Mohon tunggu...
Inge
Inge Mohon Tunggu... -

Menyenangi KESEDERHANAAN. EGO tidaklah sederhana tetapi CINTA.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

[MPK] Cermin

12 Juni 2011   00:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:36 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_116014" align="aligncenter" width="640" caption="Sumber Gambar: http://darkwingchun.wordpress.com/2011/05/11/mirror/"][/caption]

Cermin itu tegak di tempatnya, diam dan dingin, seperti selalu sengaja menciptakan peran untuk dirinya sendiri. Sebuah cermin yang aku ataupun waktu sudah tak dapat lagi mengenali sejak kapankah ia telah berada di sana. Aku bukannya tanpa perasaan takut jika harus memandang ke dalamnya seperti gadis-gadis penakut pada umumnya, karena menurutku sendiri cermin adalah satu benda bernuansa magis yang menyimpan misteri. Terutama cermin itu.

Aku tak tahu sejak kapan ini bermula, tetapi seringkali aku tiba-tiba berada dalam posisi harus berhadapan dengan cermin besar itu dan kemudian ia tidak hanya akan merefleksikan diriku seutuhnya dengan cara yang jujur, tapi ada lagi sesuatu yang dapat dilakukannya. Lebih tepatnya, ia membantuku untuk dapat melihat apapun. Ia menjadi seperti sebuah media bagiku untuk memahami banyak hal.

Seperti sekarang ini, tiba-tiba kami telah tegak berhadapan.

Apa....” bisikku padanya sambil mengusap permukaannya yang sedikit buram berdebu, tepat pada refleksi di dalamnya sehingga terlihatlah kuyu wajahku.

Apa yang akan kau tunjukkan lagi kini padaku?” tanyaku dengan berbisik, seperti pula berbicara dengan diriku sendiri.

Cermin itu tentu saja hanya diam dan akupun hanyabias menunggu.

Pelahan-lahan dalam pandanganmataku, permukaan cermin itu kemudian beriak seperti permukaan air yang menerima jatuhnya sehelai daun. Bulatan-bulatan yang semakin membesar dan menjangkau tepi cermin saling bersusulan. Aku tahu pasti, seperti biasanya ia akan memperlihatkan sesuatu kepadaku.

Sedikit-demi sedikit gambaran itu terlihat.

Dua orang lelaki dan seorang perempuan dalam sebuah kamar. Lelaki yang seorang telah bertelanjang bulat, seorang lagi memegang kamera saku sementara si perempuan mengenakan baju tidur yang tipis dan tembus pandang tanpa pakaian dalam tengah berpose dihadapan dua lelaki itu. Lampu blitz berkali-kali menghentak kesuraman dan mereka tertawa-tawa seperti orang mabuk. Mungkin memang mabuk.

Tubuhmu memang indah,” katalelaki yang telanjang sambil memeluk si perempuan yang tertawa-tawa genit. Lelaki yang lain masih terus mengincar si perempuan dengan kameranya – sepertinya kini telah digantinya dengan mode scenekarena kilatan-kilatan lampu blitz itu telah berhenti.

O, ya? Tapi kenapa sepertinya kalian masih bisa bersabar?”

Si lelaki telanjang tertawa dan langsung mendorong si perempuan ke atas ranjang.

Justru aku sudah sangat tidak sabar.”

Dengan liar lelaki telanjang itu merenggut baju tidur yang tipis itu dari tubuh si perempuan dan langsung menerkamnya dengan bernafsu.

Aku sudah mampu menebak apa yang terjadi seterusnya. Kedua mahluk yang telah sama-sama telanjang itu bergulat seperti sepasang bayi yang bermain-main, tetapi insting binatang dalam diri dan kelamin mereka turut bermain. Kemudian desahan-desahan bernafsu dan menjijikan, gerakan-gerakan erotis yang memanaskan suhu badan….semuanya terekam dalam kamera saku itu!

Aku memalingkan wajah dengan mata terpejam dan tidak sudi melihat mereka lagi justru setelah lelaki yang mengabadikan kemesraan mereka kemudian meletakkan kameranya sedemikian rupa dan tetap merekam lalu mulai melepas pakaiannya pula satu per satu….

Gila!

Cukup!” teriakku pada cermin di hadapanku, “Apa maksudmu mempertontonkan ini? Apakah dengan ini kau memberi pelajaran moral untukku? Kemana gambaran-gambaran mengenai rahasia semesta dan kehidupan yang biasa kau tunjukkan?”

Cermin itu kemudian bergetar saat aku mulai memukul-mukul permukaannya. Aku benar-benar tidak suka gambaran itu. Terlihat sekali moral manusia yang jatuh bebas ke tingkatan yang paling rendah hingga menyerupai binatang yang paling hina

Tolonglah..”

Lalu seperti sebuah tebing yang luruh, gambaran tadi kemudian berganti dengan sebuah gambaran yang lain. Aku memicingkan mata karena belumlah terlalu jelas bagiku.

Oh, sepasangsuamiistriterlihat sedang bertengkar dengan hebat. Sebuah pertengkaran yang sepertinya adalah akumulasi dari pertengkaran-pertengkaran mereka sebelumnya karena mereka sepertinya sama-sama meneriakkan kata “cerai”.

Baiklah!” kata sang suami.

Baik!” sahut sang istri dengan berlinang air mata.

Berdua lalu mereka masuk ke dalam kamar anak sulung mereka dimana sang bungsu pun sudah hadir disana. Yang sulung berumur 10 tahun dan yang bungsu 7 tahun.

Anak-anak, papa dan mama akan berpisah. Itu keputusannya. Silakan kalian memilih ingin tinggal dengan siapa, papa atau mama,” ujar sang ayah langsung dan mengejutkan, menjelaskan kepada kedua anaknya.

Sangibuhanya berdiri membisu dan menangis.

Mengapa harus memilih, Papa? Saya ingin tinggal dengan kalian berdua. Saya sayang kalian berdua, ingin ikut papa dan mama,” jawab si bungsu kebingungan sementara sang kakak tidak berkata apa-apa, hanya terlihat wajahnya memucat.

Kau harus memilih, karena papa dan mama akan tinggal di tempat yang berbeda,” kata sang ayah berusaha menjelaskan.

Mengapa harus demikian, Papa? Mengapa papa dan mama harus tinggal di tempat yang berbeda? Mengapa, Papa? Ada apa? Saya ingin tinggal dengan kalian berdua!” jerit si bungsumasih dalam kebingungannya, usianya yang masih terlalu muda sepertinya memang belum mengerti tentang arti perceraian.

Maaf, Sayang,” kata sang ibu sambil menghampiri si bungsu dan memeluknya sementara tangan kanannya diulurkan untuk meraih tangan anak sulungnya, “jika ada jalan keluar yang lebih baik, mama dan papa tidak akan memutuskan ini. Tentu selama ini kalian telah mengetahui, serapat apapun kami menyimpannya di hadapan kalian, bahwa hubungan mama dan papa telah menjadi dingin seperti dua buah batu yang berdiri bersisian di hari-hari musim dingin. Tiada lagi canda dan tawa bahagia, kebersamaan yang mengasyikkan, kata-kata mesra yang biasa kami perdengarkan di hadapan kalian pun telah lenyap berganti caci dan maki yang entah sampai kapan akan berakhir, tapi kami harus mengakhirinya. Tolong, pahamilah.”

Kulihat air mata pada mata mereka dan gambaran mereka mengabur karena air mataku pun telah tumpah dan aku lagi-lagi tak sanggup melihat. Ya, aku mengerti, tidak ada yang lebih menyakitkan dari sebuah pengkhianatan. Sang suami itulah penyebabnya! Gambaran menjijikkan yang diperlihatkan padaku sebelumnya itu adalah awal dari segalanya dan aku bisa merangkaikan semuanya. Cermin ini telah menyingkapkan kebusukan seorang lelaki yang telah menciderai arti cinta dan kasih sayang. Sengaja atau tidak, dia telah menyebabkan kehancuran bagi orang-orang yang mencintainya.

Cermin,” bisikku, “cukuplah saja sampai di sini. Aku tidak ingin lagi kau memperlihatkan padaku apa yang sebenarnya tidak ingin kulihat. Permukaanmu telah berdebu dan aku rela untuk membersihkannya seperti aku ingin membersihkan seluruh hati manusia-manusia di dunia, maka kuharap permukaanmu yang cemerlang nanti itu pun akan sanggup memberikan gambaran-gambaran yang indah seperti yang kumau. Betapa banyak rahasia yang ingin kutahu dan aku berterima kasih bila kau sanggup mewujudkan keinginanku ini.”

Aku mengerti bahwa ada dunia yang kumau di dalam sana, dalam cermin itu. Dunia yang hidup yang kini hanya kubayangkan dalam angan-angan saja, tapi ingin sekali mewujud nyata hingga aku benar-benar merasa ada di sana.

Cermin itu kembali bergetar. Dan seperti proses-proses sebelumnya, ia akan menunjukkan lagi kepadaku gambaran tentang sesuatu. Betapapun hatiku telah patah dan seakantak ingin lagi melihat ke dalamnya, tetapi ada suatu daya tarik yang aneh yang membuatku tak mampu untuk meninggalkan cermin itu.

Kau yang membuatku begitu?” tanyaku.

Sebuah pemandangan terpapar lagi. Sebuah kamar yang sempit dan remang, tapi entah kenapa begitu nyaman terasa dalam hatiku. Kulihat seorang perempuan tengah berlutut di samping pembaringananaknya, tengah menyanyikan lagu-lagu nina bobo yang seringkali kudengar pula di suatu masa yang pernah kulalui:

Ambilkan bulan, Bu

Ambilkan bulan, Bu

Yang slalu bersinar di langit

Di langit bulan benderang, cahyanya sampai ke bintang

Ambilkan bulan, Bu

Ambilkan bulan, Bu….

Tidurlah,” kata perempuan itu sambil membelai rambut anaknya.

Aku belum mengantuk, Mama. Nyanyikan lagi saja lagu itu.”

Kaupun akan ikut menyanyikannya?”

Ya.”

Lalu berdua mereka menyanyikan lagu itu bersama-sama. Keheningan malam terasa sangat syahdu beresonansi dengan nyanyian mereka membuat bibirku tanpa terasa turut bergerak menyanyikan bait lagu itu.

Mama,” kudengar anak itu berbisik.

Ya, Sayang?”

Apa kelak kita akan bersatu lagi dengan papa dan kakak?”

Sang ibu bermenung. Sepertinya pertanyaan yang demikian tidak pernah diingininya keluar dari mulut anaknya.

Mama tidak tahu, Sayang.”

Tapi bukankah kemungkinan itu ada?”

Tentu. Selama kehidupan masih berputar, selama harapan masih kita apungkan, segalanya masih mungkin terjadi.”

Anak itu terdiam dan terdengar desahan lembut dari bibirnya saat kemudian kulihat kedua kelopaknya tertutup.

Selamat tidur, Sayang,” bisik sang ibu lirih lalu beranjak dari kamar itu.

Keheningan kembali terasa menyelimuti kamar dan pandanganku tak bisa beralih dari anak yang tertidur itu. Begitu mendamaikan, kasih sayang dalam kesedihan di antara mereka yang kurasakan hingga membuatku menangis.

Ternyata masih ada entah di belahan bumi yang mana, kedamaian itu. Kedamaian yang hanya bisa tercipta oleh hati yang mapan. Hati yang penuh kasih sayang yang tanpa cela, tulus tanpa prasangka dan murni seperti embun pagi. Tiada perasaan cemas dan ketakutan akan kekacauan jiwa manusia, musibah, bencana dan kemurkaan yang seolah-olah semakin ramai di usia bumi yang semakin tua karena peradaban manusia sendirilah yang memungkinkan terkikisnya nilai-nilai kehidupan yang hakiki.

Aku menangis lagi. Aku berpikir tentang mereka. Bagaimana sebuah keluarga yang sebenarnya patut untuk mendapatkan kebahagiaan sebagai satu kesatuan yang utuh dapat hancur sedemikian rupa. Terpisah dan tentu saja menyakitkan. Anak yang tertidur itu, betapa ingin aku memeluknya sekedar memberikan kenyamanan seperti yang diberikan ibunya. Ingin sekali kupecahkan cermin ini dan berbaur dengan mereka.

Ya. Jika dapat, ingin rasanya aku berada di sana.

Cermin, aku ingin berlama-lama memandangnya,” kataku kepada cermin karena aku ingin menikmati kedamaian dalam tidur anak itu.

Kulihat kemudian kepala anak itu bergerak dan kelopak matanya terbuka. Mungkin dia terbangun oleh tangisanku. Pandangannya itu kemudian langsung beradu dengan mataku. Aku tersenyum walaupun air mataku belumlah kering.

Aku yakin, entah bagaimana caranya dia telah melihatku, seperti ada tali yang terulur dari keinginan terdalamku yang mencapai perasaannya dan aku ingin sekedar menyapanya. Atau jika dapat aku ingin mengatakan padanya bahwa aku sangat menyukai lagu nina bobo itu dan betapa aku ingin pula menjadi bagian dari mereka, memberantas habis kesedihan yang mereka rasakan.

Tapi kemudian kulihat kedua mata anak itu terbelalak, kelihatan terkejut dan terguncang sebelum kedua tangannya menutup keseluruhan wajahnya dan gemetar ketakutan.

Kenapa, Sayang?” tanyaku khawatir.

Belum sempat aku mengeluarkan kata-kata lagi, anak itu telah menjerit histeris dan memanggil-manggil ibunya. Tubuhnya kini bergetar sempurna. Aku yang masih belum dapat mengerti akan sikapnya itu hanya bias memandangnya dengan keheranan.

Beberapa detik kemudian pintu kamar terbuka dan sang ibu tergopoh-gopoh masuk dan langsung memeluk anaknya.

Kenapa, Sayang? Kau bermimpi burukkah?” tanya sang ibu khawatir.

Anak itu memeluk erat leher ibunya dan menangis semakin keras sambil menunjuk-nunjuk ke arahku dengan mata terpejam.

Itu! Itu!”

Sang ibu mengarahkan pandangannya kepadaku, tapi sepertinya dia tak mendapatkan apa-apa.

Kenapa dengan cermin itu?”

Anak perempuan itu perlahan membuka matanya tapi dia tidak berani memandang sama sekali kepadaku.

Hei, tidak apa-apa,” kataku mencoba meyakinkannya, “aku tidak akan menyakitimu!”

Anak itu mungkin mendengar, mungkin pula tidak. Karena setelahnya dia berkata kepada ibunya di sela isak tangisnya.

Aku melihat hantu di cermin itu, Mama! Aku takut!”

Aku terkejut. Apa maksud anak itu?

Aku bukan hantu!” teriakku tersinggung.

Tapi anak itu semakin menjadi-jadi dan menangis semakin keras, sepertinya ia memang mendengar kata-kataku.

Pecahkan cermin itu, Mama! Pecahkan! Aku takut!”

Sang ibu pun kebingungan antara tidak mengerti atau panik dan khawatir. Lalu dilepaskannya pelukannya pada anak yang histeris itu, mengambil sebuah bangku kayu yang tergeletak di sana dan mendekat.

Dia masih di sana, Mama!” kata anak itu masih menutup matanya dan menangis.

Mama pecahkan saja cermin ini seperti maumu, lihatlah, lagipula mama juga tidak menyukainya. Kau tidak akan ketakutan lagi. Lihat, Sayang!”

Cermin di hadapanku bergetar dan bersamaan dengannya kulihat sang ibu mengayunkan bangku kayu itu ke arahku. Aku menjerit.

Cermin itu pecah berserakan, gugur sempurna di hadapanku.

Kenapa?” tanyaku lirih memandangi bingkai kosong di hadapanku.

Kini memang kosong. Hanya hitam.

Hanya aku dan bingkai cermin itu.

Liverpool-Cigugur, 10 Juni 2011

***

53. Inge + Aris Kurniawan Basuki, turut meramaikan Malam Prosa Kolaborasi Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun