Mohon tunggu...
Inge
Inge Mohon Tunggu... -

Menyenangi KESEDERHANAAN. EGO tidaklah sederhana tetapi CINTA.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

[MPK] Cermin

12 Juni 2011   00:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:36 762
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Oh, sepasangsuamiistriterlihat sedang bertengkar dengan hebat. Sebuah pertengkaran yang sepertinya adalah akumulasi dari pertengkaran-pertengkaran mereka sebelumnya karena mereka sepertinya sama-sama meneriakkan kata “cerai”.

Baiklah!” kata sang suami.

Baik!” sahut sang istri dengan berlinang air mata.

Berdua lalu mereka masuk ke dalam kamar anak sulung mereka dimana sang bungsu pun sudah hadir disana. Yang sulung berumur 10 tahun dan yang bungsu 7 tahun.

Anak-anak, papa dan mama akan berpisah. Itu keputusannya. Silakan kalian memilih ingin tinggal dengan siapa, papa atau mama,” ujar sang ayah langsung dan mengejutkan, menjelaskan kepada kedua anaknya.

Sangibuhanya berdiri membisu dan menangis.

Mengapa harus memilih, Papa? Saya ingin tinggal dengan kalian berdua. Saya sayang kalian berdua, ingin ikut papa dan mama,” jawab si bungsu kebingungan sementara sang kakak tidak berkata apa-apa, hanya terlihat wajahnya memucat.

Kau harus memilih, karena papa dan mama akan tinggal di tempat yang berbeda,” kata sang ayah berusaha menjelaskan.

Mengapa harus demikian, Papa? Mengapa papa dan mama harus tinggal di tempat yang berbeda? Mengapa, Papa? Ada apa? Saya ingin tinggal dengan kalian berdua!” jerit si bungsumasih dalam kebingungannya, usianya yang masih terlalu muda sepertinya memang belum mengerti tentang arti perceraian.

Maaf, Sayang,” kata sang ibu sambil menghampiri si bungsu dan memeluknya sementara tangan kanannya diulurkan untuk meraih tangan anak sulungnya, “jika ada jalan keluar yang lebih baik, mama dan papa tidak akan memutuskan ini. Tentu selama ini kalian telah mengetahui, serapat apapun kami menyimpannya di hadapan kalian, bahwa hubungan mama dan papa telah menjadi dingin seperti dua buah batu yang berdiri bersisian di hari-hari musim dingin. Tiada lagi canda dan tawa bahagia, kebersamaan yang mengasyikkan, kata-kata mesra yang biasa kami perdengarkan di hadapan kalian pun telah lenyap berganti caci dan maki yang entah sampai kapan akan berakhir, tapi kami harus mengakhirinya. Tolong, pahamilah.”

Kulihat air mata pada mata mereka dan gambaran mereka mengabur karena air mataku pun telah tumpah dan aku lagi-lagi tak sanggup melihat. Ya, aku mengerti, tidak ada yang lebih menyakitkan dari sebuah pengkhianatan. Sang suami itulah penyebabnya! Gambaran menjijikkan yang diperlihatkan padaku sebelumnya itu adalah awal dari segalanya dan aku bisa merangkaikan semuanya. Cermin ini telah menyingkapkan kebusukan seorang lelaki yang telah menciderai arti cinta dan kasih sayang. Sengaja atau tidak, dia telah menyebabkan kehancuran bagi orang-orang yang mencintainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun