“Kenapa, Sayang?” tanyaku khawatir.
Belum sempat aku mengeluarkan kata-kata lagi, anak itu telah menjerit histeris dan memanggil-manggil ibunya. Tubuhnya kini bergetar sempurna. Aku yang masih belum dapat mengerti akan sikapnya itu hanya bias memandangnya dengan keheranan.
Beberapa detik kemudian pintu kamar terbuka dan sang ibu tergopoh-gopoh masuk dan langsung memeluk anaknya.
“Kenapa, Sayang? Kau bermimpi burukkah?” tanya sang ibu khawatir.
Anak itu memeluk erat leher ibunya dan menangis semakin keras sambil menunjuk-nunjuk ke arahku dengan mata terpejam.
“Itu! Itu!”
Sang ibu mengarahkan pandangannya kepadaku, tapi sepertinya dia tak mendapatkan apa-apa.
“Kenapa dengan cermin itu?”
Anak perempuan itu perlahan membuka matanya tapi dia tidak berani memandang sama sekali kepadaku.
“Hei, tidak apa-apa,” kataku mencoba meyakinkannya, “aku tidak akan menyakitimu!”
Anak itu mungkin mendengar, mungkin pula tidak. Karena setelahnya dia berkata kepada ibunya di sela isak tangisnya.