“Aku melihat hantu di cermin itu, Mama! Aku takut!”
Aku terkejut. Apa maksud anak itu?
“Aku bukan hantu!” teriakku tersinggung.
Tapi anak itu semakin menjadi-jadi dan menangis semakin keras, sepertinya ia memang mendengar kata-kataku.
“Pecahkan cermin itu, Mama! Pecahkan! Aku takut!”
Sang ibu pun kebingungan antara tidak mengerti atau panik dan khawatir. Lalu dilepaskannya pelukannya pada anak yang histeris itu, mengambil sebuah bangku kayu yang tergeletak di sana dan mendekat.
“Dia masih di sana, Mama!” kata anak itu masih menutup matanya dan menangis.
“Mama pecahkan saja cermin ini seperti maumu, lihatlah, lagipula mama juga tidak menyukainya. Kau tidak akan ketakutan lagi. Lihat, Sayang!”
Cermin di hadapanku bergetar dan bersamaan dengannya kulihat sang ibu mengayunkan bangku kayu itu ke arahku. Aku menjerit.
Cermin itu pecah berserakan, gugur sempurna di hadapanku.
“Kenapa?” tanyaku lirih memandangi bingkai kosong di hadapanku.