Jejamuran, Sleman, Sabtu, 9 Agustus 2014
Salah seorang senior saya bilang kalau mau meliput pariwisata ingin tahu mendalam suatu daerah naiklah bus atau angkutan umum, kemudian duduk di samping Pak Sopir. Â Persis seperti naik delman di samping Pak Kusir.Â
Senior saya benar, dari Terminal Jambor naik bus kecil ke arah Tempel, Sleman. Sasaran saya adalah rumah makan Jejamuran yang letaknya agak rumit. Saya sudah berangkat bada asar dari hotel, mulanya naik Transjakarta drai Halte KH Ahmad Dahlan yang berantakan.
"Mas, sebaiknya sudah pulang sebelum pukul sembilan malam. Setelah itu rawan untuk kembali ke Yogyakarta kalau tidak bawa kendaraan pribadi," kata Pak Sopir.Â
Karena komunikasinya baik, saya diturunkan di pangkalan ojek Pasar Sleman. Dari sana saya menyewa ojek ke rumah makan itu. Nama Tukang Ojeknya Pak Yanto yang cepat akrab dengan pelanggan seperti saya. Â Rupanya dia kerap mengantarkan turis ke Parangtritis, Wonosari, Kaliurang.
"Saya pernah jadi sopir pribadi seorang dokter di UGM. Saya sering ditugaskan mengantarkan relasi dan tamu dokter dari luar Yogyakarta ke lokasi wisata," tutur Pak Yanto.
Pak Yanto menangkap kekhawatiran saya rupanya.
"Bagaimana kalau saya tunggu sampai Mas selesai makan? Malam Minggu begini Jejamuran bisa penuh, saya sering antar tam uke tempat ini. Mas benar datangnya sore," ujar Pak Yanto.
Rumah Makan Jejamuran ternyata seperti cerita dari mulut ke mulut. Tongseng dari jamur nggak beda rasanya dengan tongsneg umumnya. Saya menghabiskan satu porsi tongseng jamur seharga Rp11.000, nasi Rp5.000, Â pepes shitake Rp10.000 dan minumannya mint tea Rp7.000.
Saya makan 30 menit lalu pukul 17.00 sudah selesai, lalu kembali ke tempat Pak Yanto menunggu  dan kembali ke Terminal Jambor untuk beli tiket bus pulang ke Jakarta.  Pasalnya tiket kereta api habis.  Saya berangkat Minggu sore pukul 16.00, hingga paginya bisa liputan ke Taman Sari.
Berkat kiat senior saya kembali ke Yogyakarta sebelum malam. Â Malam ini harusnya bertemu Gendis, tetapi saya minta besok menemani saya ke Taman Sari. Â Saya ingin tahu kelanjutan cerita dia tentang perempuan bernama Widy itu. Â
Nama itu sebetulnya mengingatkan saya juga pada kenalan di media sosial bernama sama, seorang mahasiswi Perencanaan Kepariwisataan ITB. Â Karakter suka berpetualang agak mirip.
Di lobi hotel saya bertemu Isnaini, seorang  staf NGO di Semarang. Dia menanggapi keluhanku mengapa Trans Yogya tidak memuaskan seperti Jakarta.
"Jalan di Yogya kecil, Semarang hanya punya tiga koridor, Â busnya besar malah buat macet," katanya. "Memangnya Mas Irvan suka sama Yogya?"
"Bandung sebetulnya, kota kreatif. Yogyakarta juga kreatif banyak orang terdidik, populasi para pelajar besar," kata saya.
"Sayang Semarang tidak terlalu menonjol kreatvitasnya, pelajarnya tidak sebanyak Bandung dan Yogyakarta. Semarang itu seperti kata orang tua," ujar Isnaini.
"Nggak juga, Semarang itu punya kota tua yang cukup terpelihara. Â Bahkan Jakarta di bawahnya. Kalau Bandung bangunan tuanya bisa dibuat ensiklopedia arsitektur, tetapi berserakan di antara bangunan-bangunan baru, kecuali Braga dan Alun-alun. Â Yang paling bisa bertahan karena jadi rumah atau dimanfaatkan untuk FO, selain yang dikelola Pemkot."
"Kalau Yogya banyak terpusat di Malioboro, bagian kota yang paling tertua dan berpusat di Kraton."
Kami kemudian pindah mengobrol di gang sambil minum Ronde jahe. Ada dua bule Prancis, 20 tahunan. Ada Jennifer lulusan universitas, pegawai swasta di Guyana, Prancis dan Celline dari Mersailles.Â
Celline sudah kedua kalinya ke Yogyakarta. Â Bagi dia Yogyakarta kota eksotis, naik andong ke mana-mana.
Kami bercakap-cakap bahasa Prancis-Indonesia. Dia bertanya pada tukang ronde jahe apa komposisi minumannya. Aku menterjemahkannya.
"Le Cocunute, nuts," ucapku agak maksa.
Mereka ingin ke Sulawesi.
"Vous avez un idea pour nous?"
"Gorontalo," jawabku. "La Cote est Tranquille. C'est Une Maleo, L'osieau Unique.
"Ah,Olala, D'accord!"
Maliboro masih ramai. Â Saya baru kembali ke kamar tengah malam.
Taman Sari Yogyakarta, Minggu 10 Agustus 2014
Gendis, mengenakan kaos oblong putih lengan panjang dan celana jins berwarna biru tua. Dia mengakan topi lebar dan kacamata hitam dengan sepatu sandal hitam. Â Rambutnya dipotong sebahu dan kini dicat pirang. Â Rupanya dia habis nyalon kemarin sore. Hingga tampak lebih muda dari usianya yang 33-34 tahun.
Yang lebih mengejutkan Ayu juga ikut hanya saja dia mengenakan kemaja kotak-kotak abu-abu putih dan celana kargo abu-abu. Â Rambutnya yang keriting biasanya tergerai kini diikat dengan bando.
Mereka menjadi guide aku ke Taman Sari.Â
"Ayo matanya jangan seperti itu melihat Gendis, ntar tak bilangin "R"," olok Ayu.
Aku sendiri mengenakan celana kargo abu-abu dan kaos Yogyakarta berwarna merah maroon yang baru aku beli kemarin di emperan toko Malioboro, serta sepatu kets.
"Harbowo nggak ikut?" tanyaku.
"Nggak, Mas Bowo ke Semarang. Dia mau meneliti Pantai Mangunharjo, tentang mangrove di sana."
"Teknik Lingkungan atau Biologi?"
"Kerja untuk NGO. Tapi dia Geografi sih..."
"Kau duluan Yu, biar aku ngobrol soal Widy," kata Gendis.
Ayu mengangguk, dia duluan masuk lorong. Â Gendis kemudian melanjutkan soal Widy yang menjalani hidup sebenarnya sebagai istri dengan Syafri. Aku memperhatikan bangunan yang aku dengar dari abad ke 18 mempunyai banyak lorong.Â
Begitu aku keluar  dan tiba di Taman Sari, ada kejutan untuk aku. "R" menunggu.Â
"Surprise!" Seru Ayu.
"Jadi cerita Gendis asyik ya," kata "R"
Aku hanya tersenyum. Â "Kamu seumur dengan dia?"
"Iya, kami juga berteman. Â Dia juga janda?"
Itu baru surprise. Gendis tidak pernah cerita.Â
"Hanya saja aku tidak punya anak. Suami aku melakukan KDRT, Mas?" Tapi dia tampaknya sudah move on. Â Namun aku nggak enak mengorek lebih jauh.
"Jadi bayangkan kalau pemandian ini untuk putri-putri dan Mas Pangerannya, kami adalah para selir, bagaimana?" tanya Ayu meledek.
"Aku mau cuma satu orang. Gemini itu banyak suka banyak cewek, tetapi sekali terpikat satu orang ya...sudah move on-nya," jawab aku.
"Jadi belum terpikat nih?" ledek "R"
Kami berkeliling di taman pemandian yang cukup luas itu.  Aku wawancara berapa pengunjung beberapa saat. Di antaranya Zali, mahasiwa Sasra Arab UGM. Dia punya rencana mau mendaki Gunung Slamet. Dia bersama adiknya Anis  juga mahasiswa Sastra.
Ketika kami selesai berbincang, "R", Ayu dan Gendis datang bersama seorang perempuan lainnya yang usianya lebih muda berhijab seperti "R".
"Mas mau pulang kan? Makan siang dulu yukk!" ajak "R".
Setelah mengunjungi Taman Sari, kami makan siang di Jalan Dageng, masakan Padang tetapi disajikan ala Jawa, kaki lima. Enak juga. Aku duduk dekat Gendis, "R" membiarkan karena ia tahu aku ingin dengar cerita lanjut soal Widy.
Setelah puas ngobrol, aku check out dari hotel. Â Sebelumnya Salat Zuhur dan Asar sekaligus. Rupanya "R" dan kawannya mengunjungi komunitas mereka di Yogyakarta.Â
Mereka baik sekali mengantarkan aku dengan mobil ke Terminal Jombor pukul 16.00. Â Nyaris telat naik bus Patas AC.Â
"Dapat laporan, kamu nggak nakal selama di Yogyakarta, entah di Bandung nanti," kata "R" meledek.
"Nanti, cerita tentang Widy tak lanjutin ketika  aku ke Bandung, September nanti. Itu kalau Mas ke sana?"
"Iyalah ada konser Yura," kata aku.
"Nah, kan aku sudah bilang Gendis. Dia pasti hadir di konser Yura," Â kata "R"
Aku kemudian membawa tas ransel biruku yang cukup berat ke dalam bus dan berpisah dari mereka.
Sampai jumpa di Bandung. Â Â
Bandung,  Sabtu  4  Mei 1957, Situ Aksan
"Widy!  Dina!  Norma! Onde Mande!"  teriak Ibu Syafri  dari tepi Danau Situ Aksan.  Pada hari keempat Lebaran, keluarga besar Widy dan Syafri sama-sama berkumpul  di Situ Aksan berekreasi bersama mereka menikmati pertujunkan Orkes Keroncong  bersama ratusan warga Bandung lainnya.
Tetapi suara Ibu itu tidak didengar oleh ketiganya yang asyik berperahu di tengah danau dengan Kang Nugi, tukang perahu yang biasa melayani wisatawan.
Ayah dan Ibu Widy juga berlari. "Keumaha tuh Anak!"
Syafri dan Azrul duduk di tikar dengan pasrah menyantap nasi liwet dengan ayam goreng, sayur asem dan sambel terasi buatan Widy. Â Di sebelah ada rantang berisi sayur taucho dan laksa buatan Norma.
"Pantas Norma memaksa kau merayakan Idul Fitri  di Bandung, biar ketemu gerombolannya," ujar Syafri.
Kintan, adik Widy duduk dengan tertib di sebelah Sayfri malah meyantap lontong dengan sayur taucho serta telur balado.
"Ajarin lagi Bahasa Inggris ya Om Syafri, kalau perahu itu Boat kan ya? Kalau gadis Girl. Â Danau Lake ya? Nah kalau tiga perempuan naik perahu itu Bahasa Inggrisnya Three Women Voyage With A Boat in Aksan Lake. Benar nggak Om?"
Azrul mengacungkan jempol.
Ya, Situ nggak usah diterjemahkan  Lake sayang," ucap Syafri.Â
"Bukannya Three Naughty Women," bisik Azrul.
"Ussh!"
Letnan Harland juga hadir memperkenalkan calonnya Soraya, seorang keturunan Arab  pada mereka.
"Musik keroncongnya enak ya?" puji Ayah Syafri.
"Lebih bagus lagi kalau yang main Keroncong Terang Bulan pimpinan Letnan Dua Adang. Kelompok ini punya  biduan yang bagus  Rochjati Komaryah, Poniman dan Djuju," tutur Harland.
"Kalau Imlek juga ramai, saya pernah menyaksikan Orkes Keroncong Candra  Kirana tahun lalu. Tapi aku lebih suka kalau ada pertunjukkan wayang golek, " kata ayah Ayah Widy.
Sepupu Widy juga hadir dengan ayah dan ibu mereka. Â Dua keluarga besar saling berkenalan. Ada lebih dari seratus orang berkumpul.
"Tempat ini bagus dan tenang. Tetapi saya khawatir apa bisa selamanya, kalau Bandung berkembang pesat, apa Situ Aksan bisa bertahan? Nggak bayangkan kalau penduduk kota dua kali lipat sekarang!" ujar Syafri.
"Iya, sih dengar-dengar Bandung diusulkan menjadi ibu kota?" celetuk seorang sepupu Widy, namanya Fajar Purnama, usianya seusia Syafri, pemilik sebuah pabrik taucho di Cianjur. Â Dia datang bersama istri dan dua orang anaknya yang masih kecil.
"Wali Kota Enoch pernah menyinggung hal itu, Â tetapi secara politik tampaknya kurang didukung. Ideal sih, dekat dengan Jakarta. Ibaratnya Washington DC itu Bandung dan New York itu Jakarta," tutur Syafri.
"Bagaimana kerja di pertanian? Â Lebih nyaman daripada jadi jurnalis?" sela Azrul.
"Lumayan. Dari segi penghasilan iya, Â Kami panen puasa lalu. Nanti mau mengembangkan lagi Bandung Selatan. Â Mudah-mudahan tidak ada gerombolan lagi. Â Tetapi aku dan Widy punya rencana punya penginapan dengan kebun sayur, di mana wisatawan bisa petik stroberi atau kangkung segar dan langsung memasak," ucap Syafri.
"Waah, dia juga mempengaruhi Norma untuk buka usaha serupa di Brastagi," kata Azrul.
 Sekitar sejam kemudian datang geng "Bandung Memang hebat",  Angga, Utari, Hein, Rinitje, Yoga, Paramitha.  Mereka memang juga diundang. Keluarga Widy dan Syafri sudah mengenal mereka.
"Widy masih di danau?" tanya Utari.
"Gampang itu, mereka pasti kembali cepat, kalau kita mainkan lagu rock n'roll," kata Angga tertawa renyah. "Kau bawa grampohonenya kan?"
"Siap, itu orang yang membawakannya!" kata Hein menunjuk  empat orang mengangkut peralatan gramopohone.
"Dansa di tempat terbuka?" Â Sorak Syafri.
Benar juga, dari kejauan tampak perahu yang ditumpangi Widy, Norma dan Medina, tampaknya mulai mengarah ke tepi mereka melihat kedatangan Angga dan rombongan.
"Nah, benarkan?" ucap Angga.
Begitu perahu tiba. Widy dengan lincah berlari ke tempat piknik. Â Begitu juga dengan Medina dan Norma. Syafri melihat istrinya memperlihatkan barisan gigi putih dan kedua bola matanya antusias.
"Nggak bilang mau gelar dansa di tepi danau!" teriaknya.
"Kan ingin bikin kejutan. Lagian hari ini ulang tahun Hein?"
"Waah! Dirayakan di sini!" Widy bersorak. Â Dia memperkenalkan Hein, Rinitje, Angga, Utari, Paramitha dan Yoga kepada Medina dan Norma. "Ini Geng aku dan Safri!"
"Salat zuhur dulu baru kalian. Baru enak dansanya. Jangan sampai pada lupa salat!" Angku Mansyur mengingatkan.
"Lutfi mana?" tanya Medina.
Angku Mansyur menunjuk seorang remaja laki-laki menyepi di tepi Situ Aksan.
"Yaa, jadi pendiam sejak  dari Pulau Seribu!" Sorak Norma.
"Itulah! Â Dia baru tahu apa itu jagoan," ucap Angku tertawa.
Mereka kemudian salat bersama di masjid terdekat. Â Lutfi pun ikut. Â Namun ketika kembali dia menyepi, ketika para anak muda mulai bersiap dansa.
Seorang sepupu Widy bernama Alisha Putti masih duduk di bangku SMA kelas satu bergerak menghampiri. Rambutnya panjang hingga pinggang. Â Dia mengenakan rok panjang dan blus serba coklat. Â Semua tertengun. Â Entah apa yang diomongin, Lutfi tampaknya luluh dan akhirnya menurut digandeng Putti.
"Boleh minta lagu khusus buat kami berdua?" Pinta Putti.
Hein, Angga, Syafri berpandangan akhirnya mereka menyilakan.
"Memangnya lagu apa?"
"Auld Laung Syne!"
"Lah itu kan lagu tentang sahabat lama?" kata Hein. "Harusnya kami yang menyanyikan?"
"Bisa untuk memulai juga," timpal Widy terharu."Aku yang mengenalkan lagu itu padanya malam tahun baru tiga tahun lalu.
Jadi pesta dansa dibuka dengan lagu rakyat Skotlandia itu. Â Lutfi mulanya kaku, tetapi akhirnya luwes. Putti dengan sabar mengajarkan.
"Lah, sepupumu jago?"
"Iya," kata Widy. "Entah siapa yang mengajarkan."
Lagu kedua lagu Bill Halley "Rock Around The Clock", sebetulnya favorit Syafri dan Widy pertama kali berdansa. Â Tetapi baru beberapa kali keduanya bergerak, tiba-tiba Kintan menyerobot.
"Aku juga mau Teteh! Pinjam dulu Om Syafri!" Â Kintan bergerak tak kalah lincah.
Widy menyingkir, dia tidak marah, malah tertawa. Syafri malah tidak enak berdansa dengan iparnya yang masih berusia delapan tahun. Â
Herland tak kalah tertawa ngakak. "Sejak Om Syafri tinggal bersama kalian, Kintan berubah!"
"Iya, sih memang jadi lebih pendiam belajar Bahasa Inggris, Bahasa Prancis, sering baca buku, tetapi jadi suka dengar lagu dan berdansa," Â kata ibu Widy.
"Malah dia bangunin sahur, karena kami dengarkan musik di ruang tamu!" sahut Widy.
Syafri baru berdansa dengan Widy leluasa ketika lagu "Blue Danube" yang anggun.
Mereka baru pulang sore hari.
Syafri dan Widy kemudian berbisik pada Putti, "apa yang kau katakan pada dia? Kami susah memulihkan dia."
"Kata bijak Teteh Widy. Seseorang masih bisa bertahan tinggal di sisi kita walau kita punya kekurangan. Â Asalkan kita menghargai dia. Jadi Aku bilang orang-orang tetap menghargai Abang, walau Abang pernah ketakutan. Setiap manusia punya kekurangan."
Syafri memeluk Widy. "Anjeun memang menular kebijakan Widy ku." (Bersambung).
Irvan Sjafari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H