Pasir Kaliki, 6 Mei 2014
Bangun subuh. Salat subuh. Lalu tidur lagi. Â Mandi dan sarapan. Seorang perempuan berkulit eksotik sedang sarapan prasmanan. Jadi aku tidak sendiri. Aku menggoreng telur mata sapi dan kemudian memasukan ke dalam roti untuk teman minum kopi.
"Aku orang Bau, Serawak, namaku Tiffany," katanya ketika aku mengulurkan dan memperkenalkan namaku. Â Sebagai backpacker dia tampaknya sudah biasa membuat persahabatan.
Aku menyebutkan diriku jurnalis sedang memburu pimpinan Saung Udjo. Barangkali bisa bersama. Tetapi ternyata dia justru hendak pulang ke Kuala Lumpur, setelah empat hari. Â Dia sewa travel.
"Aku sudah lihat Kawah Putih, Tangkubanparahu, juga Transtudio Bandung," tuturnya.
Sebetulnya aku heran, Mengapa ke tempat itu.  "Ah, bukannya di Kuala Lumpur wahana seperti itu  lebih keren?" celetuku.
"Tetapi di Serawak tidak ada. Infrastruktur di Serawak tidak seperti di Semenanjung," jelasnya. Itu aku membuat aku terperanjat. Ternyata kesenjangan antar wilayah juga terjadi di Malaysia. Ini perjalanan luar negerinya yang pertama.
"Di Kuching ada guest house.  Biayanya  antara  30-50 ringgit," terangnya.
Pak Surya turun dari dorm dan bergabung. "Wah, kamu lagi."
Lalu dia menghampiri Tiffany yang diketahui orang Malaysia. Â "Aku juga suka ke Malaysia."