Berkat kiat senior saya kembali ke Yogyakarta sebelum malam. Â Malam ini harusnya bertemu Gendis, tetapi saya minta besok menemani saya ke Taman Sari. Â Saya ingin tahu kelanjutan cerita dia tentang perempuan bernama Widy itu. Â
Nama itu sebetulnya mengingatkan saya juga pada kenalan di media sosial bernama sama, seorang mahasiswi Perencanaan Kepariwisataan ITB. Â Karakter suka berpetualang agak mirip.
Di lobi hotel saya bertemu Isnaini, seorang  staf NGO di Semarang. Dia menanggapi keluhanku mengapa Trans Yogya tidak memuaskan seperti Jakarta.
"Jalan di Yogya kecil, Semarang hanya punya tiga koridor, Â busnya besar malah buat macet," katanya. "Memangnya Mas Irvan suka sama Yogya?"
"Bandung sebetulnya, kota kreatif. Yogyakarta juga kreatif banyak orang terdidik, populasi para pelajar besar," kata saya.
"Sayang Semarang tidak terlalu menonjol kreatvitasnya, pelajarnya tidak sebanyak Bandung dan Yogyakarta. Semarang itu seperti kata orang tua," ujar Isnaini.
"Nggak juga, Semarang itu punya kota tua yang cukup terpelihara. Â Bahkan Jakarta di bawahnya. Kalau Bandung bangunan tuanya bisa dibuat ensiklopedia arsitektur, tetapi berserakan di antara bangunan-bangunan baru, kecuali Braga dan Alun-alun. Â Yang paling bisa bertahan karena jadi rumah atau dimanfaatkan untuk FO, selain yang dikelola Pemkot."
"Kalau Yogya banyak terpusat di Malioboro, bagian kota yang paling tertua dan berpusat di Kraton."
Kami kemudian pindah mengobrol di gang sambil minum Ronde jahe. Ada dua bule Prancis, 20 tahunan. Ada Jennifer lulusan universitas, pegawai swasta di Guyana, Prancis dan Celline dari Mersailles.Â
Celline sudah kedua kalinya ke Yogyakarta. Â Bagi dia Yogyakarta kota eksotis, naik andong ke mana-mana.
Kami bercakap-cakap bahasa Prancis-Indonesia. Dia bertanya pada tukang ronde jahe apa komposisi minumannya. Aku menterjemahkannya.