketa sangatlah bervariasi. Terdapat 2 jalur penyelesaian sengketa, yaitu melalui proses litigasi dalam pengadilan, dan yang melalui proses kerja sama di luar pengadilan. Dan dari kedua jalur tersebut, sudah sangat banyak pilihan dalam penyelesaian sengketa yang memiliki pro dan kontra masing-masing. Jalan yang cenderung akan dipilih adalah jalan yang dapat menguntungkan para pihak bersangkutan, atau yang dapat menghasilkan win-win solution.
Umumnya, pihak yang sedang bersengketa akan mencari sarana penyelesaian yang lebih ekonomis, menghemat waktu, praktis, dan sederhana. Terdapat beberapa bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa, seperti melalui pengadilan, mediasi, negosiasi, arbitrase, dan seterusnya. Dan pada kesempatan kali ini, Penulis ingin memusatkan topik pembahasan kepada arbitrase.
Arbitrase juga memiliki kelebihan tersendiri. Dikarenakan arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan tanpa proses litigasi, pihak yang terlibat pun dapat memiliki rasa privasi yang terjaga karena proses penyelesaian sengketa mereka tidak disaksikan oleh muka umum. Selain itu, prosedur arbitrase juga sangat menghemat waktu dan biaya, sebab tidak perlu ada proses banding dan/atau peninjauan kembali, yang akan akan membuat prosesnya berjalan lebih cepat, sederhana, dan efisien.
Tidak ada seorang pun yang berkeinginan untuk terlibat dalam permasalahan atau konflik dengan orang lain, namun itu bukan hal yang dapat selalu kita hindari. Tentu saja, konflik dapat timbul dimana saja dan kapan saja dengan berbagai macam alasan. Dan sebuah konflik dapat menghasilkan sebuah sengketa. Dan dengan adanya sebuah sengketa, dibutuhkan juga jalan keluar.
Terdapat suatu sebutan yang dikenal sebagai suatu salah satu cara untuk menyelesaikan konflik, yaitu Alternative Dispute Resolution (ADR), yang juga dikenal dalam Bahasa Indonesia sebagai Alternatif Penyelesaian Senketa (APS). Istilah ini juga dapat dikenal sebagai Cooperation Conflict Management, namun jauh lebih dikenal sebagai ADR.
Alternatif Penyelesaian Senketa sangatlah bervariasi. Terdapat sangat banyak pilihan dalam penyelesaian sengketa yang memiliki pro dan kontra masing-masing. Dan jalan yang biasa akan diambil pada umumnya adalah jalan yang dapat menguntungkan para pihak bersangkutan, atau yang dapat menghasilkan win-win solution.
Umumnya, pihak yang sedang bersengketa akan mencari sarana penyelesaian yang lebih ekonomis, menghemat waktu, praktis, dan sederhana. Terdapat beberapa bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa, seperti mediasi, negosiasi, arbitrase, dan seterusnya. Dan pada kesempatan kali ini, Penulis ingin memusatkan topik pembahasan kepada arbitrase.
Arbitrase merupakan sistem yang bersejarah, yang berasal dari sistem perdagangan di Mesir Kuno dan Babilonia. Sistem tersebut kemudian diadopsi di  negara Yunani, yang kemudian dimasukkan ke dalam hukum nasional Roman Ius Gentium. Sistem ini melibatkan para pedagang untuk menghadapi berbagai macam sengketa, dan mereka bebas untuk menyelesaikan sengketa tersebut dihadapan pemerintah. Â
Sistem tersebut kemudian menyebar ke Kekaisaran Roma, dan cukup populer digunakan di Benua Eropa. Sistem yang awalnya dikenal hanya dalam lingkup domestik telah berkembang menjadi penyelesaian sengketa perdata yang digunakan dalam hubungan keluarga, perdagangan, dan industrial. Dengan maraknya sistem arbitrase di dunia, International Chamber of Commerce (ICC) berniat untuk menerapkan sistem ini secara internasional untuk mengurangi komplikasi penyelesaian sengketa.
Setelah sejumlah konferensi yang melibatkan Konvensi Jenawa, Konvensi New York, Econonic and Social Council (ECOSOC), disusunlah suatu komisi Ad Hoc yang terdiri atas 8 negara peserta yang ditunjuk oleh Presiden ECOSOC. Konvensi New York bertujuan untuk menyeragamkan peraturan dan pelaksanaan Arbitrase asing. Singkat cerita, Indonesia akhirnya secara resmi terdaftar meratifikasi Konvensi New York pada tanggal 7 Oktober 1981 dengan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1981.
Menurut R. Soebekti, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia periode 1968 - 1974, arbitrase yakni suatu proses penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada, atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau tunjuk tersebut.
Diartikan juga oleh Frank Elkouri dan Edna Elkouri, bahwa arbitrase adalah salah satu proses yang mudah atau simpel yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputus oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka dimana keputusan mereka berdasarkan dalil-dalil dalam perkara tersebut.
Dan jika kita mengacu kepada pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase diartikan sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Secara garis besar, proses arbitrase melibatkan para pihak yang bersengketa, yang kemudian akan berhadapan dengan seorang arbiter. Arbiter atau wasit tersebut akan bertindak sebagai pihak ketiga yang netral, yang akan membantu memecahkan persengketaan untuk mencapai suatu keputusan yang final dan mengikat. Arbitrase juga bertindak sebagai pengganti pengadilan.
Arbitrase juga memiliki kelebihan tersendiri. Dikarenakan arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang dapat diselesaikan tanpa proses litigasi, pihak yang terlibat pun dapat memiliki rasa privasi yang terjaga karena proses penyelesaian sengketa mereka tidak disaksikan oleh muka umum. Selain itu, prosedur arbitrase juga sangat menghemat waktu dan biaya, sebab tidak perlu ada proses banding dan/atau peninjauan kembali, yang akan akan membuat prosesnya berjalan lebih cepat, sederhana, dan efisien.Â
Melihat peranan arbitrase yang besar di Indonesia maka Tim Penulis akan memaparkan penjelasan mengenai sistem arbitrase yang berada di Indoensia dengan karya ilmiah yang berjudul " Sistem Arbitrase Di Indonesia"
II. Rumusan Masalah
Dengan Latar belakang yang telah dipaparkan oleh Penulis, rumusan masalah yang menjadi pembahasan dalam karya tulis ini adalah:
- Apa saja jenis-jenis arbitrase yang ada di Indonesia?
- Bagaimana prosedur pelaksanaan arbitrase di Indonesia?
- Bagaimana perbedaan Putusan Arbitrase Nasional dan Putusan Arbitrase Internasional?
- Bagaimana pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia?
- Bagaimana pembatalan dalam putusan arbitrase di Indonesia?
III. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang penulis gunakan adalah sebuah penelitian hukum yang bersifat normatif. Penelitian hukum Normatif adalah penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana. Penelitian jenis normatif ini menggunakan analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka.
IV. Analisis dan Pembahasan
A. Jenis - Jenis Arbitrase
Terbagi 2 jenis dari arbitrase, yaitu:
a.Arbitrase Ad Hoc; dan
b.Arbitrase Institusional.
Setiap terjadi sengketa yang ingin diselesaikan menggunakan perjanjian arbitrase, harus dipilih apakah akan berjalan menggunakan arbitrase ad-hoc atau institusional. Secara mendasar, yang membedakan kedua jenis arbitrase tersebut adalah bahwa arbitrase ad-hoc merupakan arbitrase bersifat sementara. Arbitrase ad-hoc ditujukan untuk masus yang hanya membutuhan satu kali penunjukan. Sedangkan arbitrase institusional adalah suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen (Pasal 1 ayat (2) Konvensi New York 1958).
Arbitrase Ad-Hoc
Menurut Alan Redfren, arbitrase ad-hoc adalah "arbitration without designating any arbitral institution and without referring to any particular set of institutional rules" Â . Secara bebas, terjermahan dari kalimat tersebut adalah bahwa arbitrase ad-hoc adalah arbitrasi tanpa menunjuk lembaga arbitrase apa pun dan tanpa mengacu pada seperangkat aturan kelembagaan tertentu.
Arbitrase ad-hoc tidak memiliki aturan dan tata cara tersendiri, sebab ia tidak terikat dengan badan/lembaga arbitrase. Hal tersebut menimbulkan sebuah kesulitan sebab sistem ini tidak memiliki ketentuan, dimulai dari penentuan arbiter hingga tata cara pemeriksaan. Dan dikarenakan kesukaran para pihak untuk mengangkat arbiter yang sama, diperlukan adanya suatu badan sebagai petunjuk arbiter, yaitu seorang "appointing authority".
Hal tersebut sudah diatur dalam pasal 13 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999, yang menentukan bahwa "Dalam suatu arbitrase ad-hoc, bagi setiap ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak.
Pemohon memiliki jangka waktu paling lambat 30 hari untuk menunjuk seorang arbiter, terhitung sejak permohonan didaftarkan. Ketua Lembaga Arbitrase juga berwenang atas perpanjangan waktu petunjukan arbiter jika diikuti dengan alasan yang sah, namun tidak melebihi 14 hari.
Dikarenakan arbitrase ad-hoc juga tidak memililiki administrasi formal, maka para pihak diperbolehkan untuk merancang seperangkat aturan buatan masing-masing yang dapat disetujui oleh para pihak, atau menyesuaikan dengan salah satu lembaga arbitrase tertentu, atau juga dapat mengikuti aturan yang tidak terkait dengan lembaga tertentu, seperti BANI, atau UNCITRAL Arbitration Rules.
Arbitrase jenis ad-hoc juga pada umumnya dianggap lebih hemat biaya dibandingkan lembaga arbitrase, karena tidak ada penambahan biaya untuk jasa institusi. Namun, tidak menutupi kemungkinan untuk timbulnya konflik yang membutuhkan intervensi dari pengadilan, yang dapat melonjak pengeluaran biaya yang dapat melebihi dari menggunakan lembaga arbitrase.
Arbitrase Institusional
Sebutan lain dari Arbitrase Institusional adalah "Permanent Arbitral Body"[1], dan diberikan nama tersebut sebab lembaga/badan arbitrase ini bersifat permanen. Yang dimaksud dengan permanen adalah pengelolaan dan organisasi secara tetap tanpa jangka waktu terbatas. Berdirinya lembaga tersebut juga tidak mengandalkan ada/tidaknya sebuah sengketa, berbeda dengan ad-hoc yang akan bubar setelah sengketa telah tertangani.
Berbeda juga dengan ad-hoc, arbitrase institusional memiliki seperangkat ketentuan hukum formal yang mencakupi langkah penyelesaian sengketa, prosedur pemilihan arbiter, tata cara pemeriksaan, dan lainnya. Alan Redfern mengartikan bahwa Arbitrase Institusional adalah salah satu dari berbagai lembaga arbitrase lainnya, dengan peraturan arbitrasenya tersendiri.
Salah satu contoh dari lembaga arbitrase institusional yang didirikan di Indonesia adalah Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). BANI memiliki misi agar dapat menyelesaikan sengketa-sengketa perdata dengan cepat dan efisien, baik itu dalam persoalan perdagangan, industri dan lainnya, secara nasional maupun internasional.
- Untuk arbitrase institusional, dibutuhkan status kewarganegaraan untuk kepentingan jurisdiksi. Menurut Julian D.M., Lew, terdapat 3 faktor yang menjelaskan pentingnya nasionalitas sebuah arbitrase institusional. [1] Agar dapat menentukan pengadilan nasional negara mana yang memiliki jurisdiksi terhadap arbitrase tersebut
- Agar dapat menentukan prosedur yang harus diikuti dalam rangka pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut.
- Agar dapat menentukan lex arbitri (hukum di tempat arbitrase diselenggarakan  yang terkait dengan proses atau jalannya arbitrase) Â
Badan Arbitrase Di Indonesia
1. Badan Arbitrase Nasional Indonesia
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah badan penyelesaian sengketa komersial yang otonom dan independen. BANI adalah organisasi sipil yang bebas, otonom, dan independen.
BANI didirikan dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa perdata terkait perdagangan, industri dan keuangan secara adil dan cepat. Pusat BANI berlokasi di Jakarta dan memiliki BANI sendiri memiliki kantor perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia, antara lain: Surabaya, Denpasar, Bandung , Medan, Pontianak, Palembang dan Batam.
2. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia
Di Bapepam-LK, Bursa Efek Jakarta (BEI), Bursa Efek Surabaya (BES), PT Krian Pengjeminan Efek (KPEI) Indonesia dan PT Indonesia Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Dengan dukungan 17 asosiasi di sejumlah lingkungan pasar modal, Indonesia mencapai kesepakatan bersama untuk mendirikan lembaga arbitrase yang kemudian disebut Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI).
BAPMI didirikan dengan tujuan didirikannya lembaga ini tidak terlepas dari keinginan para pelaku pasar modal Indonesia untuk mendirikan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan, khususnya di bidang pasar modal, dimana masyarakat yang memahami pasar modal mengambil keputusan melalui proses yang cepat dan murah.
3. Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia
PT Bursa Berjangka Jakarta (BBI), PT Kliring Berjangka Indonesia / persero (KBI), Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) dan Asosiasi Perusahaan Perdagangan Berjangka Indonesia (IP2BI) mendapat bantuan dari lembaga pengawas perdagangan berjangka dan Dapatkan dukungan penuh. Komoditas (BAPPEBTI) menandatangani akta pendirian Komisi Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) yang bertempat di Auditorium Utama Kementerian Perdagangan dan disaksikan oleh Menteri Perdagangan.
Tujuan didirikannya lembaga ini adalah untuk memberikan perlindungan hukum dengan memberikan masyarakat dan pelaku pasar perdagangan berjangka komoditas dengan cara yang lebih adil, sederhana dan cepat dalam menyelesaikan sengketa daripada pengadilan. BAKTI adalah organisasi independen yang didedikasikan untuk mendorong penyelesaian sengketa perdata di bidang perdagangan berjangka komoditas.
4. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
Lembaga tersebut didirikan pada 21 Oktober 1993 dengan nama Badan Arbitrase Muamarat Indonesia (BAMUI). Pengukuhan dilakukan oleh Panitia Pimpinan Pusat MUI yang diwakili oleh KH Hasan Basri dan HS Prodjokusumo (Ketua Panitia dan Sekretaris Jenderal MUI), menandatangani acara pelantikan, menandai SH. Penandatanganan akta notaris Yudo Paripurno. Saksi juga menandatangani akta notaris antara lain HM Sedjono (Ketua MUI) dan H. Zainulbahar Noor, SE (Presiden Bank Muamarat Indonesia).
Sesuai keputusan rapat pengurus Sistem Hukum Komisi Arbitrase Ulama Indonesia Pada tanggal 24 Desember 2003 Nomor Kep-09 / MUI / XII / 2003[1], nama Komisi Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diubah menjadi Komisi Arbitrase Islam Nasional (BASYARNAS) . Hal ini untuk menyelesaikan sengketa atau sengketa perdata, prinsipnya mengutamakan upaya damai, menyelesaikan sengketa perdagangan berdasarkan hukum Islam, dan memberikan penyelesaian sengketa Muamara baik secara adil dan cepat di bidang perdagangan, industri, dan jasa lainya.
5. Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual
Pada 19 April 2012, Komite/ Badan Arbitrase dan Mediasi Kekayaan Intelektual (BAM HKI) dibentuk di Jakarta. Badan tersebut menyediakan layanan penyelesaian sengketa putusan, yaitu arbitrase dan non arbitrase, termasuk mediasi, negosiasi, dan penyelesaian sengketa yang timbul dari transaksi komersial atau hubungan yang melibatkan departemen kekayaan intelektual.
BAM HKI adalah metode penyelesaian sengketa yang dapat membantu menyelesaikan sengketa di luar pengadilan. Bidang-bidang yang dapat ditangani BAM HKI antara lain hak paten, merek dagang, indikasi geografis, hak cipta, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, varietas tanaman, dan bidang lain yang terkait dengan HKI. Mengingat terdapat beberapa lembaga arbitrase di Indonesia di atas, maka pelaku usaha dapat memilih apa yang mereka perlukan dengan mencantumkan opsi penyelesaian sengketa arbitrase dalam ketentuan perjanjian. Kedua belah pihak memilih untuk menyelesaikan sengketa melalui jalur non-litigasi.
B. Prosedur Untuk Menyelesaikan Sengketa Melalui Arbitrase
1. Kesepakatan Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Kedua belah pihak harus menyelesaikan sengketa melalui arbitrase terlebih dahulu. Perjanjian penyelesaian sengketa melalui arbitrase mengikuti ketentuan keabsahan perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
2. Pendaftaran dan Permohonan Arbitrase
Menurut Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 (Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa) (UU Arbitrase), permohonan arbitrase diajukan secara tertulis dan memuat informasi yang lengkap, seperti nama pemohon dan termohon. Dan alamat; tentukan klausul arbitrase yang berlaku untuk perjanjian; perjanjian sengketa; dasar klaim; permintaan (jika ada); metode penyelesaian sengketa yang diperlukan; dan kirimkan jumlah arbiter yang diperlukan.
3. Penunjukan Arbiter
Terkait ayat pertama dan kedua Pasal 8 UU Arbitrase, penggugat dan tergugat dapat mencapai kesepakatan melalui arbiter. Perjanjian ini termasuk dalam permintaan arbitrase yang diajukan oleh penggugat dan tanggapan tergugat. Berdasarkan persetujuan para pihak, forum arbitrase hanya dapat dipimpin oleh satu arbiter (satu arbiter) atau panel ahli. Jika para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam 14 hari, ketua pengadilan dapat menunjuk seorang arbiter. Keputusan tersebut mengikat kedua belah pihak.
4. Tanggapan Termohon dan Tuntutan Balik (Rekonvensi)
Setelah mengajukan pendaftaran, penguru Badan Komisi Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) akan memeriksa dan memutuskan apakah BANI memang berhak meninjau sengketa tersebut. Selain itu, Sekretariat BANI akan menyiapkan salinan permohonan arbitrase penggugat dan dokumen pelengkap lainnya untuk diserahkan kepada tergugat. Waktu respon responden adalah 30 hari yang dapat diperpanjang menjadi 14 hari. Melalui balasan ini, tergugat dapat melampirkan data dan bukti lain terkait perkara yang disengketakan untuk mengajukan gugatan balik atau pertemuan kembali. Klaim tersebut dapat dimasukkan dalam tanggapan responden.
5. Sidang Pemeriksaan
Selama proses peninjauan arbitrase, dilakukan sesuai dengan hukum. Pengaturan ini meliputi: ujian privat harus dilakukan dalam bahasa Indonesia, harus dilakukan dalam bentuk tertulis, dan para pihak harus didengar. Keputusan akhir harus dibuat dalam waktu 30 hari setelah persidangan berakhir.
Tata Pelaksanaan Arbitrase Di Indonesia
1. Perjanjian klausul arbitrase dan perjanjian arbitrase yang berlaku adalah kontrak yang merupakan bagian dari kontrak atau kontrak terpisah. Berdasarkan undang-undang nomor 30 tahun 1999, perjanjian arbitrase dapat berupa:
- Klausul arbitrase yang terkandung dalam kesepakatan yang dicapai antara para pihak sebelum sengketa terjadi, atau
- Setelah terjadi perselisihan, kedua pihak harus mencapai kesepakatan secara terpisah. Keabsahan perjanjian arbitrase tergantung pada kondisi yang disebutkan dalam Pasal 1230 BW yaitu. Kesepakatan yang mengika, Â Kecakapan untuk membuat perjanjian, Suatu persoalan tertentu, dan Sebab yang tidak terlarang.
Perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis, yang artinya klausul arbitrase dalam kontrak atau perjanjian arbitrase ditandatangani oleh para pihak atau dimasukkan dalam komunikasi. Adanya kesepakatan tertulis dapat membatasi para pihak pada lembaga arbitrase untuk hanya menyelesaikan perselisihan atau perbedaan pendapat yang terdapat dalam kesepakatan tersebut. Perjanjian arbitrase bukanlah perjanjian bersyarat, jadi pelaksanaannya tidak bergantung pada peristiwa tertentu di masa mendatang.
2. Syarat Arbitrase
a. Syarat Subjektif
- Dibuat oleh mereka yang demi hukum cakap untuk bertindak hukum. (pasal 130 dan 433 KUH Pdt)
- Â Dibuat oleh orang yang diberi wewenang oleh hukum untuk menandatangani perjanjianÂ
b. Syarat objektif
Menurut ketentuan dalam UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai berikut:
- Â Sengketa perdata bidang perdagangan
- Â Sengketa mengenai hak (yang menurut hukum danPerUUan) dikuasai sepenuhnya oleh para pihak.
3. Isi dan Bentuk Klausul Arbitrase
isi perjanjian arbitrase mencakup hal-hal sebagai berikut:
- Komitmen/ kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase
- Ruang lingkup arbitrase
- Bentuk arbitrase (ad hock atau institusional)
- Aturan prosedur yang berlaku
- Tempat dan bahasa yang digunakan
- Pilihan hukum substansif (material) yang berlaku
- Stabilisasi dan kekebalan bila relevan
Bentuk klausul arbitrase :
Berdasarkan UU No. 30 tahun 1999, sebagai berikut:
- Â Pactum de compromettindo (klausul yang dibuat sebelum sengketa muncul)
- Â Akta kompromis (perjanjian arbitrase yang dibuat setelah muncul sengketa).
C. Perbedaan Putusan Arbitrase Nasional dan Putusan Arbitrase Internasional
Arbitrase di Indonesia memiliki 2 jenis, yaitu arbitrase nasional dan arbitrase internasional. Dimana dalam setiap perkara arbitrase memiliki prosedur pelaksanan yang berbeda, tergantung jenis putusan perkara tersebut ditetapkan antara jenis putusan arbitrase nasional atau arbitrase internasional. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memaparkan secara terperinci terhadap perbedaan putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional, namun perbedaan definisi dari kedua putusan tersebut bisa ditemukan dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yakni " Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional."
Definisi tersebut tidak berbeda jauh dengan ketentuan arbitrase internasional dalam article i paragraph (1) " konvensi new york 1958 : 1. This Convention shall apply to the recognition and enforcement of arbitral awards made in the territory of a state other than the state where the regocnition and enforcement of such awards are sought, and arising out of differences between persons, whether physical or legal. It shall also apply to arbitral awards not considered as domestic awards in the state where theis recognition and enforcement are sought."
D. Pelaksaan Putusan Arbitrase Di Indonesia
Peraturan tentang pelaksanaan putusan arbitrase nasional yang diselenggarakan secara institusional oleh BANI yang diatur dalam Anggaran Dasar BANI maupun Peraturan Prosedur BANI tidak berlaku lagi sejak dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dimana dalam kurun waktu 30 hari terhitung sejak putusan dibacakan, penyerahan dan pendaftaran lembar asli atau salinan autentik ptusan arbitrase harus dilakukan ke Pengadilan Negeri.[1] Dimana akan dilakukan pencatatan dan penandatanganan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter maupun kuaa yang menyerahkan pada bagian akhir ataupun pinggir putusan tersebut. Sifat dari putusan Arbitrase adalah final, memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.Â
Putusan Arbitrase dijalankan berdasarkan perintah dari Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan dari salah satu pihak, bukan dilakukan secara sukarela. Pencatatan Â
yang dilakukan merupakan salah satu dasar untuk pelaksanaan putusan arbitrase bagi pihak yang bersangkutan atas pelaksanaan putusan arbitrase tersebut. Oleh Karena itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 sendiri menetapkan bahwa jika suatu pencatatan tidak dilakukan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan, maka putusan tidak dapat dilaksanakan. Undang-Undang juga memberikan kewajiban terhadap arbiter untuk menyerahkan suatu putusan dam lembar asli pengangkatan sebagai Arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri. Pencatatan dan pendaftaran yang dilakukan oleh para pihak memiliki keunggulan bagi kepentingan para pihak dalam pelaksanaan putusan arbitrase.
Putusan pelaksanaan diberikan waktu paling lama 30 hari sejak permohonan eksekusi diserahkan. Perintah Pelasksanaan eksekusi akan dituliskan dalan lembar asli dan salinan autentin putusan arbitrase. Ketua Pengadilan Negeri tidak memiliki wewenang dalam perihal menilai isi ataupun pertimbangan-pertimbangan dalam putusan arbitrase mengenai pelaksanaan eksekusi. Ketua Pengadilan Negeri hanya boleh menolak memberikan suatu perintah pelaksanaan atas pertimbangan dalam putusan arbitrase yang melanggar ketertiban umum.
Sebelum memberikan perintah pelaksanaan putusan, Ketua Pengadilan Negeri memiliki hak dalam hal memeriksa mengenai kesesuaian putusan arbitrase yang telah  diambil yaitu :
- Arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa dan memutuskan perkara telah di angkat oleh para pihak sesuai dengan kehendak mereka; danÂ
- Perkara yang diserahkan untuk diselesaikan oleh arbiter atau majelis arbitrase tersebut adalah perkara yang menurut hukum yang dapat diselesaikan dengan arbitrase, serta
- Putusan yang dijatuhkan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Pelaksanaan Putusan Arbitrase memiliki 2 sifat yaitu ad hoc dan institusional. Oleh Karena itu pembahasan mengenai pelaksanaan putusan arbitrse maksudnya adalah  pelaksanaan putusan arbitrse baik secara arbitrase ad hoc maupun arbitrase institusional.
Pembahasan eksekusi atau pelasanaan putusan arbitrase di Indonesia dibedakan menjadi putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional. Dalam penentuan putusan arbitrse dapan melihat factor factor sebegai berikut : Â
- Faktor wilayah dimana putusan dikeluarkan. Dikatakan sebagai putusan arbitrase Nasional apabila putusan itu dikeluarkan di wilayah Negara Republik Indonesia. Â
- Aturan yang digunakan untuk menyelesaikan perselisihan dalam hal ini, meskipun putusan itu dikeluarkan di wilayah Indonesia, dan para pihak yang berselisih adalah sama-sama warga Negara Indonesia, tetapi rules yang digunakan adalah rules Internasional (misalnya rules International Chamber of Commerce), putusan arbitrase ini adalah putusan arbitrase Internasional (asing).[2]
Suatu putusan arbitrase dapat dikatakan putusan arbitrase nasional apabila memenuhi kedua factor factor tersebut, dimana putusan arbitrase diputuskan di wilayah Indonesia dengan menggunakan aturan yang berlaku di Indonesia, tanpa mempermasalahkan pihak yang berselisih.
Dasar hukum yang dapat dijadikan acuan dalam eksekusi Putusan Arbitrase Nasional adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada pasal 59 dan seterusnya, sedangkan dalam eksekusi Putusan Arbitrase Internasional  dapat dilihat dalam konvensi New York 1958 dimana konvensi New York tersebut telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia dengan keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 dan Konvensi ICSID 1968. Konvensi New York tahun 1998 pada pasal 1 ayat 1 dijelaskan pengertian dari Putusan Arbitrse Internasional, yaitu putusan yang dibuat di suatu Negara yang pengakuan dan pelaksanaannya di luar Negeri. Pelaksanaan arbitrse asing juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, yang kemudian telah  diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
1. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Nasional
Kewajiban mendaftarkan harus dilakukan paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan. Yang berkewajiban untuk mendaftarkan putusan tersebut adalah salah seorang arbiter, atau seorang kuasa untuk dan atas nama para anggota arbiter. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada pasal 59 [1]yaitu : Â
- Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
- Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran.
- Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
- Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan.
- Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.[2]
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada pasal 59 diatas pada ayat 5, menjelaskan bahwa semua yang bersangkutan dengan pendaftaran akan ditanggung oleh para pihak yang bersengketa bukan arbiternya.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak menjabarkan dan menentukan ketentuan mengenai permohonan pendaftaran harus diajukan secara tertulis ataupun secara lisan, sehingga masyarakat beranggapan bahwa permohonan pendaftaran dapat diajukan secara tertulis maupun lisan. Permohonan pendaftaran  diajukan kepada oanitera pengadilan negeri dan panitera akan membuat akta pendaftaran bersama sama dengan arbiter atau kuasanya, akta pendaftaran tidak berbentuk akta pada umumnya, hanya berupa pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau pinggir putusan. Putusan Arbitrase yang telah didaftarkan dapat dinyatakan autentik dan putusannya dapat dijalankan sebagaimana putusan perdata Pengadilan Negeri yang memiliki kekuatan hukum tetap.
Instansi atau pejabat yang berwenang untuk melaksanakan atau mengeksekusi putusan arbitrase adalah Pengadilan Negeri, sedangkan majelis arbitrase yang mengeluarkan atau menjatuhkan putusan tidak memiliki kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi (pelaksanaan putusan).
2. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional
Proses pelaksanaan putusan arbitrase internasional memiliki tahap yang sama dengan pelaksanaan putusan arbitrase nasional yaitu tahap pendaftaran dan kemudian eksekusi. Namun putusan arbitrase asing telah dikemukakan dalam peraturan Mahkamah Agung (perma) Nomor 1 Tahun 1990 juncto Konvensi New York Tahun 1958.
Menurut Pasal 2 PERMA Nomor 1 Tahun 1990, putusan arbitrase asing adalah putusan arbitrase yang dijatuhkan atau diambil di luar wilayah hukum Indonesia.[1] Jika dilihat dalam segi hukum internasional yang disebut sebagai luar wilayah hukum Indonesia adalah territorial atau wilayah Negaranya ditambah dengan letak kawasan diplomat yang ada dalam suatu Negara. Apabila putusan arbitrase diputuskan dalam kawasan diplomatik Indonesia maka putusan arbitrase tersebut tergolong dalam putusan arbitrase nasional bukan putusan arbitrase asing. Putusan arbitrase asing atau putusan arbitrase nasional, tidak dilihat dari kewarganegaraan dari para pihak yang bersangkutan, namun territorial dan tempat putusan dilakukan menjadi factor penentu dalam penetapan putusan arbitrer asing atau putusan arbiter nasional.
Keputusan Presiden (KEPRES) Nomor 34 Tahun 1981 tentang pengesahan Konvensi New York 1958, menjadi pembuktian bahwa keberadaan putusan arbitrase asing diakui di Indonesia dan secara otomatis pelaksanaan putusan arbitrase asing atau internasional dapat dilakukan di Indonesia. Namun dalam KEPRES Nomor 34 tahun 1981 tidak diakui oleh peraturan pelaksanaan sehingga menimbulkan suatu kekosongan hukum sehingga adanya ketidakjelasan dalam pengajuan permohonan, sehingga permohonan eksekusi putusan arbitrase asing dapat langsung diajukan ke Pengadilan Negeri atauka ke Mahkamah Agung. Oleh karena hak tersebut, pemerintah mengeluarkan dikeluarkan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 pada tanggal 1 Maret 1990, sehingga peraturan pelasanaan eksekusi putusan arbitrase asing dapat menjadi jelas.
Diundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Umum pada tanggal 12 Aguatus 1999, menjadi suatu dasar hukum paling terakhir dalam pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Dalam Pasal 65 dari Undang --Undang tersebut dinyatakan bahwa, yang berwenang menangani masalah pengakuan dalam pelaksanaan putusan aritrase Internasional adalah pengadilan Negeri Pusat Jakarta.[1]
E. Pembatalan Putusan Arbitrase
Putusan Arbitrase itu bersifat final dan binding. Itu berarti, putusan arbitrase tidak bias disbanding dan/atau dikasasi. Meskipun demikian, masih ada upaya (hukum) yang dapat dilakukan oleh para pihak yang berselisih, yaitu upaya permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase tersebut.
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, di dalam Pasal 71 ditentukan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dilakukan secara tertulisan dalam waktu paling lama tiga puluh hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Ini berarti bahwa putusan  arbitrase yang dapat dimohonkan untuk pembatalan adalah putusan arbitrase yang sudah didaftarkan pada Pengadilan Negeri, tak terkecuali juga bagi putusan arbitrase Internasional
Sedangkan Alasan yang dapat digunakan untuk permohonan pembatalan putusan arbitrase apabila putusan arbitrase tersebut diduga mengandung unsur-unsur antara lain:
- Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
- Setelah putusan dijatuhkan, ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang sembunyikan oleh pihak lawan, dan
- Putusan dijatuhkan atas dasar hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah salah satu  pihak dalam memeriksa sengketa
Permohonan pembatalan suatu putusan arbitrase dapat dilakukan apabila terjadi hal-hal antara lain :
- Apabila putusan telah diberikan dengan melampaui batas-batas yang diberikan dalam persetujuan arbitrase;
- Apabila putusan telah diberikan berdasarkan persetujuan arbitrase yang batal atau lampau waktunya;
- Apabila putusan telah diberikan oleh sejumlah arbiter ang tiddak berwenang memutus di luar hadirnya arbiter-arbiter yang lainnya;Â
- Apabila telah diputus tentang hal-hal yang tidak dituntut atau putusan telah mengabulkan lebih dari pada yang dituntut;
- Apabila putusan mengandung keputusan-keputusan yang satu sama lainnya bertentangan;
- Apabila para arbiter telah melalaikan untuk memutus satu atau lebih hal yang menurut persetujuan arbitrase telah dimintakan keputusan dari mereka
- Apabila para arbiter telah melanggar tata cara (formalitas) prosedural yang atas ancaman kebatalan harus mereka turut atau indahkan; tetapi hanya akan berlaku jika menurut ketentuanketentuan yang secara khusus dicantumkan dalam persetujuan arbitrase, bahwa para arbiter harus mengikuti cara yang biasa berlaku dalam suatu prosedur di muka pengadilan.
- Apabila telah diberikan keputusan berdasarka surat-surat yag setelah keputusan itu diberikan, diakui sebagai palsu ataupun telah dinyatakan palsu;
- Apabila setelah putusan diberikan, surat-surat yang bersifat menentukan yang tadinya disembunyikan oleh salah satu pihak telah ditemukan kembali;
- Apabila putusan telah didasarkan atas kecurangan atau penipuan yang dilakukan sepanjang pemeriksaan, tetapi kemudian diketahui
V. Kesimpulan
Berdasarkan makalah diatas dapat disimpulkan bahwa penyelesaian Sengketa dengan mengunakan arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang berdasarkan pada perjanjian arbitrase secara tertulis oleh para para pihak yang bersengketa. Arbitrase di Indonesia memiliki 2 jenis, yaitu arbitrase nasional dan arbitrase internasional. Dimana dalam setiap perkara arbitrase memiliki prosedur pelaksanan yang berbeda, tergantung jenis putusan perkara tersebut ditetapkan antara jenis putusan arbitrase nasional atau arbitrase internasional.
Dalam  arbitrase terdapat dua jenis , yaitu  Arbitrase Ad Hoc dan Arbitrase Institusional. Perbedaan keduanya terletak pada sifatnya dimana Arbitrase Ad Hoc merupakan  arbitrase bersifat sementara sedangkan Arbitrase Institusional adalah  lembaga atau badan arbitrase yang bersifat permanen. Di Negara Indonesia terdapat 5 lembaga Badan Arbitrase yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia, Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia, Badan Arbitrase Komoditi Berjangka Indonesia, Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Keakayaan Intelektual, yang dimana 5 (lima) badan arbitrase ini memiliki cara penyelesaian sengketa yang berbeda- beda satu sama lain serta memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda.
Dalam menyelesaikan  sengketa melalui arbitrase tentu ada prosedur/ tata cara yang harus dijalankan yaitu Kesepakatan Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase,kemudian Pendaftaran dan Permohonan Arbitrase selanjutnya dilakukan Penunjukan Arbiter, kemudian Tanggapan Termohon dan Tuntutan Balik (Rekonvensi) dan Sidang Pemeriksaan. Putusan Arbitrase itu bersifat final dan binding. Itu berarti, putusan arbitrase tidak bias disbanding dan/atau dikasasi. Meskipun demikian, masih ada upaya (hukum) yang dapat dilakukan oleh para pihak yang berselisih, yaitu upaya permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase tersebut
Sumber
- https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/
- "The History of Arbitration", diakses dari http://www.australianarbitration.com/the-history-of- arbitration/, pada tanggal 11 Desember 2020 pukul 14.08 WIB
- Anik Entriani, Arbitrase Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, An-Nisba, Volume 3 No. 2, 2017, hlm. 279.
- Undang Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
- Dr. Susanti Adi Nugroho, S.H., M.H., Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya,Jakarta : Kencana, Januari 2017, hlm. 123.
- Alan Redfern, Law and Practice, hlm. 56
- Artikel I ayat (2) Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.
- Julian D.M., Lew, Applicable Law in International Commercial Arbitration, New York : Oceana Publications, 1978, hlm.13-14
- Lihat Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan,
- Jakarta : PT Tatanusa, 2004, hlm 125-126
- Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2013), hal.96-98
- Rachmadi Usman, Aspek Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika. 2012), hal.403-404.
- United Nations Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards (New York, 10 June 1958)
- Gunawan Widjaja da Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal 96.
- Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis dan Prinsip Pelaksanaannya di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 218.
- https://media.neliti.com/media/publications/147066-ID-pelaksanaan-dan-pembatalan-putusan-arbit.pdf
- H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, Mengenal Arbitrase (salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis) PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 163.
- Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing
- Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal. 115
- H. Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, hal. 185
- Gatot P. Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2006, hal 93.
- http://www.rumpunilmu.com/2012/05/pembatalan -putusan-arbitrase-di.html, Rabu, 6 February 2013
Oleh:
- Anya Alodia (NPM : 1751115)Â
- Wilton Goh (NPM : 1851005)Â
- Felicia Angelica (NPM: 1851006)Â
- Kendry Tan (NPM: 1851009) Â Â
- Alvin Lauw (NPM: 1851069) Â Â
- Wini Rosalya (NPM: 1851072)Â
- Sheerleen (NPM: 1851074)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H