“Cermin,” bisikku, “cukuplah saja sampai di sini. Aku tidak ingin lagi kau memperlihatkan padaku apa yang sebenarnya tidak ingin kulihat. Permukaanmu telah berdebu dan aku rela untuk membersihkannya seperti aku ingin membersihkan seluruh hati manusia-manusia di dunia, maka kuharap permukaanmu yang cemerlang nanti itu pun akan sanggup memberikan gambaran-gambaran yang indah seperti yang kumau. Betapa banyak rahasia yang ingin kutahu dan aku berterima kasih bila kau sanggup mewujudkan keinginanku ini.”
Aku mengerti bahwa ada dunia yang kumau di dalam sana, dalam cermin itu. Dunia yang hidup yang kini hanya kubayangkan dalam angan-angan saja, tapi ingin sekali mewujud nyata hingga aku benar-benar merasa ada di sana.
Cermin itu kembali bergetar. Dan seperti proses-proses sebelumnya, ia akan menunjukkan lagi kepadaku gambaran tentang sesuatu. Betapapun hatiku telah patah dan seakantak ingin lagi melihat ke dalamnya, tetapi ada suatu daya tarik yang aneh yang membuatku tak mampu untuk meninggalkan cermin itu.
“Kau yang membuatku begitu?” tanyaku.
Sebuah pemandangan terpapar lagi. Sebuah kamar yang sempit dan remang, tapi entah kenapa begitu nyaman terasa dalam hatiku. Kulihat seorang perempuan tengah berlutut di samping pembaringananaknya, tengah menyanyikan lagu-lagu nina bobo yang seringkali kudengar pula di suatu masa yang pernah kulalui:
Ambilkan bulan, Bu
Ambilkan bulan, Bu
Yang slalu bersinar di langit
Di langit bulan benderang, cahyanya sampai ke bintang
Ambilkan bulan, Bu
Ambilkan bulan, Bu….